DOWN
TO FALL
Aku berdiri diam di pinggir jembatan
dengan tatapan lurus ke arah depan. Angin malam yang dingin membelai tubuhku
yang hanya terlindung oleh sebuah sweater
rajutan berwarna abu-abu. Setelah sebuah helaan napas panjang, aku mengangkat
kaki kananku untuk berpijak di pagar pembatas jembatan. Dengan bantuan topangan
kedua telapak tangan, kuangkat kaki kiriku dan membuat diriku berdiri mantap di
pagar pembatas yang catnya mulai mengelupas oleh waktu.
Angin
malam kembali menerpa tubuhku, kali ini terasa lebih kencang dari sebelumnya,
seolah ingin menggoyahkan badanku. Kupejamkan kedua mataku erat, meresapi
dinginnya malam di awal musim dingin hari ini. Ketika suara desiran air yang
terusik oleh kencangnya hembusan angin memasuki indera pendengaranku, kubuka
kedua mataku. Dengan kepala tertunduk kutatap lekat air sungai yang berwarna
hitam pekat sepekat langit malam tanpa bintang hari ini. Suara deburan air
bersamaan dengan hembusan angin menjadi kombinasi yang sesuai, yang membawa
sensasi dingin mencekam hingga ke tulang rusukku. Tubuhku mulai menggigil. Rasa
takut mulai meliputi naluriku. Sungai gelap yang ada di bawah kakiku terlihat
seperti akan menelanku hidup-hidup dan akan membawa diriku ke dimensi paling
kelam yang pernah ada.
Angin
berhembus makin kencang, membuat kedua lututku mulai bergetar. Bisa kurasakan
kulit tubuhku yang mulai kebas karena dingin yang menggigit. Kutengadahkan
kepalaku ke atas, menghadap ke langit yang terlihat sama menyedihkannya seperti
hidupku. Aku diam selama beberapa menit dengan pikiran kosong, sebelum kemudian
kedua mataku kembali terpejam bersamaan dengan kedua tanganku yang terulur
lurus ke samping. Kuhela lagi sebuah napas panjang dan kemudian kubiarkan
tubuhku jatuh ke bawah tanpa usaha untuk mencoba melawan gravitasi. Deru angin
yang melewati telingaku membuat mataku semakin erat terpejam hingga tak berapa
lama setelah itu aku merasakan air dingin memukul sekujur tubuhku dengan keras.
* * *
a YUNJAE fanfiction
Down to Fall © Kristalicia Rizki
Disclaimer : They belong to God.
This fanfiction belongs to me.
Rate : T
Warn : YAOI, Shounen-ai, BL, OOC,
Typo(s).
* * *
Kata orang, ketika ajal datang
menjemput, secara otomatis otak akan memutar memori dan kenangan-kenangan yang
kita alami di masa kecil. Sama seperti yang kualami sekarang. Dengan kedua mata
yang terpejam erat, benakku dipenuhi dengan kilas balik masa kanak-kanakku yang
begitu menyenangkan. Kurasa halusinasi yang kualami ini akibat hipotermia.
Aku
ingat, ketika semasa TK aku sering berebut satu-satunya ayunan yang ada di
halaman sekolah dengan Changmin, namja
kelas sebelah yang tingginya melebihiku, dan berakhir dengan Jihye-seonsaengnim yang melerai perkelahian
kecil kami. Aku ingat, ketika Noona
memaksaku menemaninya bermain rumah-rumahan dan membuatku jadi bahan ejekan di
kelas selama 1 minggu. Aku ingat, ketika aku dan Junsu secara tidak sengaja
memecahkan kaca jendela rumah Paman Muwon dan hanya bisa bersembunyi di gudang
olahraga sekolah hingga larut malam. Aku ingat, ketika musim panas tiba aku dan
Yoochun selalu menjadi pengunjung pertama yang mengunjungi kolam renang
sekolah.
Semua
kenangan itu kembali muncul dalam benakku dan terasa begitu nyata, seolah baru
saja terjadi kemarin. Dan setelah memori tentang masa kecilku, kini gantian
wajah Umma dan Appa, serta Noona yang
memenuhi pikiranku. Aku mengingat setiap detail wajah dan ekspresi mereka.
Sorot mata teduh dan menenangkan milik Umma.
Garis wajah Appa yang tegas yang
membuatnya terkesan galak namun sebenarnya penuh perhatian. Dan senyum Noona yang selalu membuatku tidak bisa
menolak keinginannya.
Rasa
sesak mulai menghimpit dadaku. Mungkin paru-paruku sudah dalam batas limitnya
sejak oksigen terakhir masuk ke pernapasanku. Aku bahkan tidak bisa merasakan
bagian tubuhku lagi. Mungkin kaki dan tanganku mati rasa karena rasa dingin
yang membekukan ini.
Ah,
sepertinya sebentar lagi aku akan mati.
Wajah
kedua orang tuaku dan kakakku kembali
muncul dalam benakku. Aku jadi menyesal. Aku belum sempat bilang terima kasih
dan minta maaf pada mereka. Aku juga
belum sempat mengatakan kalau aku sangat menyayangi mereka semua. Aku
belum sempat...
Eh?
Siapa pria ini?
Tiba-tiba
saja dalam benakku muncul seorang namja
dengan rambut brunette berwarna
coklat. Aku tidak merasa pernah mengenalnya. Melihat wajahnya saja tidak
pernah. Tapi kenapa namja ini bisa
muncul dalam pikiranku?
“Apa yang kau lakukan?”
Pria
asing aneh itu tiba-tiba bertanya dengan nada tinggi ke arahku. Hei, apa-apaan
pria ini?
“Kau bunuh diri? Kau mau mati?”
Dia
bertanya lagi, masih dengan nada yang sama tingginya dengan sebelumnya.
“Memangnya kau siapa? Kau bukan Tuhan! Apa
hakmu untuk mendahului takdir?”
Aku
mulai kesal. ‘Dan kau! Memangnya kau
siapa?! Apa hakmu untuk mencampuri urusanku?! Ini hidupku, terserah padaku mau
berbuat apa!’ batinku dengan nada yang sama tingginya.
Pria
aneh berjubah hitam itu menghela napasnya, lalu menggelengkan kepala samar. “Kau tidak tahu siapa aku?” Dia malah balik bertanya kepadaku.
‘Memangnya kau siapa? Tuhan?’ tanyaku,
masih dengan emosi yang menggebu.
Pria
berwajah kecil dan bermata sipit bak musang itu menggeleng lagi, “Bukan, aku bukan Tuhan,” jawabnya
sambil memandang lekat ke arahku, “Aku
Dewa Kematian.”
Aku
tersedak, mungkin air baru saja masuk ke hidungku. Barusan dia bilang apa? Dewa
Kematian? Hah, jangan bercanda!
“Kau tidak percaya?” Seolah bisa membaca
pikiranku, pria itu kembali bertanya.
Aku
hanya terdiam dan sibuk memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Penampilannya seperti manusia normal biasa yang mengenakan jubah hitam.
Wajahnya pun termasuk dalam kategori wajah yang mungkin dimiliki oleh
artis-artis papan atas.
Aku
suka membaca komik. Dan aku tahu benar seperti apa rupa Ryuk, shinigami yang memberikan Death Note pada seorang siswa SMA
bernama Light Yagami. Kupikir Dewa Kematian memang seperti itu, berwajah mirip
tengkorak dengan tubuh penuh tulang yang menonjol dari kulitnya yang hitam
kusam dan lengkap dengan sayap bak kelelawar raksasa. Atau setidaknya, kupikir
seorang Dewa Kematian itu akan membawa trisula atau semacamnya sebagai alat
untuk mencabut nyawa manusia.
Akan
tetapi Dewa Kematian yang satu ini benar-benar berbeda dengan imajinasiku. Dewa
Kematian yang ini terlihat sangat... manusiawi.
“Namamu Kim Jaejoong, kan?” tanyanya
sembari mengeluarkan secarik kertas dari balik jubahnya. “Umurmu 29 tahun dan kau baru saja dipecat dari pekerjaanmu.”
Aku terdiam.
Bagaimana dia bisa tahu? Jadi dia benar-benar Dewa Kematian?
Pria
itu menatap ke arahku lagi. “Jadi kau
masih meragukanku yang seorang Dewa Kematian ini? Apa perlu kubeberkan semua
dosa yang telah kaulakukan sepanjang hidupmu ini?”
‘Aku percaya,’ ucapku spontan dalam
hati. Jantungku tiba-tiba saja berdetak kencang. Pria ini benar-benar seorang
Dewa Kematian, tidak perlu diragukan lagi. Dan dia ada di sini sekarang, tepat
di hadapanku. Apa ini berarti dia akan mencabut nyawaku sekarang? Apa aku akan
mati saat ini juga?
“Kau benar-benar ingin mati?” Dia
bertanya lagi, sambil memasukkan kembali kertas di tangannya ke dalam jubahnya.
Aku
terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku ingin mati, tapi aku juga tidak
ingin. Mungkin aku hanya tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan dalam
kehidupanku yang menyedihkan ini sehingga akhirnya aku memutuskan untuk mati
saja. Aku merasa tidak berguna, tapi aku juga merasa berat jika harus
meninggalkan dunia dengan cara seperti ini.
“Kau tahu apa akibatnya jika kau bunuh
diri?”
Aku berpikir
sejenak. ‘Masuk ke neraka?’ jawabku
asal.
“Bukan hanya itu.” Pria itu tersenyum,
yang aku sendiri tidak tahu apa arti senyumannya. “Efek buruk yang sebenarnya adalah ketidakseimbangan antara dunia nyata
dan dunia fana. Sederhananya seperti kau makan setiap hari 3 kali sehari, tapi
selama 3 hari berturut-turut kau tidak buang air. Pasti tubuhmu akan terasa
tidak enak, kan? Siklus dunia ini pun mirip seperti ilustrasi barusan. Ketika
orang yang meninggal terus bertambah namun tidak ada bayi yang dilahirkan,
sudah pasti dunia ini menjadi tidak seimbang. Karena pada hakikatnya, semua
yang hidup dan yang mati sudah diatur oleh Tuhan. Dan akibat dari
ketidakseimbangan itu adalah... ya bisa kau bayangkan saja sendiri,” jelasnya
panjang lebar.
Kukira
bunuh diri hanya tindakan berdosa yang akan membawa kita ke neraka. Tapi
ternyata efeknya bisa lebih buruk dari itu.
“Aku heran pada manusia zaman sekarang.
Putus asa sedikit langsung bunuh diri. Patah hati lalu bunuh diri. Bangkrut
lalu bunuh diri. Dipecat lalu bunuh diri. Apa kalian tidak tahu betapa repotnya
kami semua akibat dari tindakan bodoh kalian itu?” Kali ini wajahnya tampak
kesal dengan kedua tangannya yang dilipat di depan dada.
Aku
tidak tahu harus berkomentar apa. Aku terdiam dan otakku mulai kosong.
Sepertinya kesadaranku mulai menipis dan aku bisa jatuh pingsan kapan saja.
Pandangan mataku bahkan mulai mengabur. Dan di sela-sela kabut yang memenuhi
penglihatanku, kulihat pria itu mengeluarkan jam saku dari balik jubahnya.
“Gawat, hampir 8 menit,” katanya,
terdengar panik. Dengan cemas dia menatapku dan aku samar-samar mendengarnya
bergumam, “Meskipun Tom Sietas bisa
menahan napas di dalam air selama 22 menit 22 detik, tapi rata-rata manusia
hanya bisa menahan napas selama 8 menit dan maksimal 15 menit. Jika lebih dari
itu, cadangan oksigen dalam tubuh akan berkurang hingga level kritis.
Akibatnya, orang tersebut akan mengalami kecemasan, pingsan, tidak dapat
merasakan indera di tubuhnya, atau tidak mendengar suara-suara yang didengarnya.
Dan yang terburuk, dia bisa amnesia atau stroke. Bertambahnya konsentrasi
protein S100B di darah juga dapat menyebabkan kerusakan otak. Gawat, aku harus
melakukan sesuatu.”
Setelah itu,
dengan kesadaran yang benar-benar sudah di ambang batasnya, aku melihatnya
mengulurkan tangan ke arahku. Tangannya meraih pergelangan tangan kiriku dan
dia menarik tubuhku dengan kuat. Di antara kegelapan yang mulai meliputi
jangkauan pandangku, kulihat punggungnya yang ada di hadapanku dan kurasakan
kehangatan yang memancar dari genggaman tangannya. Apa Dewa Kematian memang
seperti ini? Kukira mereka semua tidak hanya berdarah dingin, tapi juga
bertangan dingin bagaikan mayat hidup. Tidak kusangka tubuhnya ternyata bersuhu
normal seperti manusia biasa.
Ah,
kepalaku mulai terasa berat. Aku tidak sanggup lagi. Dan tepat sebelum
kegelapan membuat mataku terpejam selamanya dan membawa pergi kesadaranku, aku
melihat sebuah cahaya menyilaukan tepat di atasku. Apa di saat-saat terakhir
seperti ini aku boleh berdoa kepada Tuhan, memohon kepada-Nya agar aku bisa
masuk ke surga?
* * *
“Uhuk, uhuk!” Aku
terbatuk keras dan aku merasakan air mengalir melalui lubang hidung dan
mulutku. Setengah berbaring, aku masih terbatuk-batuk dan berusaha menstabilkan
napasku.
“Kau
tidak apa-apa?” tanya seseorang tepat di sampingku.
Kutolehkan
kepalaku dan seketika aku terkejut melihat sosok pria dengan pakaian dan rambut
basah kuyup yang tengah berlutut di sebelahku. Wajahnya sangat mirip dengan...
“Kau
tidak apa-apa?” tanyanya lagi dengan nada cemas dan ekspresi khawatir. Dengan
napas yang masih terengah-engah, aku menganggukkan kepala. Saat itu juga
terdengar helaan napas lega darinya dan pria itu langsung terduduk di tempat.
Aku
masih tidak bisa mengalihkan tatapanku darinya dan tanpa sadar aku bergumam
lirih, “Apa aku sudah mati?”
Pria
itu kembali menatapku dan kemudian tersenyum tipis, “Kau belum mati, tapi kau
hampir saja mati,” jawabnya.
Aku
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Selimut gelap yang menggantung di atasku
ini mirip seperti langit malam tanpa bintang yang tadi kulihat. Tak jauh
dariku, kulihat jembatan panjang membentang di atas sungai hitam yang tak kalah
kelam dengan langit malam. Dan sekarang dengan indera peraba pada kedua telapak
tanganku bisa kurasakan tanah dingin lembab yang menjadi alas tubuhku saat ini.
Jadi
aku masih berada di Bumi? Aku belum mati?
“Ayo
kita ke rumah sakit, kau perlu memeriksakan dirimu. Aku akan mengantarmu. Apa
kau bisa berdiri?” ujar pria itu sambil berdiri dari duduknya dan mengulurkan
tangan ke arahku.
Aku
mengerjapkan mataku berkali-kali dan mengusapnya berulang kali. Penglihatanku
tidak salah dan aku sangat yakin kalau aku tidak sedang berhalusinasi. Pria ini
sangat mirip dengan Dewa Kematian yang tadi muncul dalam benakku. Yang
membedakan hanya pakaiannya. Kalau tadi dia mengenakan jubah hitam, kini dia
mengenakan pakaian normal manusia biasa—sebuah kaus turtleneck berwarna putih dibalik mantel tebal, celana jins biru
dongker, dan sepatu sneakers berwarna
putih motif hitam—. Matanya yang berkesan tajam menatapku heran karena aku tak
kunjung merespon uluran tangannya.
“Kau...
menyelamatkanku?” tanyaku dengan suara serak.
Pria
itu hanya tersenyum kecil tanpa berkata sepatah kata pun.
“Siapa
namamu?”
“Jung
Yunho,” jawabnya pelan, “Dan jangan menatapku seolah kau sedang melihat dewa
kematian,” imbuhnya sembari tertawa pelan.
* * *
-
TAMAT –
P.S
Akhirnya
selesai juga ngetik fic ini, huahahahahahaha. :D
Dimulai
dari 6 Oktober 2014 dan selesai pada 26 Desember 2014 di kost jam 12.22 WIB. :3
Belakangan
ini suka bikin cerita pendek bertema kehidupan macam ini, wkwkwk.
Dan
kalian tahu sekarang hari apa? It’s TVXQ 11th Anniversary~!!
:)
Selamat
buat oppars kita yang luar biasa, Jung Yunho, Kim Jaejoong, Park Yoochun, Kim
Junsu, dan Shim Changmin. ^^ Sukses selalu buat kalian semua. Kami, CASSIOPEIA,
akan selalu ada untuk mendukung oppars semua. :* We always keep
the faith! :)
Terima
kasih karena kalian telah hadir dan menjadi bagian dalam hidupku. Terima kasih
karena kalian telah sangat mewarnai hidupku. <3 nbsp="">3>Terima
kasih, karena kalian tidak pernah berhenti membuatku bangga. :* Thank you so
much with full of love to all CASSIOPEIA around the world, for being a part of
my life. :* You all are the best! ^^
I
LOVE YOU, DB5K~! :) I LOVE YOU, CASSIOPEIA~! :) <33 :="">33>
Artikel
terkait :
0 komentar:
Posting Komentar