Bersandar
Aku memandangnya lekat. Sorot matanya
begitu sendu. Sepi dan pedih terpancar kuat dari raut wajahnya. Sepasang bahu
tegap itu bergetar menahan kesedihan.
Aku
bisa merasakannya. Hatiku berdenyut nyari ketika melihat sosoknya yang tampak
begitu rapuh, seolah siap hancur kapan saja. Kuulurkan tanganku untuk menyentuh
wajahnya. Matanya masih tertunduk dalam, hanya menekuri tanah di bawah kakinya.
Akan tetapi aku bisa merasakan, kehampaan terpancar dari sepasang mata bak
musang itu.
Aku
tidak tahan lagi. Segera kurengkuh bahu namja itu dan kupeluk erat tubuhnya
yang lebih tinggi dariku. Kulingkarkan kedua tanganku di punggungnya, berusaha
menguatkan namja itu. Dan sedetik kemudian, aku bisa merasakan pundakku mulai
basah dan tangan kekarnya mulai melingkar di pinggangku. Air mataku pun mulai
jatuh.
Aku
tahu seberapa besar beban dan kesedihannya sekarang. Aku bisa memahami
kekalutan yang tengah memenuhi benaknya. Aku bisa merasakan kehilangan besar
yang tengah dirasakannya.
Tubuh
dalam pelukanku itu mulai bergetar dan samar-samar telingaku bisa menangkap
isakan kecil yang keluar dari bibirnya. Seiring dengan itu, air mataku pun
turun kian deras. Dan bersamaan dengan itu pula, aku berjanji pada diriku
sendiri, dengan Tuhan sebagai saksinya, bahwa aku tidak akan membiarkan namja
ini tampak menyedihkan seperti sekarang. Aku akan melindunginya, dengan terus
berada di sisinya.
* * *
a YUNJAE
fanfiction
Bersandar © Kristalicia Rizki
Disclaimer :
They belong to God. This fanfiction belongs to me.
Rate : T
Warn : YAOI,
Shounen-ai, BL, OOC, Typo(s).
* * *
Aku
berlari dengan usaha sekeras mungkin agar tidak terlalu menimbulkan suara gaduh
antara sepatu dan lantai yang beradu. Dengan secepat mungkin aku menyusuri
koridor rumah sakit, melewati beberapa pasien yang berjalan dengan pakaian
seragam, berpapasan dengan beberapa orang suster berpakaian putih, sembari
sesekali mengedarkan pandangan mata dengan liar.
Aku sampai di depan lift dengan
napas terengah. Kutekan tombol hijau di samping pintu lift dan beruntung pintu
di depanku itu terbuka tak sampai 10 detik kemudian. Lift kosong itu segera
kumasuki dan kutekan tombol nomor 5 yang ada di samping kanan pintu. Pintu lift
menutup tak lama kemudian, membawaku yang tengah berdiri gelisah menuju ke
lantai 5.
Setiap detik di dalam lift begitu
menyesakkan, membuat debaran jantungku makin menjadi. Dan rasanya baru seabad
kemudian ketika pintu lift itu akhirnya terbuka. Aku segera melangkah keluar
dan kepalaku sibuk berputar mencari sosok yang kukenal di dekat situ.
Napasku tercekat selama beberapa
saat ketika sepasang mata doe milikku
menangkap sesosok namja berambut brunette
yang dicat coklat agak kemerahan tengah berdiri bersandar pada dinding, tak
jauh dari pintu ruang UGD. Aku segera menghampirinya.
Langkahku terhenti di depan namja
itu, hanya berjarak sekitar 5 langkah. Mataku memandangnya lekat, tetapi
sepasang mata tajam itu hanya menatap lurus ke bawah, seperti ada sesuatu yang
menarik di atas lantai yang dipijaknya.
“Yunho,” panggilku lirih.
Namja bernama lengkap Jung Yunho
yang tengah berdiri di hadapanku itu mengangkat kepalanya hingga kedua mata
kami bertemu pandang. Seketika itu pula hatiku berdenyut sakit, begitu mataku
menangkap kesedihan yang mendalam dari sorot mata Yunho. Tidak ada air mata di mata
tajam itu, bahkan sisa jejak air mata pun tak ada. Mata itu hanya
memperlihatkan sorot mata sendu yang mampu membuat dadaku terasa sesak.
Tangan kananku bergerak perlahan,
terulur ke depan, hendak menyentuh wajah sedih Yunho. Namun pergerakanku
terhenti ketika aku mendengar suara ribut dari balik pintu ruang UGD yang
sedikit terbuka. Pandangan mataku teralih ketika kegaduhan itu berhasil menyita
perhatianku. Kakiku pun mulai melangkah menuju pintu UGD itu dan tanganku
membuka pintu itu perlahan.
Aku berjalan masuk ke dalam ruangan
penuh alat-alat medis itu dan aku disambut oleh suara histeris bercampur isak
tangis dan celoteh kekhawatiran yang memenuhi ruangan itu. Tak butuh waktu lama
hingga mataku menemukan sosok Shim Changmin yang tengah memapah yeoja cantik
yang kukenali sebagai Jung Jihye, adik Yunho. Park Yoochun dan Kim Junsu, yang
juga sahabatku dan Yunho, pun berada di sana. Beberapa orang lain, namja dan
yeoja paruh baya, yang kurasa kerabat Yunho juga berada di sana sembari berurai
air mata.
Tubuhku membeku ketika kemudian
pandanganku menangkap sosok namja dan yeoja berumur sepantaran dengan kedua
orang tuaku, tengah terbujur kaku di atas tempat tidur rumah sakit dengan mata
yang terpejam erat. Selimut putih melingkupi tubuh mereka masing-masing. Tak
ada alat-alat kedokteran yang terpasang di tubuh mereka. Dan dari aura kelam
yang menaungi ruangan itu membuatku yakin, Paman dan Bibi Jung telah tiada.
Aku masih berdiri membeku di tempat,
ketika ekor mataku menangkap sekelebat bayangan Changmin yang menggendong tubuh
Jihye yang jatuh pingsan tak sadarkan diri. Sebuah tepukan pelan di pundakku
baru bisa menyadarkanku dan kutemukan Junsu sedang berdiri di depanku.
Kulihat matanya yang berkaca-kaca.
Jantungku berdebar makin keras, membawa rasa sakit yang seolah menghimpit
jiwaku. Di balik Junsu, aku bisa melihat Yoochun yang matanya sudah memerah dan
siap menjatuhkan kristal bening yang telah menumpuk di pelupuk mata.
Aku kembali menatap Junsu ketika
namja bersuara mirip lumba-lumba itu memanggilku lirih. Pasukan oksigen ke
paru-paruku seolah terhenti ketika mendengar skenario terburuk yang sejak tadi
sudah menghantui pikiranku.
“Paman dan Bibi sudah tidak ada,”
ujar Junsu pelan dengan suara bergetar. Dan setelah itu, tidak ada yang
kupikirkan selain sosok seorang Jung Yunho.
* * *
Aku
tidak suka pemakaman. Semua orang berpakaian serba hitam dan suara yang
terdengar hanyalah isak tangis serta jerit histeris orang-orang, membuat dadaku
terasa sesak sama seperti sekarang.
Aku berdiri diam di bawah terik
mentari pagi yang tak terlalu hangat. Di sampingku ada Yoochun, Junsu, dan
Changmin. Mataku menatap lurus ke arah kedua nisan yang dikelilingi rangkaian
bunga krisan putih. Dadaku terasa sesak. Berkali-kali aku menghela napas untuk
mengurangi sakit ini, tapi hal itu sama sekali tidak membuahkan hasil.
Paman dan Bibi Jung sudah seperti
orang tuaku sendiri. Sejak kecil, kami berlima—aku, Yunho, Yoochun, Junsu
serta Changmin—sudah bersahabat layaknya saudara. Kedekatan antara orang tua
kami pun sama seperti kami. Itulah yang menyebabkan kami tak pernah sungkan
satu sama lain, semuanya sudah seperti orang tua, kakak, adik, dan anak
sendiri. Ikatan antara kami begitu kuat seperti sebuah keluarga besar. Maka
dari itu, ketika kami harus kehilangan salah satu di antaranya, kami akan
merasa kehilangan yang besar.
Aku
tak ingat sudah berapa lama aku berdiri di sana. Aku terlarut pada kesedihan
dan pikiranku sendiri, hingga tak ingat kalau waktu sudah lama berlalu.
Kutengadahkan kepalaku. Orang-orang yang tak lain adalah kerabat Yunho dari
Gwangju sudah mulai beranjak satu demi satu meninggalkan makam Paman dan Bibi
Jung. Kulihat Jihye yang berdiri di bawah payung hitam tampak sangat kacau,
matanya sembab dan air mata itu terus turun membasahi wajahnya. Aku tak tega,
begitu pula dengan Yoohwan, adik Yoochun, yang kebetulan melihat ke arah yang
sama sepertiku. Yoohwan berjalan menghampiri Jihye dan merangkul bahu yeoja itu
sembari menepuk-nepuknya pelan.
Matahari
makin tinggi dan awan hitam mulai menggantung di langit yang semula berwarna
biru cerah. Angin dingin berhembus mulai kencang sambil membawa aroma khas
hujan. Umma tampak memeluk Jihye erat sebelum kemudian berjalan meninggalkan
makam bersama dengan Appa. Begitu pula dengan orang tua Junsu serta Changmin.
Sementara Bibi Park mulai menuntun Jihye yang terlihat rapuh itu berjalan
meninggalkan makam, diiringi dengan Yoohwan yang berjalan di samping mereka.
Aku
masih terdiam di tempatku ketika kulihat Changmin berjalan menghampiri Yunho
yang berdiri diam tepat di antara kedua nisan Paman dan Bibi Jung. Changmin
memeluk Yunho erat, diikuti Junsu dan Yoochun yang juga ikut memeluk Yunho.
Bisa kurasakan mereka saling menguatkan satu sama lain, saling berbagi
kesedihan bersama, dan saling menghibur antar satu dengan yang lainnya.
Aku
masih terpaku di tempatku sampai mereka saling melepaskan pelukan. Ketiga namja
yang sudah kuanggap dongsaengku itu sendiri bergantian menepuk-nepuk pundak
Yunho sebelum kemudian berjalan pergi.
Aku
masih tak bergerak, meski Junsu dan Changmin sudah berjalan melewatiku. Mataku
terpaku pada punggung Yunho yang ada beberapa meter di depanku. Dan aku baru
mengalihkan pandanganku ketika kurasakan sebuah tepukan lembut di pundakku.
Kutengokkan kepalaku dan kulihat Yoochun berdiri di sampingku sembari menatapku
dengan matanya yang berair.
“Dia
membutuhkanmu, Hyung,” kata Yoochun lirih dengan suara serak. Namja di
sampingku ini pasti sedang berusaha menahan isakannya.
Aku
hanya diam menatap Yoochun sampai namja itu melanjutkan langkahnya, menyisakan
aku dan Yunho di tempat itu. Yunho sama sekali tak beranjak dari tempatnya
sejak tadi dia sampai di sini. Dia pun tidak melakukan apa-apa selain berdiri
diam dengan kepala tertunduk memandang tanah beralas rumput hijau pendek-pendek
yang dipijaknya.
Langit
mulai gelap, sepertinya sebentar lagi hujan. Kakiku mulai melangkah mendekati
Yunho yang tidak bergeming. Aku berhenti berjalan dan berdiri di sampingnya.
Aku menghadap ke arahnya yang tampak tidak begitu mempedulikan kehadiranku.
“Yunho,”
panggilku pelan sambil memegang pundaknya.
Yunho
yang masih sibuk menekuri lantai, mulai mendongakkan kepalanya dan menatap ke
arahku. Seketika itu juga hatiku berdenyut nyeri ketika bertemu pandang dengan
sorot mata sendu yang terpancar kuat dari sepasang mata sipit itu. Jantungku
pun ikut berdetak sakit ketika aku dapat dengan jelas menangkap gurat-gurat
kesedihan yang mendalam pada wajah kecilnya, sejelas aku melihat gurat-gurat
kelelahan pertanda namja ini sangat kurang istirahat beberapa hari belakangan
ini.
Kami
berdua sama-sama terdiam tanpa ada sepatah kata yang terucap. Detik demi detik
berlalu, seiring dengan hatiku yang terus saja menjerit kesakitan melihat penderitaan
yang Yunho alami, juga seiring dengan rintik hujan yang mulai turun. Sakit
dalam dadaku ini menjadi makin tak tertahankan ketika aku melihat matanya yang
mulai berkaca-kaca.
“Aku...
aku tidak tahu harus berbuat apa.”
Untuk
pertama kalinya aku dapat mendengar suara Yunho lagi, setelah beberapa hari ini
aku tidak pernah melihatnya bicara. Aku masih ingat dengan jelas, sejak aku
bertemu dengannya di rumah sakit waktu itu, Yunho sama sekali tidak mengeluarkan
kata-kata barang sedikit pun. Bahkan aku tidak melihatnya menangis sejak saat
itu.
Kepala
Yunho kembali tertunduk. Suaranya tadi terdengar begitu parau dan lemah di
antara suara titik-titik hujan yang jatuh membasahi Bumi, membuatku makin
tersiksa karena rasa sakit yang menyeruak di dadaku. Dan ketika kulihat bahunya
mulai bergetar, tanpa pikir panjang aku segera mengulurkan kedua tanganku dan
meraih tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku melingkarkan sebelah tanganku di
lehernya, sementara tangan yang lain di pundaknya. Aku memeluknya erat dan
semakin erat ketika tubuh tegap itu mulai bergetar.
Aku
bisa merasakan tangan Yunho melingkar di pinggangku perlahan dan kepalanya
diserukkan di perpotongan leherku. Tak berapa lama kemudian, telingaku
menangkap suara isakan kecil darinya. Bahuku pun mulai basah. Aku yakin air
hujan yang jatuh sudah bercampur dengan air mata Yunho. Tanpa kusadari, air
mataku pun ikut jatuh. Meski tak begitu kentara lantaran hujan yang turun pun
ikut membasahi wajahku.
Aku
memeluk tubuh Yunho erat, seolah takut raga ini bisa hancur kapan saja. Sebelah
tanganku mengusap-usap punggung lebarnya, sesekali berpindah untuk menepuk
pelan kepalanya. Hatiku ikut sakit melihat Yunho yang seperti ini. Sungguh,
sangat jarang aku melihat namja bermata sipit ini menangis pilu seperti sekarang.
“Apa
yang harus kulakukan...?”
Suara
parau Yunho di tengah hujan begitu menyayat hatiku, membuat pelukanku padanya
semakin erat.
“Tidak
ada...” sahutku dengan suara sama paraunya dengan Yunho, “tidak ada yang perlu
kau lakukan, Yun,” lanjutku sembari menggelengkan kepala samar.
Jeda
beberapa detik untukku menghirup napas dalam-dalam, untuk menetralkan napasku
yang pendek-pendek dan untuk menjernihkan suaraku, sebelum kemudian aku berkata
lirih tepat di telinganya, “Yang perlu kau lakukan sekarang hanyalah bersandar.
Aku tahu kau kuat, tapi sekuat apapun itu, kau tetap membutuhkan topangan. Aku
selalu ada di sampingmu, Yun, aku siap untuk menjadi tempat keluh kesahmu.
Bersandarlah pada bahuku, bersandarlah sepenuhnya kepadaku.”
Hujan
terus membasahi tubuh kami berdua namun aku tak peduli itu. Aku sangat
mengkhawatirkan namja yang kucintai ini dan pikiranku hanya tersita pada Yunho.
Kurasakan
Yunho mulai bergerak pelan dalam pelukanku sehingga kulonggarkan kedua tanganku
yang melingkar di tubuhnya. Yunho menjauhkan sedikit tubuhnya dariku, membuatku
dapat melihat betapa kesedihan terpancar kuat dari sela-sela bulir air hujan
yang membasahi rambut dan wajahnya. Segera kutangkupkan kedua telapak tanganku
di wajah kecilnya dan bisa kurasakan betapa dinginnya kulit Yunho. Tangan kanan
Yunho terlepas dari pinggangku dan menggenggam tangan kiriku yang menangkup
wajahnya.
“Terima kasih, Jaejoongie.”
Bibirnya yang pucat mengukir sebuah senyum tipis yang sarat akan kepedihan
bercampur dengan ketulusan.
Sejak detik itu aku berjanji
pada diriku sendiri, bahwa aku akan selalu berada di sisinya, bahwa aku akan
selalu menjadi tempatnya bersandar untuk melewati kehidupan yang tak mudah ini.
- TAMAT
-
P.S
Fic ini
selesai pada 16.20 WIB pada hari Rabu, 21 Mei 2014. Mulai ditulis tanggal 12
Mei, dan niatku ceritanya ringan aja. Makanya kukira nulis fic ini paling
selesai dalam waktu kurang dari seminggu, eh ternyata malah lebih hehe.
Banyak
hal yang terjadi belakangan ini, membuatku menjadi manusia paling melankolis di
dunia. Dan jadilah fanfic ga jelas dengan suasana sedih ini sebagai pelampiasan
kegundahan hatiku.
Inspirasi?
Ah mungkin ini curahan hatiku yang terdalam, karena aku juga baru sadar waktu
ngetik corner ini. Sepertinya alam
bawah sadarku membutuhkan sekaligus menginginkan tempat untuk bersandar, hingga
jemari ini tanpa sadar mengetik fic dengan judul Bersandar. Ah, memang dasar
manusia melankolis. /bicara pada diri sendiri/
Waktu
Junsu konser di Tokyo Dome dan dia nyanyi medley lagu TOHOSHINKI, aku nangis
malam-malam. Aku sangat merindukan DB5K. :””( Dan entah kenapa, sepertinya
optimismeku makin kuat sejak saat itu. Aku yakin, hari dimana DBSK kembali
dengan 5 member datang semakin dekat, Amin. :) Aku selalu mendoakan yang
terbaik untuk para oppars. So let’s always keep the faith together, Cassiopeia.
:)
Last,
aku mohon komentarnya yaa. Arigachu~~ :*