PATH
Tidak
peduli seberapa keras aku berusaha, semuanya tetap sama.
Tidak
ada yang pernah menoleh ke arahku.
Semuanya
menganggapku tidak lebih berharga dari sebutir pasir di pantai.
Semuanya
sia-sia, tidak berguna.
Sedikit
pun tidak ada yang berubah...
Sampai
kau berdiri di sana dan memandangku dengan sepasang matamu yang teduh.
* * *
a YUNJAE fanfiction
Path © Kristalicia Rizki
Disclaimer : They belong to God.
This fanfiction belongs to me.
Rate : T
Warn : YAOI, Shounen-ai, BL, OOC,
Typo(s).
* * *
“Maaf,
Jung Yunho-ssi, naskahmu belum lolos seleksi kali ini.”
Napasku
tercekat detik itu juga. Ah, aku sudah memikirkan kemungkinan terburuk ini
jauh-jauh hari sebelumnya. Aku juga sudah berusaha memantapkan diri untuk siap
menghadapi apa pun hasilnya nanti. Tetapi rasanya sia-sia. Dadaku tetap terasa
sesak dan kepalaku mendadak terasa berat. Kenapa bisa sesakit ini?
“Halo?
Halo? Jung Yunho-ssi.”
“Ah,
ne,” jawabku sekenanya. Tenggorokanku jadi kering dan setiap kata yang keluar
seolah bisa menyakitiku.
“Maaf—”
“Terima
kasih banyak atas semua bantuanmu, Jihyun-ssi. Ah, aku ada urusan, jadi harus
kututup dulu teleponnya... Eum... Terima kasih banyak.”
Sambungan
terputus. Kupandangi ponsel yang ada dalam genggamanku itu. Tanpa sadar
genggaman tanganku pada ponsel itu mengeras dan perasaan ingin menghancurkan
benda hitam itu mendadak menguap ke permukaan. Kuayunkan tangan kananku yang
menggenggam ponsel itu ke atas, siap menghempaskannya ke tanah.
“Apakah
kau Jung Yunho?”
Pergerakan
tanganku terhenti ketika sebuah suara memanggil namaku. Kutolehkan kepalaku ke
samping dan kulihat seorang pria tengah memandangku dengan senyuman di
wajahnya. Siapa?
“Benar
kau Jung Yunho?”
Aku
diam. Siapa orang ini? Wajahnya sama sekali tidak kukenal.
“Siapa
kau? Dari mana tahu namaku?” tanyaku sambil memandangnya dengan tatapan
menyelidik, yang hanya dibalas dengan sebuah senyuman lebar olehnya.
“Wah
ternyata benar,” serunya riang, membuat alisku berkerut dalam. Dan sebelum aku
sempat mengajukan pertanyaan lagi, pria itu menundukkan tubuhnya sembari
berkata, “Namaku Kim Jaejoong. Senang bertemu denganmu.”
Apa-apaan
orang ini?
“Aku
pernah melihatmu di seminar yang diadakan di balai kota minggu lalu,” katanya,
masih sambil tersenyum, “Waktu kulihat nama yang tergantung di id-cardmu, aku langsung ingat pada
cerita pendek karya Jung Yunho yang pernah dimuat di majalah favoritku. Apa kau
Jung Yunho yang sama dengan yang membuat cerita pendek itu?”
Cerita
pendek bergaya satir yang iseng kukirimkan ke redaksi sebuah majalah itulah
yang sekarang membuatku merasa bodoh. Mengingat karya pertamaku berhasil dimuat
di sebuah majalah membuatku menemukan kambing hitam untuk disalahkan atas semua
yang kualami belakangan ini. Setengah tahun kuhabiskan dengan anggapan bahwa
aku bisa melakukan sesuatu dengan tulisanku, namun hasilnya nihil. Aku, yang
sudah terlanjur membuang status akademisku di perguruan tinggi, tidak punya
muka untuk bertemu dengan kedua orang tuaku dan berakhir dengan hidup prihatin
di sebuah flat kecil berukuran 4 x 5
m. Kepercayaan diriku saat itu sanggup membuatku berbuat nekat dengan memilih
untuk terjun di dunia yang aku sendiri masih amatir, dunia sastra. Hobiku sejak
kecil memang menulis. Tetapi selepas lulus dari sekolah menengah atas, aku
justru berakhir di jurusan hukum yang ternyata membuatku mual dengan keadilan.
Satu setengah tahun aku benar-benar muak harus menghafal ini-itu, harus membaca
ini-itu, dan seribu hal ini-itu lainnya yang harus kulakukan padahal itulah
yang paling tidak bisa kulakukan dengan benar.
Di
tengah rasa frustrasi dan stres yang kurasakan, kulihat ada sebuah celah yang
kupikir bisa membawaku ke suatu titik terang yang baru. Hanya karena tulisanku
pernah sekali dimuat di media massa, lantas aku langsung merasa aku mungkin
bisa melakukannya lagi. Mungkin jalanku memang di sini, begitu pikirku. Dengan
bermodalkan kenekatan dan rasa jengah terhadap buku undang-undang, aku
meninggalkan kuliahku dan mencoba berjalan di jalan yang baru.
Masih
kuingat jelas Appa yang diam seribu bahasa ketika kukatakan aku ingin berhenti
kuliah. Masih jelas dalam benakku wajah Umma yang berusaha keras untuk
tersenyum ke arahku. Adikku, yang tidak tahu harus apa, hanya memandangku
dengan simpatik. Setelahnya, aku pergi dari rumah dan tak kembali sampai
sekarang.
Aku
yang menghancurkan hidupku sendiri. Aku yang bersikap seolah-olah bisa
menghadapi semuanya. Tapi kenapa Tuhan membiarkanku seperti ini? Kenapa aku
merasa dunia sangat tidak adil, dengan terus membuatku gagal di setiap kali aku
mencoba melakukan debut sebagai penulis? Aku berusaha, tetapi kenapa tidak ada
yang menghargaiku sesuai dengan jerih payahku? Apa Tuhan meninggalkanku karena
sudah membuat Appa dan Umma kecewa?
“Jung
Yunho-ssi.”
Aku
tersentak ketika pria bermata doe
yang mengaku bernama Kim Jaejoong itu berdiri tepat di depanku, dengan wajah
yang hanya berjarak beberapa sentimeter dariku. Sontak aku mundur beberapa
langkah sambil menatap horror ke
arahnya.
Pria
itu masih berdiri di tempatnya dengan senyuman di wajahnya. Lama aku
memandangnya, dan senyum serta sorot mata pria itu mulai mempengaruhi kesehatan
jantungku. Ah, mungkin aku sudah gila. Mana mungkin aku terpesona pada seorang
pria?
“Aku
sangat menyukai cerpenmu. Gaya tulisanmu sangat kuat dan alurnya membuatku
terserap ke dalam cerita dengan mudah. Aku sungguh menyukainya, hingga kubaca
berkali-kali—”
“Hentikan,”
bisikku lirih dengan kepala tertunduk dalam. Jangan, jangan teruskan. Bisa-bisa
aku besar kepala lagi. Bisa-bisa aku menganggap diriku mampu, padahal sebaliknya,
aku sama sekali tidak berdaya. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang manusia
yang sedang dikhianati oleh egoku sendiri.
“Adegan
yang paling kusuka adalah saat—”
“Cukup.”
Suaraku meninggi.
“Tokoh
antagonisnya—”
“Sudah,
hentikan! Apa kau tidak dengar? Aku bilang cukup, jangan teruskan lagi!”
Emosiku naik, napas mulai memburu dan jantungku berdegup makin cepat.
Kim
Jaejoong seketika menghentikan kata-katanya. Raut wajahnya menyiratkan
keterkejutan dan sorot matanya berubah sedikit ketakutan. Ah, apa ini artinya
aku berhasil menghancurkan imageku
sendiri di depan penggemarku? Penggemar? Benar kan, baru beberapa menit saja
aku sudah besar kepala lagi.
Dengan
kepalaku yang masih tertunduk dan Kim Jaejoong yang masih menatapku lekat, kami
berdua saling terdiam. Aku tidak tahu harus bicara apa pada pria di hadapanku
ini. Minta maaf atas kekasaranku? Atau aku hanya harus pergi saja tanpa
mengatakan sepatah kata pun?
“Jung
Yunho-ssi,” panggil Jaejoong lirih. Kudongakkan kepalaku dan kutatap matanya
yang memandang lembut ke arahku, membawa desiran aneh di sepanjang pembuluh
darahku yang menuju ke jantung. Apa aku sakit dan mulai berhalusinasi?
Aku
hanya diam dan memandangnya. Pandangan mataku seolah terserap ke dalam dimensi
mata doe itu, membuatku tidak bisa
mengalihkan pandangan darinya. Tubuhku bahkan tidak bergerak sedikit pun ketika
tangannya menyentuh bahuku dan mengusapnya dengan lembut. Senyum yang terpancar
di wajahnya entah kenapa sanggup membuatku merasa ringan, seolah beban di
pundakku mulai menguap sedikit demi sedikit.
Aku
memang pernah membaca di sebuah situs, bahwa yang namanya jatuh cinta pada
pandangan pertama itu lebih banyak di alami oleh kaum pria dibanding wanita,
tapi... apa ini artinya aku jatuh cinta pada pria asing yang baru kutemui ini?
Aku... jatuh cinta pada pria? Demi Tuhan, aku tidak pernah merasa aku ini
seorang gay. Apa yang terjadi dengan diriku ini?
‘Perhentian
berikutnya....! Perhatikan langkah Anda pada waktu turun!’
Suara
pengumuman menggema di seluruh stasiun bawah tanah tersebut, diiringi dengan
suara samar-samar kedatangan kereta dari kejauhan. Segera aku tersadar dari
lamunanku dan mundur beberapa langkah, membuat sentuhan tangan Jaejoong di
pundakku terlepas. Aku mengalihkan pandanganku darinya ketika sebuah kereta
mulai tampak memasuki jalur yang ada tepat di depanku. Sekelebat bayangan kedua
orang tuaku entah bagaimana mendadak muncul dalam benakku. Tatapan mata Appa
hari itu, juga senyum Umma waktu itu, semuanya begitu jelas seperti ada tepat
di depan mataku.
“Maaf, Jung Yunho-ssi, naskahmu
belum lolos seleksi kali ini.”
Dan
kata-kata Jun Jihyun, seorang editor yang kukenal lewat sebuah forum penulis di
internet, terngiang kembali di telingaku. Dadaku kembali terasa sesak, rasanya
tidak ada oksigen yang masuk ke paru-paru, membuat tubuhku merasa terhimpit
sakit. Kereta itu terus bergerak mendekat. Lalu, keberanian aneh datang
tiba-tiba dalam diriku, membuat sepasang kakiku tanpa dikomando oleh otakku
bergerak sendiri mendekati jalur kereta yang berjarak beberapa langkah saja
dariku. Tidak kupedulikan himbauan dari speaker
yang ada di bagian atas pilar di sebelah kananku yang menyuruh penumpang agar
berdiri di belakang garis putih. Kakiku terus melangkah tanpa kusadari,
sementara kereta yang melaju dengan kecepatan sedang itu terus mendekat. Apa
aku akan loncat ke jalur kereta, membiarkan tubuhku tertabrak dan terhempas,
lalu kejadian ini akan dianggap sebagai usaha bunuh diri dan dimuat di media
massa? Namaku akan kembali muncul di media cetak, bukan sebagai penulis
melainkan sebagai seseorang yang bunuh diri karena tidak kuat terhadap tekanan
hidup.
Beberapa
detik lagi kereta itu melaju tepat di depanku, inilah saat yang tepat jika aku
benar-benar ingin mengakhiri hidup. Lompat sekarang dan mati, atau hidup dalam
penyesalan dan keputusasaan.
Aku
menarik napas dalam dan tepat ketika aku akan melompat, sebuah tangan
mencengkeram lengan kananku dan dengan kuat menyentakkannya ke belakang,
membuat tubuhku terhuyung ke belakang dan kereta yang hendak merenggut nyawaku
berlalu begitu saja di depanku.
“Apa
yang kau lakukan?!” Suara Kim Jaejoong meninggi tepat di telingaku. Kedua
mataku mengerjap beberapa kali, lalu kutatap kilat kemarahan yang terpancar
dari mata Jaejoong. Apa yang baru saja kulakukan? Aku sendiri tidak tahu. Aku
tidak tahu kenekatan untuk bunuh diri itu datang dari mana, mendadak muncul
saja dan sekarang pun keinginan untuk mati itu sudah menguap entah kemana.
Kim
Jaejoong masih menatapku dengan amarah yang masih jelas di wajahnya yang
rupawan, sementara aku terdiam berusaha menjernihkan akal sehatku yang mungkin
memang sudah tumpul.
“Apa
kau sudah gila? Kau mau mati, huh?!” Jaejoong sama sekali tidak menurunkan
volume suaranya, membuat beberapa orang yang ada di sekitar menatap ke arah
kami dengan pandangan yang aku sendiri tidak tahu artinya.
Jaejoong
kini mencengkeram kedua pundakku erat dan mengguncangkan tubuhku. Tubuhku yang
sama sekali tidak ada niatan untuk melawan hanya bergerak maju mundur dengan
lemah. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa mendengar deru napas Jaejoong yang
cepat. Pria itu mungkin sedang berusaha menahan gejolak emosinya dan menahan
diri untuk tidak melayangkan kepalan tangannya ke arahku yang hanya diam
seperti orang bisu.
“Jawab
aku, Jung Yunho!”
Aku
tersentak dan spontan menjawab dengan nada yang sama tingginya, “Aku sudah
tidak punya alasan untuk hidup! Untuk apa kau mencegahku yang ingin mati?! Kau
tidak punya hak untuk mencampuri hidupku!”
Jaejoong
sepertinya terkejut dengan jawabanku. Remasan tangannya di bahuku mengendur dan
perlahan kedua tangannya melepaskan diri dariku.
“Apa
yang—”
“Tidak
ada satu pun naskahku yang diterima oleh redaksi. Aku sudah terlanjur berhenti
kuliah dan mengecewakan kedua orang tuaku. Aku pergi dari rumah dan hidup tanpa
penghasilan. Aku tidak punya masa depan lagi. Untuk apa aku mempertahankan
kehidupan yang seperti ini?!” Sebelum Jaejoong sempat menyelesaikan semuanya,
isi otakku sudah terlanjur meledak dan membuat kata-kata itu meluncur begitu
saja tanpa kupikirkan terlebih dahulu.
Raut
wajah Jaejoong semakin jelas menampakkan keterkejutan. Namun tak lama kemudian,
sepasang doe eyes yang indah itu menatapku dengan sendu. Apa maksudnya?
“Jangan...”
ujar Jaejoong lirih dengan kepala tertunduk, hampir terdengar seperti berbisik,
“Aku tidak mau kau mati seperti itu,” lanjutnya, dan kali ini berhasil membuat
keterkejutan muncul di wajahku.
Setelah
sebuah helaan napas pelan, Jaejoong kembali mengangkat kepalanya dan menatapku
dengan mata yang... berkaca-kaca? “Aku tidak tahu apa yang sudah kau alami atau
masalah apa yang sedang menimpamu. Mungkin aku juga bukan siapa-siapa bagimu,
bukan seseorang yang berhak untuk mencampuri urusan pribadimu. Akan tetapi aku
mohon... jangan seperti ini.” Suara Jaejoong bergetar. Hei apa-apaan ini,
kenapa pria ini bersikap seolah hendak menangis seperti ini? Yang frustrasi
dengan hidup kan aku, kenapa dia yang ingin menangis?
Setelah
berhasil sedikit mengendalikan emosinya, Jaejoong buru-buru mengusap kedua
matanya dengan kasar, menghapus genangan air mata di sudut matanya. “Naskahmu
baru saja ditolak dan kau langsung ingin mati? Sungguh konyol. Kau itu namja
bukan?!”
Hei,
kenapa dia membentakku lagi?
“Apa
kau tidak pernah mendengar pepatah lama yang berkata ‘Kegagalan adalah kunci
menuju keberhasilan’? Atau kau pernah mendengar tapi tidak tahu artinya? Kau
sebodoh itu, huh?”
Sekarang
dia mengataiku bodoh. Apa-apaan pria ini?
“Dari
pada bunuh diri, lebih baik kau tulis ulang naskahmu. Berusaha lebih keras
lagi, jangan malah menyerah dan merajuk seperti anak kecil. Memangnya hidup
semudah membalikkan telapak tangan? Kalau hidup memang semudah itu, apa
pentingnya memiliki mimpi dan cita-cita? Apa artinya berusaha dan berdoa? Untuk
apa kau percaya pada Tuhan?”
Apa
pria ini sedang menceramahiku?
“Kalau
kau terjatuh, yang harus kau pikirkan adalah kenapa kau terjatuh, bukannya
memikirkan rasa sakit yang kau terima. Introspeksi dirimu sendiri, jangan
manja. Kau ini sudah dewasa kan, kau harus bisa bangun sendiri. Meratapi nasib
tidak akan membuat masalahmu selesai begitu saja. Penyesalan memang datang
terlambat, tapi bukankah itu yang menjadi cambuk bagi diri kita sendiri untuk
berubah?”
Aku
mengerjapkan mataku lagi. Kenapa Kim Jaejoong mendadak berbicara panjang lebar
seperti ini? Kapan dia akan berhenti bicara? Umma saja tidak pernah
menceramahiku sampai seperti ini.
“Kau
pikir di dunia ini yang pernah merasakan pedihnya sebuah kegagalan hanya kau
saja. Aku pernah merasakannya. Pria yang membawa koper itu juga pernah. Wanita
berambut ikal itu juga pasti pernah. Semua orang pernah mengalaminya. Jadi
jangan jadikan kegagalan sebagai alasan untuk bunuh diri. Kreatif dong, cari
alasan yang lebih bermutu kalau ingin bunuh diri.”
Jadi
di sini aku yang salah, begitu?
“Jangan
terus-terusan melihat ke atas, sesekali tengoklah ke bawah. Masih banyak hal
yang bisa kau syukuri. Kau mungkin lebih beruntung dari pada kakek berbaju
lusuh itu. Masalah yang kau hadapi bukan semata-mata untuk membuatmu putus asa,
melainkan untuk membuatmu lebih kuat lagi. Tuhan tidak akan pernah memberi
cobaan yang melebihi kemampuan umat-Nya, apa kau tidak pernah mendengar
kata-kata itu?”
Mendadak
aku merasa konyol karena sempat mempertanyakan Tuhan.
“Kau
pasti bisa melewatinya. Tuhan sudah menyediakan jalan keluarnya untukmu, kau
hanya perlu berusaha lebih keras sedikit lagi. Kalau kau sudah mengecewakan
orang tuamu, tunjukkan kalau kau yang sekarang bisa membuat mereka percaya dan
bangga kepadamu. Yang menjalani hidupmu ya dirimu sendiri. Kau yang tahu jalan
hidup mana yang harus kau pilih. Buktikan bahwa apa yang kau pilih adalah yang
terbaik untukmu sendiri. Yakinkan dan kuatkan dirimu. Tidak semua jalan itu
mulus seperti jalan beraspal, kadang kala ada batu yang menghalangi, entah itu
kerikil atau batu sebesar buah semangka. Namun itu bukan untuk alasan kau
berbalik arah atau diam termangu tidak bergerak. Kau sudah memilih jalanmu,
maka kau harus melewatinya. Semustahil apapun itu terlihat bagimu, tetap tidak
ada yang mustahil bagi Tuhan. Kau pasti bisa. Coba dan berusaha terus, jangan
biarkan dirimu kalah dan tenggelam dalam kegelapan.”
Aku
tidak tahu apa yang ada dalam pikiran seorang Kim Jaejoong sehingga dia bisa
berkata panjang lebar seperti itu padaku. Pria ini sungguh sulit dimengerti,
misterius, sekaligus menarik.
“Aku
tidak mau kau berhenti menulis. Aku sangat menyukai tulisanmu. Meski aku baru
membaca satu karyamu tetapi aku yakin kau punya bakat dalam bidang ini. Kau
pasti bisa. Jangan sia-siakan kesempatan yang ada, terus mencoba dan jangan
takut gagal lagi.”
Benar
juga, aku masih punya seribu ide cerita yang belum sempat kuketik di laptopku.
Ide-ide itu terus berputar dalam benakku, hanya saja terkadang aku belum sempat
menuangkannya ke dalam kata-kata karena berbagai alasan sepele seperti malas,
mengantuk, dan ada naskah lain yang belum selesai kutulis. Aku memang
seharusnya tidak membatasi diriku sendiri, ide-ide itu sebaiknya kubiarkan saja
mengalir bak air mengalir, untuk apa susah-susah membangun bendungan untuk itu.
Jaejoong
dan aku sejak tadi saling menatap tanpa terlepas sedetik pun. Sorot matanya
lagi-lagi mampu memenjarakanku ke dalam dimensinya. Kulihat pria di hadapanku
ini menghela napas pelan. Mungkin napasnya sedikit terengah setelah bicara tak
henti sejak beberapa menit lalu.
“Jadi,
Jung Yunho-ssi,” ujar Jaejoong lagi setelah helaan napasnya itu, “... jangan
mencoba untuk bunuh diri lagi, ne? Kau tidak akan masuk surga kalau mengakhiri
hidup dengan mendahului takdir yang sudah digariskan Tuhan seperti itu, kau
paham maksudku kan?”
“Pfft.”
Aku mencoba menahan tawaku setelah mendengar kata-katanya barusan. Aku sendiri
tidak tahu kenapa, hanya saja kata-katanya tadi terdengar begitu menggelikan
bagiku.
Kulihat
Jaejoong mengerutkan dahinya, mungkin dia bingung melihatku yang mendadak
tertawa. Dan setelah aku berhasil meredakan keinginan untuk tertawa, aku
kembali menatapnya lekat ditambah dengan sebuah senyuman di wajahku lalu
berkata, “Terima kasih, Kim Jaejoong-ssi.”
Lagi-lagi
Jaejoong menatapku dengan kaget, dan sedetik kemudian kulihat semburat merah
samar di kedua pipinya. Dia... blushing?
“A-anggap
saja itu sebuah saran dari fans untuk penulis favoritnya,” sahut Jaejoong
dengan tergagap. Kembali aku berusaha menahan tawa karena tingkahnya yang lucu
dan tidak terduga itu.
“Kata-katamu
benar. Tidak seharusnya aku berputus asa seperti ini. Aku akan berusaha bangkit
dan berjuang lebih keras lagi. Aku akan melakukan semua saran darimu,” ujarku
tanpa senyum yang memudar sedikit pun.
Sepasang
mata doe yang menatapku penuh harap
membuat jantungku kembali berdetak abnormal. Sejak kapan aku punya penyakit
jantung?
“Kau
janji?” tanya Jaejoong, masih dengan puppy
eyes yang membuat jantungku menggila, sembari menyodorkan jari
kelingkingnya ke arahku.
Tanpa
ragu aku mengaitkan jari kelingkingku dengan jarinya dan berkata, “Aku janji.”
Dan senyumku setelah itu menjadi semakin lebar.
Jaejoong
balas tersenyum ke arahku dengan senyumannya yang menawan. Sepertinya ada yang
salah dengan saraf di otakku. Kenapa mendadak aku merasa begitu nyaman di dekat
pria ini? Kenapa keinginan untuk mengenalnya lebih jauh mendadak muncul dalam
benakku?
Aku
tidak sadar berapa lama kami saling mengaitkan jari dan saling bertukar pandang
seperti ini. Sampai suara tangisan bayi di kejauhan menyadarkan kami berdua dan
membuat tautan jari kami terlepas, menyisakan aku yang hanya bisa menggaruk
tengkuk yang tidak gatal sebagai usaha untuk mengusir kecanggungan di antara
kami dan Jaejoong yang buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain.
Kemudian
lama kami hanya saling terdiam seperti ini. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri,
yang sebenarnya aku sendiri juga bingung sedang memikirkan apa. Jaejoong pun
sepertinya tidak jauh beda denganku.
Ah,
aku tiba-tiba teringat sesuatu.
Kuulurkan
tanganku ke arah Jaejoong yang sedari tadi sibuk memandangi lantai di bawah
kami, membuat Jaejoong mendongakkan kepalanya dan menatap bingung ke arahku.
“Namaku Jung Yunho, senang berkenalan denganmu,” kataku dengan sebuah senyum
lebar. Aku belum membalas perkenalan dirinya tadi dan aku belum menyapa pembacaku
dengan semestinya.
Tak
butuh waktu lama untuk Jaejoong menyambut uluran tanganku dan balas tersenyum
ke arahku, “Senang juga bisa bertemu denganmu, penulis favoritku, Jung
Yunho-ssi.”
Di
detik yang sama dengan kata-kata Jaejoong, aku mengaku pada diriku sendiri. Aku
tertarik pada pria yang baru kukenal dan baru kutemui ini. Aku ingin
mengenalnya lebih jauh. Aku ingin bertemu dengannya lagi. Aku ingin merasakan
kenyamanan saat bersama dengannya. Perasaan yang seperti ini sudah sering
kubaca dalam novel-novel roman picisan. Perasaan ini yang dinamakan jatuh
cinta, bukan?
“Tadi
aku sempat berkata, aku tidak punya alasan lagi untuk hidup,” kataku lagi,
dengan tangan kami yang masih saling berjabat, “Mungkin ini terdengar aneh,
tapi maukah kau menjadi alasanku untuk tetap hidup, Jaejoong-ah?”
Ah,
kata-kata itu bukankah terdengar seperti sebuah lamaran? Tiba-tiba saja jiwa
puitis yang biasanya hanya keluar ketika aku menulis cerita muncul, yang aku
sendiri tidak tahu bagaimana bisa.
Jantungku
yang berdegup makin kencang seolah sanggup keluar dari antara tulang rusukku
itu membuatku mendadak grogi ketika kudapati Jaejoong yang hanya diam. Otakku
mungkin memang sudah rusak. Setelah ini Jaejoong pasti menganggapku tidak waras
dan itu juga berarti aku baru saja kehilangan pembacaku.
Aku,
yang sudah hendak melepaskan tanganku darinya, mengurungkan niatku dan malah
menggenggam tangannya makin erat, ketika kulihat senyum hangat itu kembali
muncul di wajahnya.
Masa
bodoh dengan orang lain. Ini hidupku, aku sendiri yang menjalaninya. Aku yang
tahu benar apa yang harus kulakukan dalam hidupku. Aku yang paling tahu mana
yang terbaik untukku. Dan untuk saat ini sampai selamanya, aku merasa pilihanku
dengan menjadikan Kim Jaejoong sebagai alasan hidupku adalah pilihan terindah
yang pernah kuambil selama 23 tahun aku hidup.
* * *
- TAMAT
-
P.S
Fic ini selesai diketik pada tanggal 4
September 2014, jam 23.17 WIB, di kamarku, di rumah. :)
Mau bilang apa ya?
Kemarin habis sakit dan ke dokter,
tenggorokan sakit parah, pusing, dan pilek juga. Biasa... penyakit lama. Masih
minum obat dan dalam masa penyembuhan. Yosh! Harus sembuh sebelum kuliah
tanggal 8 nanti.
Maba 2014 udah datang dan lagi PMB.
Kemarin aku ga ikut menyambut.
Laporan Mekflu-Hidro belum acc juga, duh
ga tahu deh musti gimana. Terserah cowok-cowok itu deh bbbzzzztttt. .___.
JYJ lagi sibuk tur konser Asia mereka.
Tohoshinki kemarin tampil di A-nation. Yunho lagi sibuk main drama juga. Duh,
ini backsong-nya pas banget Fallen Leaves, jadi mellow nih. :”( Kangen oppars~~
T___T
IP kemarin bagus, naik, puji Tuhan
banget. :) Semester 3 nanti aku harus berusaha lebih keras lagi dan lagi, ga
boleh putus asa apalagi menyerah. Semangat, Kiki! Tuhan besertamu. ^^
Cici Lina bentar lagi nikah, rasanya
waktu begitu cepat berlalu. Aku selalu mendoakan yang terbaik buat Ci Lina,
semoga Ci Lina bahagia selalu tanpa lupa untuk terus bersyukur kepada Tuhan. :)
Mami dan Papi juga semoga diberi
kesehatan selalu, dilancarkan rejekinya. :) Aku berharap semoga mereka bisa
lebih dibukakan hatinya untuk menerima-Mu, Tuhan.
Hiro, Rosi, Puni, dan Audi semoga sehat
dan bahagia selalu. :) Aku bakal ga ketemu mereka setengah tahun ke depan,
semoga pas aku pulang lagi mereka baik-baik tanpa kekurangan suatu apa pun.
Apa lagi?
Aku mau menambah intensitas untuk
mengasah kemampuan menulisku! Yeah! Blog dan AO3 akan jadi sasaran utama, wkwk.
Ganbarri-masu!!
Last, mohon komentarnya. Arigatou~~
/bow/
0 komentar:
Posting Komentar