31 Desember 2013

SKANDAL - Chapter 4

SKANDAL
Chapter 4

-xxx-

            “Mau minum apa, Jihye-sshi?” tanya Jaejoong sembari berjalan ke dapur.
            “Tidak usah repot-repot, oppa. Aku kemari hanya ingin mengantarkan ini,” kata Wang Jihye sambil mengeluarkan sebuah naskah dan meletakkannya di meja. Jaejoong membalikkan badannya dan melangkah menuju meja.
            “Apa ini?” tanya Jaejoong. Dia mengambil naskah tersebut dan duduk di seberang Jihye. Matanya menatap lembar demi lembar dalam naskah itu.
            “Itu skenario drama. Sutradara Seo memintaku untuk memberikannya padamu. Dia sedang mencari pemeran pria dalam drama tersebut, dan katanya dia ingin oppa yang memerankannya.”
            “Hm,” gumam Jaejoong, matanya menelusuri kata-kata dalam naskah tersebut.       “Tapi aku bukan seorang aktor, Jihye-sshi. Aku belum pernah mencoba berakting,” ujar Jaejoong sambil melirik Jihye sekilas.
            Jihye tersenyum kemudian berkata, “Sutradara Seo ingin oppa melihat skenarionya dulu, baru memutuskan.”
            “Hm, entahlah, tapi aku tidak begitu yakin,” kata Jaejoong sembari menutup naskah tersebut dan meletakkannya kembali ke atas meja.
            “Sutradara Seo akan menghubungimu lagi nanti, oppa.”
            “Ya, baiklah.”
            “Kalau begitu aku pamit pulang dulu, oppa. Ini sudah larut malam,” tandas Jihye. Dia bangkit dari duduknya, membuat Jaejoong pun segera berdiri.
            “Buru-buru sekali. Mau kuantar, Jihye-sshi?” tawar Jaejoong. Kakinya mulai melangkah menuju pintu depan, diikuti oleh Jihye.
            “Ani, tidak usah repot-repot, oppa, aku bawa mobil,” sahut Jihye sambil tersenyum samar.
            Jaejoong membuka pintu begitu mereka sampai di depan. Jihye melangkah keluar dan membalikkan badannya serta membungkukkan kepalanya sekilas.
            “Aku pamit dulu, oppa,” kata Jihye. Sebuah senyum menghiasi wajahnya yang terlihat agak letih.
            “Eum, hati-hati di jalan, ne?” Jihye mengangguk sambil masih tersenyum sebagai jawaban.
            “Lain kali mampirlah lagi kemari,” kata Jaejoong, mengundang tawa pelan dari Jihye.
            “Ne, oppa, gomawo.”
            Jihye kemudian berbalik dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir di seberang rumah Jaejoong. Suara sepatunya yang beradu dengan jalan memecah kesunyian malam. Tangannya membuka pintu mobil dan segera duduk di balik kemudi. Setelah memasang sabuk pengaman, Jihye menurunkan kaca mobilnya dan melambaikan tangan ke arah Jaejoong yang masih berdiri di ambang pintu.
            Jaejoong membalas lambaian tangan Jihye dan tersenyum ke arahnya. Mobil itu perlahan bergerak dan ketika mobil Jihye menghilang dari jangkauan penglihatannya, Jaejoong masuk kembali ke dalam rumahnya. Tak lupa dia menutup pintu dan menguncinya.
            Kaki Jaejoong melangkah menuju ruang tengah. Dihempaskannya tubuhnya begitu saja di atas sofa, dan Jaejoong menghela napas kuat-kuat. Diliriknya sekilas naskah yang tergeletak di atas meja. Kepalanya kemudian dia sandarkan ke atas sofa, matanya menerawang ke langit-langit rumahnya.
            Belakangan ini Jaejoong tak banyak melakukan aktivitas. Hanya sesekali dia pergi ke kantor agensinya, setelah itu dia akan lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah yang luas ini. Jaejoong merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya. Jaejoong menghela napas kecewa ketika mendapati tak ada satu pesan atau panggilan pun yang masuk ke ponselnya. Bahkan Yunho tak lagi mengiriminya pesan singkat atau mencoba meneleponnya sejak kejadian malam itu.
            ‘Mianhe, Yun, jeongmal mianhe,’ batin Jaejoong.

*          *          *
            Matahari sudah cukup tinggi ketika Kim Junsu berjalan menuju rumah Jaejoong, penyanyi berbakat yang belakangan ini menjadi berita hangat karena kasus skandalnya dengan aktris Wang Jihye.  Tangan kanannya setia memegang ponsel yang sekarang sedang menempel di telinganya. Sesekali dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
            Junsu menjauhkan ponsel dari telinganya ketika dia sudah berdiri di depan pintu rumah Jaejoong. Ditekannya bel rumah berkali-kali dengan tidak sabar. Sebenarnya sejak tadi Junsu sudah mencoba menghubungi Jaejoong, namun namja bermarga Kim itu tak juga mengangkat panggilannya. Maka dari itu, Junsu berniat mengecek keadaan dengan pergi langsung ke rumah Jaejoong.
            Jaejoong yang tak kunjung membukakan pintu membuat Junsu akhirnya masuk begitu saja ke dalam rumah.
            Junsu memang tahu password pengaman rumah Jaejoong. Ini agar Junsu lebih mudah  mengetahui keadaan Jaejoong, seandainya Jaejoong tidak bisa dihubungi lewat ponsel. Dan juga, kalau terjadi sesuatu yang gawat atau darurat di luar dugaan, Junsu jadi bisa segera membantu atau pun menghubungi Jaejoong.
            Dengan ini pula, Junsu jadi merasa lebih lega karena bisa memantau bagaimana kondisi Jaejoong. Kim Jaejoong ‘kan artis dan dia adalah manajernya, bukankah wajar kalau Junsu juga memperhatikan keselamatan artisnya?
            Sembari bergumam kesal, Junsu melepas sepatunya dan mengenakan sandal rumah lalu berjalan masuk ke dalam. Baru saja dia akan berteriak memangil Jaejoong, ketika sepasang matanya melihat keadaan rumah Jaejoong yang sangat berantakan. Junsu mengurungkan niatnya memanggil Jaejoong dan mengamati sekeliling. Botol minuman, bungkus makanan, pakaian, kertas-kertas, tissue, semuanya berserakan di lantai, meja, dan sofa.
            ‘Kenapa bisa berantakan begini? Tidak biasanya Jaejoong yang cinta kebersihan itu membiarkan rumahnya dalam keadaan seperti ini,’ batin Junsu. Setelah bergumul dengan pikirannya, akhirnya Junsu memutuskan untuk membereskan rumah Jaejoong dulu baru nanti dia bicara dengan Jaejoong.
            Junsu dengan cekatan segera mengambil sampah-sampah yang berserakan di dekatnya. Diraihnya tempat sampah yang ada di dekat pintu depan, dan diletakannya semua sampah itu disana. Junsu menyusuri tiap jengkal rumah Jaejoong dan memungut sampah dengan sabar.
            Junsu berdecak kesal sembari berkacak pinggang ketika melihat meja di ruang tengah yang bukan hanya penuh sampah tidak berguna, tapi juga air dari botol minuman yang tumpah dan membasahi sebagian meja. Merepotkan!
            “Astaga!” jerit Junsu kaget ketika matanya menangkap sosok namja yang tengah berbaring di sofa. Tangan yang semula hendak meraih botol-botol minuman di atas meja berganti mengelus dadanya. Jantungnya jadi berdetak lebih cepat karena kekagetan tadi.
            “Yah, Kim Jaejoong! Kenapa tidur di sofa?” ujar Junsu dengan nada tinggi. Emosinya masih belum sepenuhnya stabil sejak insiden kecil tadi.
            Namja yang dipanggil Jaejoong itu menggeliat tidak nyaman. Namun bukannya bangun, Jaejoong justru membalikkan tubuhnya menghadap ke punggung sofa dan melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. Melihat itu, Junsu lagi-lagi berkacak pinggang.
            “Yah, Kim Jae—” kalimat Junsu terhenti ketika matanya menyadari sesuatu yang berbeda. Tangannya yang sedari tadi bertengger di pinggang perlahan turun dan terjatuh di samping tubuhnya.
            Kim Jaejoong, yang sekarang sedang tertidur, masih mengenakan pakaian yang sama sejak terakhir Junsu melihatnya kemarin sore —kemeja putih dan celana panjang hitam—, sementara jas hitamnya tersampir begitu saja di sofa yang lain. Ditambah, bau alkohol menguar cukup kuat dari tubuh Jaejoong. Tidak biasanya Jaejoong tampak kacau seperti ini. Padahal kemarin sore saat Junsu bertemu dengan Jaejoong di kantor agensi, dia terlihat baik-baik saja meski wajahnya agak kusut.
            ‘Apa terjadi sesuatu?’ ujar Junsu dalam hati.
            Tubuh Jaejoong kembali menggeliat, dan dia mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Mata doe-nya perlahan mulai terbuka. Jaejoong mengerjap-ngerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan dengan sinar matahari yang memenuhi ruangan. Dia sedikit mendongakkan kepalanya ketika menyadari ada seseorang berdiri di sampingnya.
            “Junsu hyung?” kata Jaejoong dengan suara serak. Dia bangun perlahan dan duduk di atas sofa, sementara tangan kanannya menggaruk kepalanya. “Hyung di sini,” ujar Jaejoong sebelum dia menguap lebar.
            “Eum,” gumam Junsu samar, “Aku coba meneleponmu beberapa kali tapi tidak diangkat, jadi aku datang kemari,” lanjutnya.
            “Mian hyung, aku ketiduran,” kata Jaejoong sambil menatap Junsu sekilas, sementara Junsu sedang sibuk dengan pikirannya, membuat matanya terpaku pada lantai.
            “Ugh, kepalaku pusing,” gumam Jaejoong lirih. Jaejoong bangkit berdiri dan berjalan ke dapur, berniat untuk minum sedikit air.
            Junsu menatap Jaejoong yang berjalan agak tertatih dengan tatapan sendu. Sepertinya Junsu bisa menebak apa yang membuat Jaejoong seperti ini.
            “Yah, Kim Jaejoong~! Kenapa rumahmu bisa berantakan begini?” tandas Junsu cepat, mencoba menutupi pemikirannya sendiri.
            Jaejoong meletakkan gelas yang air di meja dapur dan menatap Junsu dengan dahi berkerut. Namja ini tmapaknya belum sepenuhnya sadar dari tidurnya.
            “Ah, itu… aku belum sempat membereskannya, hyung,” sahut Jaejoong, lalu menegak air dalam gelas tadi.
            Junsu menatap Jaejoong dengan pandangan tidak percaya, membuat Jaejoong menjadi salah tingkah sendiri. Jaejoong tahu kalau Junsu sangat mengenalnya. Dan melihat kondisi seperti ini, sudah pasti Junsu tidak akan percaya begitu saja dengan alasan yang baru saja Jaejoong lontarkan.
            Junsu menghela napas pelan, kemudian melanjutkan kegiatan beres-beresnya yang sempat terhenti tadi. Jaejoong yang melihat tidak ada kelanjutan respon dari Junsu, berjalan perlahan ke ruang tengah dan ikut membantu Junsu membereskan sampah yang bertebaran.
            “Ngomong-ngomong, hyung, ada perlu apa kemari? Bukankah hari ini aku tidak ada jadwal? Apa ada sesuatu yang ingin hyung sampaikan?”
            “Ah i-itu…” mendadak Junsu tebata-bata, “Ah i-iya, S-sutradara Seo katanya ingin bertemu denganmu untuk membicarakan soal drama itu,” tandas Junsu cepat. Junsu melirik Jaejoong sekilas sebelum kemudian berusaha menghindari kontak mata dengan Jaejoong.
            Jaejoong yang awalnya bingung melihat sikap Junsu yang mendadak aneh, tidak begitu ambil pusing. Dia melanjutkan mengambil sampah yang ada di lantai dan berkata, “Ah soal itu. Hm, aku sendiri bingung harus menerimanya atau tidak. Menurutmu bagaimana, hyung?” tanya Jaejoong. Kini dia sibuk mengelap meja yang basah.
            “I-itu terserah padamu saja, Jaejoong-ah. Tapi saranku, kurasa kau bisa mencobanya. Siapa tahu kau memang ada bakat juga dalam dunia akting,” jawab Junsu sedikit terbata, mendadak dia jadi merasa gugup.
            “Eum, begitu ya…” gumam Jaejoong.
            Untuk beberapa menit setelahnya, kedua namja ini saling terdiam. Sepertinya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Beberapa kali Junsu melirik Jaejoong gelisah, takut Jaejoong curiga dengan sikapnya yang mendadak jadi gugup dan takut Jaejoong tahu kalau dia baru saja berbohong.
            “Kapan pertemuannya, hyung?” tanya Jaejoong tiba-tiba, membuat Junsu terperangah kaget.
            “Besok malam jam 7, di gedung KBS,” jawab Junsu cepat.
            “Baiklah,” sahut Jaejoong singkat.
            ‘Aku harap ini yang terbaik yang bisa kulakukan untukmu sekarang, Jaejoong-ah,’ batin Junsu.
*          *          *
            Jung Yunho menginjak pedal gas cukup kuat, membuat mobilnya melaju kencang di atas jalanan malam kota Seoul. Yunho tampak serius dengan kegiatan menyetirnya. Begitu mendapat pesan singkat dari Junsu sekitar 30 menit lalu, Yunho tak berpikir panjang lagi dan memutuskan untuk mengambil kunci mobilnya.
            “Malam ini jam 7 di gedung KBS. Tunggulah di basement, aku yakin kau bisa menemui Jaejoong disana. Dan… Yunho-sshi, aku harap kau bisa melakukan sesuatu untuk Jaejoong.
            Isi pesan itu terus membayang di benak Yunho. Tak perlu waktu lama baginya untuk memutuskan pergi ke gedung KBS. Dia yakin inilah kesempatan yang tepat untuk bertemu dengan Jaejoong. Meskipun mungkin Jaejoong tak lagi ingin bertemu dengannya, tapi setidaknya Yunho bisa mengatakan sepatah dua patah kata pada kekasihnya itu.
            Yunho memelankan laju mobilnya ketika mulai memasuki area basement. Sembari mencari lokasi parkir yang tepat, Yunho memperhatikan sekeliling, mencoba mencari apakah ada Lamborghini merah di antara mobil-mobil yang ada di basement ini, sekaligus mencari apakah ada wartawan yang mengintai di sekitar sini.
            Yunho memutuskan untuk parkir di dekat lift yang menuju ke gedung stasiun TV itu. Setelah mematikan mesin mobilnya, Yunho melepas seat-belt dan menghirup napas dalam-dalam. Matanya melirik ke jam tangannya. Jam 06.53 p.m. Kemudian pandangannya beralih mengamati basement dari kaca spion. Cukup sepi tampaknya, dan wartawan atau orang-orang mencurigakan lain juga tak terlihat.
            Baru saja Yunho akan keluar dari mobilnya, mobil Lamborghini merah yang cukup mencolok terlihat memasuki area basement. Untuk beberapa detik Yunho menahan napasnya. Entah perasaan apa yang dirasakannya sekarang, tidak bisa digambarkan. Antara senang, bingung, dan juga kalut.
            Lamborghini itu berhenti beberapa meter di sisi kanan dari mobil Yunho. Deru halus mobil mewah itu hilang, membuat suasana basement menjadi kembali sunyi. Yunho menghirup napas dalam beberapa kali, sebelum akhirnya memutuskan keluar dari mobil. Diliriknya sekilas si pengemudi Lamborghini itu yang belum menampakkan dirinya.
            Yunho melangkahkan kakinya menuju lift yang tertutup, dan berhenti tepat beberapa meter di depan pintu lift itu. Ketika telinganya menangkap ada langkah kaki yang perlahan mendekat, Yunho segera membalikkan badannya dan memunggungi lift. Mata sipitnya menangkap sosok namja yang mengenakan pakaian cukup rapi tengah berjalan ke arah lift. Kepalanya menunduk, mungkin bermaksud untuk menyamarkan wajahnya.
            Yunho masih berdiri di sana, tidak beranjak sedikit pun. Matanya pun menatap lurus ke arah namja tadi, yang bernama Kim Jaejoong. Sepertinya Jaejoong belum menyadari kehadirannya.
            “Jae,” panggil Yunho dengan suara rendah, namun cukup untuk sampai di telinga Jaejoong.
            Seketika langkah Jaejoong terhenti. Kepalanya mendongak, dan matanya menangkap sosok tinggi Jung Yunho sedang berdiri beberapa langkah darinya.
            “Yun… Yunho? A-apa yang kau lakukan disini?” tanya Jaejoong. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terbata-bata dan jantungnya berdegup cukup kencang sekarang.
            “Aku harus bicara denganmu, Jae,” jawab Yunho. Tubuhnya masih tidak bergerak sedikit pun.
            Mata doe Jaejoong menatap Yunho lekat-lekat dengan pandangan yang sulit diartikan. Jaejoong terlihat gugup, tidak tahu harus berbuat dan mengatakan apa pada Yunho. Mengklarifikasi kalau skandal itu bohong? Minta maaf karena tidak menghubungi Yunho beberapa hari belakangan? Atau menceritakan secara detail penyebab semua kejadian ini? Jaejoong tidak tahu harus mulai dari mana.
            “A-aku ada urusan penting,” kata Jaejoong.
            Dipaksakannya kedua kakinya yang terasa lemas untuk bergerak dan berjalan pergi. Mungkin sekarang bukan saat yang tepat untuk bicara pada Yunho.
            Yunho hanya diam, sementara Jaejoong terus berjalan sambil berusaha mempercepat langkahnya. Kedua namja ini bahkan tidak saling menengok ketika Jaejoong berjalan melewati Yunho.
            Yunho berdecak kesal dan sedikit mengumpat, sebelum akhirnya dengan cepat dia membalikkan tubuhnya. Tangannya dengan cepat meraih lengan Jaejoong yang belum berjalan terlalu jauh darinya, membuat langkah Jaejoong kembali terhenti. Dengan sekali sentakan kuat, Yunho membalikkan tubuh Jaejoong, membuat kekasihnya ini berdiri menghadapnya.
            Yunho menatap Jaejoong lekat dengan tangan kanannya yang masih mencengkeram lengan kiri Jaejoong, sementara Jaejoong memilih untuk menghindari kontak mata dengan Yunho. Dia tahu benar apa jadinya nanti kalau dia menatap Yunho.
            Deru napas Yunho terdengar kuat dan berat, membuat Jaejoong yakin namja yang ada di hadapannya ini sedang berusaha menahan emosinya. Namun Jaejoong hanya bungkam, seolah tidak ada yang ingin dibicarakan dengan Yunho, membuat Yunho lagi-lagi mengumpat kesal.
            “Apa tidak ada yang ingin kau katakan?” tanya Yunho tegas. Beberapa detik Yunho menantikan jawaban yang keluar dair mulut Jaejoong, tapi hasilnya nihil.
            “Kenapa kau menghindariku? Apa yang sebenarnya terjadi?” desak Yunho. Dia mulai kesal melihat Jaejoong yang hanya diam dengan kepala tertunduk.
            “Jadi skandal itu benar? Semua berita itu memang benar dan kau menjalin hubungan dengan Wang Jihye?” nada suara Yunho meninggi.
            Yunho tidak tahan lagi, dia tidak bisa lagi bersabar sekarang. Dia butuh kebenaran yang keluar dari mulut Jaejoong sendiri.
            Seketika Jaejoong mengangkat kepalanya, dan matanya bertemu pandang dengan Yunho. ‘Tidak! Bukan seperti ini!’ jerit Jaejoong frustasi dalam hati, tapi tak ada sepatah kata pun yang meluncur keluar.
            Yunho menatap Jaejoong tajam dengan pandangan menuntut. Lama mereka berdua hanya diam dan saling memandang. Dan perlahan, cengkeraman tangan Yunho pada lengan Jaejoong mulai mengendur bersamaan dengan tatapan matanya yang berubah menjadi sendu. Jaejoong bisa menangkap kepedihan yang Yunho rasakan saat ini lewat sorot mata Yunho. Yunho mengalihkan pandangannya, dan menatap ke bawah.
            “Baiklah,” ujar Yunho lirih sambil melepaskan genggaman tangannya dari lengan Jaejoong.
            ‘Tidak, Yun! Ini bukan seperti yang kau bayangkan,’ batin Jaejoong. Dia ingin menjelaskan semuanya pada Yunho, namun apa daya tubuhnya kali ini seolah berada di luar kendalinya.
            Yunho menengadahkan kepalanya lagi dan menatap Jaejoong, sementara Jaejoong merasa matanya mulai memanas.
            “Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata Yunho, kedua tangannya kini memegang bahu Jaejoong, “Tapi aku percaya padamu, Jae. Dan aku janji, aku akan melindungimu.”
            Jaejoong membelalakan matanya, menatap Yunho dengan pandangan tidak percaya. Benarkah ini? Bahkan sampai terluka seperti ini pun, Yunho masih percaya padanya? Memikirkan betapa dia yang membuat Yunho terluka sampai seperti ini membuat Jaejoong mulai membenci dirinya sekarang.
            Yunho melepaskan genggaman tangannya pada bahu Jaejoong. Dia menatap Jaejoong sekilas sembari memaksakan sebuah senyum di wajahnya, sebelum akhirnya dia berbalik dan mulai melangkah pergi, meninggalkan Jaejoong yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Sepanjang kakinya berjalan menuju mobil, berkali-kali Yunho menghela napas berat. Pikirannya kosong dan melayang-layang bebas entah kemana.
            Yunho membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Segera dipasangnya seat-belt dan mulai menyalakan mesin. Begitu matanya menatap lurus ke depan, sosok Kim Jaejoong yang masih berdiri disana dengan kepala tertunduk membuat dada Yunho terasa sesak. Dia tahu Jaejoong tidak baik-baik saja sekarang. Pasti ada sesuatu yang membuat Jaejoong berubah sikap seperti ini.
            Yunho mulai menginjak pedal gas dan kedua tangannya menggenggam erat stir mobil. Perlahan mobil itu bergerak meninggalkan basement dan suara derunya menggema di area basement. Yunho hanya menatap lurus ke depan, dia tak mau lagi melihat ke belakang melalui kaca spion, karena Yunho tahu dia tidak akan sanggup lagi melihat Jaejoong menderita sendirian.
            Sementara Jaejoong masih berdiri terpaku di sana. Matanya menatap nanar ke arah mobil yang melaju pergi itu. Perasaannya semakin kalut sekarang, ditambah dengan rasa bersalah yang memenuhi pikirannya. Setelah semua yang terjadi ini, Jaejoong merasa tidak sanggup lagi bertemu Yunho. Dia tidak ingin melukai kekasihnya lebih dalam lagi.
            “Mianhe, Yun,” bisik Jaejoong dengan kepala tertunduk dalam dan suara yang bergetar.
*          *          *
            “Jae… Jaejoong-ah…” Jaejoong seketika terkesiap dari lamunannya saat merasa namanya dipanggil. Matanya mengerjap beberapa kali dan menemukan Junsu yang berdiri di sampingnya sedang menggoyang-goyangkan telapak tangan di depan wajahnya.
            “Eh… ah, i-iya. Waeyo hyung?” kata Jaejoong, sedikit tergagap.
            “Apa kau sudah siap? Sebaiknya kita berangkat sekarang sebelum terjebak macet. Kita semua tidak ingin melewatkan begitu saja penerbangan ke Pulau Jeju siang ini, ‘kan?”
            “Ah iya, baiklah.” Jaejoong segera bangkit dari duduknya.
            Diraihnya tas punggung yang ada di sampingnya, kemudian merapikan sedikit pakaiannya dan sempat sekilas melirik ke kaca yang ada di ruangan itu —sebuah ruang VIP di sebuah salon ternama yang biasa menjadi tempat langganan Jaejoong—, sekadar untuk memastikan tatanan rambutnya sudah rapi.
            Junsu serta beberapa orang stylish-nya sudah berjalan terlebih dahulu, menyisakan Jaejoong di belakang yang berlari kecil mengejar mereka sambil mengenakan sebuah kacamata hitam dan topi. Segera setelah dirinya menyejajarkan langkah dengan Junsu, dikeluarkannya ponsel dari saku jaketnya dan mulailah Jaejoong sibuk mengutak-atik ponsel pintar itu.
            “Junsu-sshi gawat!” seru seorang stylish noona sembari berlari kecil ke arah Junsu dan Jaejoong. Jaejoong mendongakkan kepalanya dan melihat raut wajah cemas dari noona yang sudah lama dikenalnya itu.
            “Waeyo, noona?” tanya Junsu.
            “Di depan banyak sekali wartawan dan fans, mereka berkerumun tepat di depan pintu masuk. Sepertinya mereka semua tahu kalau Jaejoong-sshi ada di sini, dan kurasa sulit untuk menghindari mereka. Kudengar juga dari petugas security di depan tadi, pintu belakang pun kondisinya sama, dipenuhi wartawan dan fans yang tidak sedikit jumlahnya,” jawab noona sambil mencoba mengatur napasnya yang pendek-pendek.
            “Eehh?!” Junsu tampak cukup kaget mendengar hal itu.
            “Lalu bagaimana, hyung?” tanya Jaejoong. Dia melepas kacamata hitamnya dan menatap Junsu lekat.
            Junsu mulai panik. Matanya menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya dengan gelisah sementara tangan kanannya mulai sibuk merogoh ponsel di sakunya dengan terburu-buru.
            “Apa tidak ada bodyguard?” tanya Jaejoong lagi.
            “Aku menyuruh mereka bersiap di bandara, karena kupikir fans dan wartawan pasti akan berkerumun di sana. Ini di luar perkiraanku. Aku sama sekali tidak mengira mereka akan mengejar sampai kemari,” ujar Junsu cepat, tangannya sibuk dengan ponselnya. “Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?”
            Jaejoong terdiam. Beberapa staf juga tampak bingung dan mereka hanya berdiri mematung di sana. ‘Ayolah, Jae, pikirkan suatu cara,’ desak Jaejoong pada dirinya sendiri untuk menemukan jalan keluar.
            Sementara itu, Junsu tampak sibuk menghubungi seseorang, raut wajahnya gusar dan tak tenang. Jaejoong kemudian menatap ponsel yang masih berada dalam genggamannya. Tampak olehnya di layar ponsel sebuah foto yang sudah lama dijadikan wallpaper olehnya. Sebuah foto lama yang penuh kenangan.
            Foto seorang namja yang sedang duduk di lantai dengan menyandarkan punggungnya ke dinding. Namja itu tampak asyik memandang keluar ke arah langit, dengan latar belakang dinding kaca yang memancarkan pendar kuning keemasan khas sore hari, yang diambil dari sudut pandang samping. Sosok itu jelas Jung Yunho. Jaejoong mengambilnya diam-diam saat Yunho ada di rumahnya sore itu. Sore hari dimana Yunho datang untuk ikut merayakan keberhasilan debut Jaejoong.
            Melihat foto Yunho, terbesit sesuatu di benak Jaejoong. Namja itu menghela napas berat sebelum kemudian menghampiri Junsu dan menepuk pundak Junsu yang sedang berdiri membelakanginya itu. “Hyung,” panggilnya, lirih saja.
            Junsu yang merasa dipanggil, menolehkan kepalanya tanpa melepaskan ponsel dari telinganya. Junsu hanya menatap Jaejoong dengan tatapan yang seolah menyuarakan ‘Ada apa?’
            “Kita terobos saja kerumunan orang itu,” ujar Jaejoong, tangannya memasang lagi kacamata hitam yang tadi sempat dilepasnya.
            Junsu yang sudah memutuskan sambungan telepon tadi menatap Jaejoong dengan raut wajah terkejut.
            “Eeehh?! Apa maksudmu, Jaejoong-ah? Kau tahu sendiri ‘kan, di luar itu terlalu padat, mana mungkin kita bisa melewatinya begitu saja, apalagi tanpa pengawalan dari bodyguard. Bagaimana kalau mereka bergerak di luar batas? Kau mau membahayakan dirimu sendiri, eh?” tandas Junsu cepat karena kaget mendengar usul dari Jaejoong yang menurutnya sama saja dengan usulan untuk terjun bebas dari lantai 5 ini supaya bisa keluar dari gedung tanpa perlu repot mengurus kerumunan manusia itu.
            “Aku tidak mau melarikan diri, hyung. Aku sudah muak.” Junsu terdiam mendengar kata-kata Jaejoong.
            Dia menatap Jaejoong yang sedang tertunduk itu dengan lekat. Meski ada kacamata hitam yang menyamarkan ekspresinya, Junsu tahu benar ekspresi apa yang ada di wajah tampan Jaejoong sekarang.
            “Tapi Jae—”
            “Ayolah, hyung. Suruh supir untuk menempatkan van kita di pintu depan jadi kita bisa langsung pergi setelah itu. Kita keluar saja dahulu, staf  bisa mengikuti di belakang setelah kita pergi agar mereka tidak ikut terlibat,” kata Jaejoong cepat. “Bukankah kita semua tidak ingin ketinggalan penerbangan ke Jeju? Kalau kita terlalu lama terjebak di sini, tiket pesawatnya jadi sia-sia, ‘kan?” lanjutnya.
            Junsu menarik napas dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, “Baiklah kalau kau berkata seperti itu, Jae. Aku akan berjalan di depanmu dan ingat untuk jangan berjalan jauh-jauh dariku. Aku harus melindungimu bagaimanapun juga.”
            Jaeoong tersenyum mendengar Junsu yang setuju dengan rencananya. “Gomawo, hyung.”
            Junsu hanya tersenyum kecut menanggapi Jaejoong. Dan setelah itu, mereka mulai berjalan. Jaejoong mengeratkan topi di kepalanya lalu membenarkan letak kacamatanya. Ponselnya sudah berada aman di dalam saku jaketnya. ‘Aku harus melakukan ini,’ batin Jaejoong, mencoba menguatkan dirinya sendiri.
            Jaejoong serta Junsu berdiri terdiam sejenak, beberapa meter dari pintu depan. Di luar sudah tampak kerumunan orang-orang yang terlihat sangat tidak sabar menanti kedatangan Jaejoong. Jaejoong menghembuskan napas dan melirik ke arah Junsu. Junsu balas menatapnya, kemudian menganggukkan kepalanya. Jaejoong hanya tersenyum samar, lalu Junsu segera berjalan mendahuluinya dengan posisi tepat di depan Jaejoong.
            Petugas security yang berjaga di pintu masuk melihat kedatangan Jaejoong dan merasa bahwa Jaejoong akan keluar, segera membukakan pintu. Seketika itu juga suara riuh langsung memenuhi ruangan. Suara blitz pun tak kalah dari teriakan-teriakan para fans. Junsu dengan sigap berusaha mencari celah, membukakan jalan untuk Jaejoong. Sementara Jaejoong tetap mengekor di belakang Junsu sambil merendahkan kepalanya.
            Suara wartawan yang berusaha mencari berita untuk bertahan hidup itu, memenuhi telinga Jaejoong. Ditambah lagi dengan suara teriakan fans yang mayoritas yeoja, membuat kepala Jaejoong mulai pening. Dia benci situasi seperti ini. Tangan-tangan wartawan yang menyodorkan alat perekam ataupun mic ke arahnya membuatnya sulit untuk bergerak leluasa. Bahkan untuk bernapas saja rasanya sesak.
            Jaejoong meringis ketika merasakan sebuah tangan seseorang yang mencengkeram lengannya kuat. Jaejoong coba menepis tangan itu, namun kemudian tangan lain berhasil menyentuh wajahnya dan kuku panjang tangan itu sukses membuat sebuah luka cakar di pipi kanan Jaejoong.
            ‘Sasaeng fans,’ batin Jaejoong dengan nada pahit.
            Sulit sekali bergerak di antara kerumunan itu.Tangan-tangan lain yang memegangi bajunya membuatnya sulit bergerak. Jaejoong sedikit mendongakkan kepalanya dan seketika itu juga Jaejoong terkesiap. Punggung Junsu tak lagi ada di depan matanya, dia bisa melihat Junsu ada beberapa meter di depannya. Dengan sekuat tenaga Jaejoong berusaha melewati kerumunan itu, setidaknya dia harus bisa mengejar Junsu. Junsu sendiri tampaknya terlalu sibuk mencari celah sehingga tidak menyadari kalau Jaejoong tidak lagi ada tepat di belakangnya.
            Jaejoong mulai panik. Dia tidak ingin terjebak disini. Ketika pikirannya kalut dan melayang-layang entah kemana, sebuah lengan mendekap punggung Jaejoong. Jaejoong tersentak kaget. Sekarang di sampingnya telah berdiri seorang namja bertubuh lebih tinggi darinya. Jaejoong sedikit mendongakkan kepalanya untuk mengamati namja yang entah muncul dari mana itu. Penampilan namja itu mirip seperti seorang bodyguard. Pakaiannya serba hitam dari atas sampai bawah. Namja itu juga mengenakan sebuah kacamata dan topi hitam. Napas Jaejoong tercekat begitu menyadari identitas namja misterius itu.
            Sementara itu, namja misterius itu mendekap Jaejoong lebih erat agar mendekat ke arahnya. Tangan kirinya melingkar di punggung Jaejoong sementara tangan kanannya berusaha menyingkirkan orang-orang di depan mereka agar Jaejoong bisa berjalan menembus kerumunan manusia dengan berbagai tujuan itu. Kepalanya tegak menatap ke depan.
            Jaejoong sama sekali tidak merasa asing ketika namja misterius itu mendekapnya dengan cukup erat. Sebaliknya, dia merasa nyaman dan terlindungi. Jaejoong hapal betul perasaan ini. Dan dia tahu dengan pasti kalau namja ini adalah Jung Yunho. Jung Yunho yang mungkin masih menjadi kekasihnya.
            “Kenapa…?” desis Jaejoong. Matanya menatap lurus ke arah Yunho.
            Yunho melirik sekilas ke arah Jaejoong dan kemudian tersenyum, sebuah senyum lembut dan menenangkan yang sangat dirindukan Jaejoong. “Bukankah aku sudah berjanji akan melindungimu? Apa kau lupa?” kata Yunho pelan, namun cukup untuk sampai ke telinga Jaejoong yang berada di dekatnya.
            Jaejoong hanya terdiam. Segera ditundukkannya kepalanya lagi. Doe eyes Jaejoong kini hanya sibuk menekuri bumi tempat berpijaknya, mengamati langkahnya yang meski pendek-pendek namun pasti. Tidak ada kata lagi yang terucap dari bibir Jaejoong. Perasaannya sekarang campur aduk, Jaejoong sendiri bingung dengan dirinya.
            Yunho yang ada di sampingnya sekarang cukup membuat rasa rindunya sedikit terobati. Dekapan hangat dari tubuh Yunho. Tangan kasar yang sering mengusap kepalanya. Bahu tegap yang sering jadi tempatnya bersandar. Jaejoong merindukan setiap hal yang ada pada seorang Jung Yunho.
            “Cepatlah masuk,” suara rendah Yunho menyadarkan Jaejoong.
            Jaejoong membuka matanya yang ternyata sedari tadi terpejam dan menemukan pintu van yang terbuka ada di depannya. Sudah berhasilkah dia melewati kerumunan manusia itu?
            Jaejoong mendongakkan kepalanya cepat dan menemukan Yunho yang sedang menatapnya dengan sebuah senyum lembut. Jaejoong tahu, Yunho sekarang pasti sedang menatapnya dengan tatapan teduh itu. Dia bisa merasakannya meski masing-masing dari mereka mengenakan kacamata hitam.
            “Jaejoong-ah, cepat masuk,” seru Junsu yang sudah berada di dalam van.
            Jaejoong menatap Junsu, dan menatap Yunho lagi. Setelah itu, meski tanpa keinginan dari hatinya, tubuhnya mulai bergerak memasuki van. Tepat setelah Jaejoong masuk ke dalam van, pintu van tersebut menutup dengan cepat. Dan sekian detik kemudian, van itu mulai melaju meninggalkan kerumunan manusia dengan desahan kecewa dari masing-masing manusia itu.
            Jaejoong yang sudah berada di dalam van, tak sedikit pun melepaskan pandangan dari sosok Yunho, sebelum kemudian sosok itu menghilang ditelan oleh kerumunan orang-orang yang mulai bergerak berpencar itu.
            “Apa orang itu…?” tanya Junsu yang sedari tadi memperhatikan Jaejoong.
            Junsu yang bingung bagaimana harus mengatakannya, hanya bisa menggantungkan kalimatnya.
            Jaejoong yang mendengar Junsu bertanya kepadanya, segera membenarkan posisi duduknya. Dihempaskannya punggungnya ke sandaran kursi, dan matanya menatap ke bawah dengan sendu. “Ya,” jawab Jaejoong pendek saja. Dia tahu maksud Junsu meski orang itu tidak menyelesaikan kalimatnya.
            Melihat reaksi Jaejoong, Junsu sudah bisa menebak siapa bodyguard misterius yang mendadak muncul dan melindungi Jaejoong itu. Bodyguard misterius itu pastilah Jung Yunho, tidak salah lagi.
*          *          *
            Melewati kerumunan manusia penuh ambisi ternyata tak semudah yang dibayangkan. Apalagi sambil melindungi seseorang, tentu akan terasa lebih sulit lagi. Mati-matian Yunho berusaha membawa Jaejoong keluar dari antara orang-orang ini.
            “Kenapa…?” desis Jaejoong. Yunho yang mendengar Jaejoong bertanya kepadanya melirik sekilas ke arah Jaejoong sambil tersenyum.
            ‘Kenapa perlu menanyakan hal sepele seperti itu? Bukankah jawabannya sudah jelas?’ batin Yunho sambil matanya kembali menatap lurus ke depan. “Bukankah aku sudah berjanji akan melindungimu? Apa kau lupa?” jawab Yunho akhirnya.
            ‘Seorang laki-laki tidak akan menjilat ludahnya sendiri, benar ‘kan?’ pikir Yunho lagi.
            Sebenarnya Yunho juga tak mengerti kenapa dia perlu sampai berjanji seperti itu. Kalau dipikirkan dalam-dalam, mungkin ini karena dia masih mencintai Kim Jaejoong. Dia rela berpakaian bak bodyguard demi membantu Jaejoong. Dia rela asalkan itu demi Jaejoong. Ya, mungkin alasan cinta adalah yang paling tepat.
            “Cepatlah masuk,” ujar Yunho begitu mereka sampai di dekat van.
            Manajer Jaejoong sudah ada di dalam van dan kini sedang menatap Jaejoong dengan khawatir. Jaejoong menatap Yunho dan Yunho balas dengan tersenyum. Perlahan Yunho melepaskan tangannya dari punggung Jaejoong begitu namja itu mulai memasuki van. Pintu van segera tertutup dan van dengan kaca gelap itu mulai bergerak meninggalkan tempat yang rusuh itu. Yunho tak melepaskan pandangannya dari van yang bergerak makin menjauh itu.
            “Haah, tak kusangka aku benar-benar melakukannya,” kata seorang namja berpakaian sama seperti Yunho, yang kini sudah berdiri tepat di samping Yunho.
            Namja itu melepaskan topinya dan mulai mengibas-ibaskan topi hitam itu ke arah wajahnya, mencoba untuk mengusir panas dan keringat dari tubuhnya.
            Yunho yang menyadari kalau sahabatnya yang bernama Park Yoochun itu berdiri di dekatnya, menatap ke arah namja itu kemudian tertawa kecil. Matanya menatap ke sekeliling. Orang-orang, baik fans maupun wartawan, mulai meninggalkan tempat itu. Kemudian dilepasnya kacamata hitam yang bertengger di hidungnya dan dimasukkannya ke saku jasnya. Setelah itu mata sipitnya kembali menatap ke arah dimana van itu pergi.
            “Bagaimana?” tanya Yoochun sambil ikut memandang ke arah yang sama dengan Yunho, meski van itu tak lagi terlihat.
            “Lancar, tapi kita sedikit terlambat. Aku melihat ada bekas luka cakar samar di wajahnya, ada sasaeng fans yang berhasil menyentuhnya kurasa,” jawab Yunho sambil tangannya melepas topi yang ada di kepalanya.
            “Apa dia mengatakan sesuatu?” tanya Yoochun ingin tahu. Yunho terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menggeleng lemah.
            Kedua namja itu kemudian hanya terdiam di tempat masing-masing. Yoochun menatap sekilas ke arah Yunho yang sedang tertunduk. Yoochun cukup mengenal Yunho dan dia tahu di wajah sahabatnya itu ada suatu kepedihan. Mungkin ada juga penyesalan dan kegembiraan di sana, Yoochun tak tahu dengan pasti.
            “Haahh, ternyata jadi bodyguard susah juga ya,” ujar Yoochun memecah keheningan, sambil menghela napas berat.
            Yunho mendongakkan kepalanya sambil tersenyum, “Aku juga berpikiran sama.”
            “Yah~ Jung, pokoknya kau harus mentraktirku makan siang selama sebulan, arra? Tak kusangka kau benar-benar membuatku melakukan hal seperti ini.”
            Yunho tertawa pelan kemudian memutar badannya hingga menghadap ke arah Yoochun, “Arraseo,” sahutnya, “Jeongmal gomawo, Yoochun-ah. Maaf sudah merepotkanmu.”
            Yoochun balas menatap Yunho. Ditepuknya pundak sahabatnya itu sembari berkata, “Kalau untukmu tentu saja tidak merepotkan, Yunho-ya, kita sahabat ‘kan?”
            Yunho tersenyum dan mengangguk. Yoochun memang sahabat yang paling pengertian.

*          *          *
-to be continued-

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

ABOUT ME

Foto saya
Im a HUMANOIDS, not A-N-D-R-O-I-D~! I ♥ TVXQ. Fan of Lee Min Ho. Support VR46. Love watching SHINHWA Broadcast. :) me YUNJAE-shipper. not really into KPOP, but interest in JPOP esp ARASHI. member of GARUDA SIPIL 2013. ALWAYS KEEP THE FAITH!