SKANDAL
Chapter 4
-xxx-
“Mau minum apa, Jihye-sshi?” tanya Jaejoong sembari berjalan
ke dapur.
“Tidak usah repot-repot, oppa. Aku kemari hanya ingin
mengantarkan ini,” kata Wang Jihye sambil mengeluarkan sebuah naskah dan
meletakkannya di meja. Jaejoong membalikkan badannya dan melangkah menuju meja.
“Apa ini?” tanya Jaejoong. Dia
mengambil naskah tersebut dan duduk di seberang Jihye. Matanya menatap lembar
demi lembar dalam naskah itu.
“Itu skenario drama. Sutradara Seo
memintaku untuk memberikannya padamu. Dia sedang mencari pemeran pria dalam
drama tersebut, dan katanya dia ingin oppa
yang memerankannya.”
“Hm,” gumam Jaejoong, matanya
menelusuri kata-kata dalam naskah tersebut. “Tapi
aku bukan seorang aktor, Jihye-sshi.
Aku belum pernah mencoba berakting,” ujar Jaejoong sambil melirik Jihye
sekilas.
Jihye tersenyum kemudian berkata, “Sutradara
Seo ingin oppa melihat skenarionya dulu, baru memutuskan.”
“Hm, entahlah, tapi aku tidak begitu
yakin,” kata Jaejoong sembari menutup naskah tersebut dan meletakkannya kembali
ke atas meja.
“Sutradara Seo akan menghubungimu
lagi nanti, oppa.”
“Ya, baiklah.”
“Kalau begitu aku pamit pulang dulu,
oppa. Ini sudah larut malam,” tandas
Jihye. Dia bangkit dari duduknya, membuat Jaejoong pun segera berdiri.
“Buru-buru sekali. Mau kuantar,
Jihye-sshi?” tawar Jaejoong. Kakinya
mulai melangkah menuju pintu depan, diikuti oleh Jihye.
“Ani,
tidak usah repot-repot, oppa, aku
bawa mobil,” sahut Jihye sambil tersenyum samar.
Jaejoong membuka pintu begitu mereka
sampai di depan. Jihye melangkah keluar dan membalikkan badannya serta
membungkukkan kepalanya sekilas.
“Aku pamit dulu, oppa,” kata Jihye. Sebuah senyum
menghiasi wajahnya yang terlihat agak letih.
“Eum, hati-hati di jalan, ne?” Jihye mengangguk sambil masih
tersenyum sebagai jawaban.
“Lain kali mampirlah lagi kemari,”
kata Jaejoong, mengundang tawa pelan dari Jihye.
“Ne,
oppa, gomawo.”
Jihye kemudian berbalik dan berjalan
menuju mobilnya yang terparkir di seberang rumah Jaejoong. Suara sepatunya yang
beradu dengan jalan memecah kesunyian malam. Tangannya membuka pintu mobil dan
segera duduk di balik kemudi. Setelah memasang sabuk pengaman, Jihye menurunkan
kaca mobilnya dan melambaikan tangan ke arah Jaejoong yang masih berdiri di
ambang pintu.
Jaejoong membalas lambaian tangan
Jihye dan tersenyum ke arahnya. Mobil itu perlahan bergerak dan ketika mobil
Jihye menghilang dari jangkauan penglihatannya, Jaejoong masuk kembali ke dalam
rumahnya. Tak lupa dia menutup pintu dan menguncinya.
Kaki Jaejoong melangkah menuju ruang
tengah. Dihempaskannya tubuhnya begitu saja di atas sofa, dan Jaejoong menghela
napas kuat-kuat. Diliriknya sekilas naskah yang tergeletak di atas meja.
Kepalanya kemudian dia sandarkan ke atas sofa, matanya menerawang ke langit-langit
rumahnya.
Belakangan ini Jaejoong tak banyak
melakukan aktivitas. Hanya sesekali dia pergi ke kantor agensinya, setelah itu dia
akan lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah yang luas ini. Jaejoong merogoh saku
celananya dan mengambil ponselnya. Jaejoong menghela napas kecewa ketika
mendapati tak ada satu pesan atau panggilan pun yang masuk ke ponselnya. Bahkan
Yunho tak lagi mengiriminya pesan singkat atau mencoba meneleponnya sejak
kejadian malam itu.
‘Mianhe,
Yun, jeongmal mianhe,’ batin
Jaejoong.
* * *
Matahari sudah cukup tinggi ketika
Kim Junsu berjalan menuju rumah Jaejoong, penyanyi berbakat yang belakangan ini
menjadi berita hangat karena kasus skandalnya dengan aktris Wang Jihye. Tangan kanannya setia memegang ponsel yang
sekarang sedang menempel di telinganya. Sesekali dia melirik jam tangan yang
melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Junsu menjauhkan ponsel dari
telinganya ketika dia sudah berdiri di depan pintu rumah Jaejoong. Ditekannya
bel rumah berkali-kali dengan tidak sabar. Sebenarnya sejak tadi Junsu sudah
mencoba menghubungi Jaejoong, namun namja
bermarga Kim itu tak juga mengangkat panggilannya. Maka dari itu, Junsu berniat
mengecek keadaan dengan pergi langsung
ke rumah Jaejoong.
Jaejoong yang tak kunjung membukakan
pintu membuat Junsu akhirnya masuk begitu saja ke dalam rumah.
Junsu memang tahu password pengaman rumah Jaejoong. Ini
agar Junsu lebih mudah mengetahui
keadaan Jaejoong, seandainya Jaejoong tidak bisa dihubungi lewat ponsel. Dan
juga, kalau terjadi sesuatu yang gawat atau darurat di luar dugaan, Junsu jadi
bisa segera membantu atau pun menghubungi Jaejoong.
Dengan ini pula, Junsu
jadi merasa lebih lega karena bisa memantau bagaimana kondisi Jaejoong. Kim
Jaejoong ‘kan artis dan dia adalah manajernya, bukankah wajar kalau Junsu juga
memperhatikan keselamatan artisnya?
Sembari bergumam kesal, Junsu
melepas sepatunya dan mengenakan sandal rumah lalu berjalan masuk ke dalam.
Baru saja dia akan berteriak memangil Jaejoong, ketika sepasang matanya melihat
keadaan rumah Jaejoong yang sangat berantakan. Junsu mengurungkan niatnya
memanggil Jaejoong dan mengamati sekeliling. Botol minuman, bungkus makanan,
pakaian, kertas-kertas, tissue,
semuanya berserakan di lantai, meja, dan sofa.
‘Kenapa bisa berantakan begini?
Tidak biasanya Jaejoong yang cinta kebersihan itu membiarkan rumahnya dalam
keadaan seperti ini,’ batin Junsu. Setelah bergumul dengan pikirannya, akhirnya
Junsu memutuskan untuk membereskan rumah Jaejoong dulu baru nanti dia bicara
dengan Jaejoong.
Junsu dengan cekatan segera
mengambil sampah-sampah yang berserakan di dekatnya. Diraihnya tempat sampah
yang ada di dekat pintu depan, dan diletakannya semua sampah itu disana. Junsu
menyusuri tiap jengkal rumah Jaejoong dan memungut sampah dengan sabar.
Junsu berdecak kesal sembari
berkacak pinggang ketika melihat meja di ruang tengah yang bukan hanya penuh
sampah tidak berguna, tapi juga air dari botol minuman yang tumpah dan
membasahi sebagian meja. Merepotkan!
“Astaga!” jerit Junsu kaget ketika matanya
menangkap sosok namja yang tengah
berbaring di sofa. Tangan yang semula hendak meraih botol-botol minuman di atas
meja berganti mengelus dadanya. Jantungnya jadi berdetak lebih cepat karena
kekagetan tadi.
“Yah,
Kim Jaejoong! Kenapa tidur di sofa?” ujar Junsu dengan nada tinggi. Emosinya
masih belum sepenuhnya stabil sejak insiden kecil tadi.
Namja
yang dipanggil Jaejoong itu menggeliat tidak nyaman. Namun bukannya bangun,
Jaejoong justru membalikkan tubuhnya menghadap ke punggung sofa dan melanjutkan
tidurnya yang sempat terganggu. Melihat itu, Junsu lagi-lagi berkacak pinggang.
“Yah, Kim Jae—” kalimat Junsu
terhenti ketika matanya menyadari sesuatu yang berbeda. Tangannya yang sedari
tadi bertengger di pinggang perlahan turun dan terjatuh di samping tubuhnya.
Kim Jaejoong, yang sekarang sedang
tertidur, masih mengenakan pakaian yang sama sejak terakhir Junsu melihatnya
kemarin sore —kemeja putih dan celana panjang hitam—, sementara jas hitamnya
tersampir begitu saja di sofa yang lain. Ditambah, bau alkohol menguar cukup
kuat dari tubuh Jaejoong. Tidak biasanya Jaejoong tampak kacau seperti ini.
Padahal kemarin sore saat Junsu bertemu dengan Jaejoong di kantor agensi, dia
terlihat baik-baik saja meski wajahnya agak kusut.
‘Apa terjadi sesuatu?’ ujar Junsu
dalam hati.
Tubuh Jaejoong kembali menggeliat,
dan dia mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Mata doe-nya perlahan mulai terbuka. Jaejoong mengerjap-ngerjap beberapa
kali, berusaha menyesuaikan dengan sinar matahari yang memenuhi ruangan. Dia
sedikit mendongakkan kepalanya ketika menyadari ada seseorang berdiri di
sampingnya.
“Junsu hyung?” kata Jaejoong dengan suara serak. Dia bangun perlahan dan
duduk di atas sofa, sementara tangan kanannya menggaruk kepalanya. “Hyung di sini,” ujar Jaejoong
sebelum dia menguap lebar.
“Eum,” gumam Junsu samar, “Aku coba
meneleponmu beberapa kali tapi tidak diangkat, jadi aku datang kemari,”
lanjutnya.
“Mian
hyung, aku ketiduran,” kata Jaejoong sambil menatap Junsu sekilas,
sementara Junsu sedang sibuk dengan pikirannya, membuat matanya terpaku pada
lantai.
“Ugh, kepalaku pusing,” gumam
Jaejoong lirih. Jaejoong bangkit berdiri dan berjalan ke dapur, berniat untuk
minum sedikit air.
Junsu menatap Jaejoong yang berjalan
agak tertatih dengan tatapan sendu. Sepertinya Junsu bisa menebak apa yang
membuat Jaejoong seperti ini.
“Yah,
Kim Jaejoong~! Kenapa rumahmu bisa berantakan begini?” tandas Junsu cepat,
mencoba menutupi pemikirannya sendiri.
Jaejoong meletakkan gelas yang air
di meja dapur dan menatap Junsu dengan dahi berkerut. Namja ini tmapaknya belum sepenuhnya sadar dari tidurnya.
“Ah, itu… aku belum sempat
membereskannya, hyung,” sahut
Jaejoong, lalu menegak air dalam gelas tadi.
Junsu menatap Jaejoong dengan
pandangan tidak percaya, membuat Jaejoong menjadi salah tingkah sendiri.
Jaejoong tahu kalau Junsu sangat mengenalnya. Dan
melihat kondisi seperti ini, sudah pasti Junsu tidak akan percaya begitu saja
dengan alasan yang baru saja Jaejoong lontarkan.
Junsu menghela napas pelan, kemudian
melanjutkan kegiatan beres-beresnya yang sempat terhenti tadi. Jaejoong yang
melihat tidak ada kelanjutan respon dari Junsu, berjalan perlahan ke ruang
tengah dan ikut membantu Junsu membereskan sampah yang bertebaran.
“Ngomong-ngomong, hyung, ada perlu apa kemari? Bukankah hari ini aku tidak ada jadwal? Apa ada sesuatu yang ingin hyung
sampaikan?”
“Ah i-itu…” mendadak Junsu
tebata-bata, “Ah i-iya, S-sutradara Seo katanya ingin bertemu denganmu untuk
membicarakan soal drama itu,” tandas Junsu cepat. Junsu melirik Jaejoong
sekilas sebelum kemudian berusaha menghindari kontak mata dengan Jaejoong.
Jaejoong yang awalnya bingung
melihat sikap Junsu yang mendadak aneh, tidak begitu ambil pusing. Dia
melanjutkan mengambil sampah yang ada di lantai dan berkata, “Ah soal itu. Hm,
aku sendiri bingung harus menerimanya atau tidak. Menurutmu bagaimana, hyung?” tanya Jaejoong. Kini dia sibuk
mengelap meja yang basah.
“I-itu terserah padamu saja,
Jaejoong-ah. Tapi saranku, kurasa kau
bisa mencobanya. Siapa tahu kau memang ada bakat juga dalam dunia akting,”
jawab Junsu sedikit terbata, mendadak dia jadi merasa gugup.
“Eum, begitu ya…” gumam Jaejoong.
Untuk beberapa menit setelahnya,
kedua namja ini saling terdiam.
Sepertinya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Beberapa kali Junsu
melirik Jaejoong gelisah, takut Jaejoong curiga dengan sikapnya yang mendadak
jadi gugup dan takut Jaejoong tahu kalau dia baru saja berbohong.
“Kapan pertemuannya, hyung?” tanya Jaejoong tiba-tiba,
membuat Junsu terperangah kaget.
“Besok malam jam 7, di gedung KBS,”
jawab Junsu cepat.
“Baiklah,” sahut Jaejoong singkat.
‘Aku harap ini yang terbaik yang
bisa kulakukan untukmu sekarang, Jaejoong-ah,’
batin Junsu.
* * *
Jung Yunho menginjak pedal gas cukup
kuat, membuat mobilnya melaju kencang di atas jalanan malam kota
Seoul . Yunho
tampak serius dengan kegiatan menyetirnya. Begitu mendapat pesan singkat dari
Junsu sekitar 30 menit lalu, Yunho tak berpikir panjang lagi dan memutuskan
untuk mengambil kunci mobilnya.
“Malam
ini jam 7 di gedung KBS. Tunggulah di basement, aku yakin kau bisa menemui
Jaejoong disana. Dan… Yunho-sshi, aku harap kau bisa melakukan sesuatu untuk
Jaejoong.”
Isi pesan itu terus membayang di
benak Yunho. Tak perlu waktu lama baginya untuk memutuskan pergi ke gedung KBS.
Dia yakin inilah kesempatan yang tepat untuk bertemu dengan Jaejoong. Meskipun
mungkin Jaejoong tak lagi ingin bertemu dengannya, tapi setidaknya Yunho bisa
mengatakan sepatah dua patah kata pada kekasihnya itu.
Yunho memelankan laju mobilnya
ketika mulai memasuki area basement.
Sembari mencari lokasi parkir yang tepat, Yunho memperhatikan sekeliling,
mencoba mencari apakah ada Lamborghini
merah di antara mobil-mobil yang ada di basement ini, sekaligus mencari apakah
ada wartawan yang mengintai di sekitar sini.
Yunho memutuskan untuk parkir di
dekat lift yang menuju ke gedung
stasiun TV itu. Setelah mematikan mesin mobilnya, Yunho melepas seat-belt
dan menghirup napas dalam-dalam. Matanya melirik ke jam tangannya. Jam 06.53 p.m. Kemudian pandangannya beralih
mengamati basement dari kaca spion. Cukup sepi tampaknya, dan wartawan atau
orang-orang mencurigakan lain juga tak terlihat.
Baru saja Yunho akan keluar dari
mobilnya, mobil Lamborghini merah
yang cukup mencolok terlihat memasuki area basement.
Untuk beberapa detik Yunho menahan napasnya. Entah perasaan apa yang
dirasakannya sekarang, tidak bisa digambarkan. Antara senang, bingung, dan juga
kalut.
Lamborghini
itu berhenti beberapa meter di sisi kanan dari mobil Yunho. Deru halus mobil
mewah itu hilang, membuat suasana basement
menjadi kembali sunyi. Yunho menghirup napas dalam beberapa kali, sebelum
akhirnya memutuskan keluar dari mobil. Diliriknya sekilas si pengemudi Lamborghini itu yang belum menampakkan
dirinya.
Yunho melangkahkan kakinya menuju lift yang tertutup, dan berhenti tepat
beberapa meter di depan pintu lift
itu. Ketika telinganya menangkap ada langkah kaki yang perlahan mendekat, Yunho
segera membalikkan badannya dan memunggungi lift.
Mata sipitnya menangkap sosok namja
yang mengenakan pakaian cukup rapi tengah berjalan ke arah lift. Kepalanya menunduk, mungkin bermaksud untuk menyamarkan
wajahnya.
Yunho masih berdiri di sana , tidak beranjak
sedikit pun. Matanya pun menatap lurus ke arah namja tadi, yang bernama Kim Jaejoong. Sepertinya Jaejoong belum
menyadari kehadirannya.
“Jae,” panggil Yunho dengan suara
rendah, namun cukup untuk sampai di telinga Jaejoong.
Seketika langkah Jaejoong terhenti.
Kepalanya mendongak, dan matanya menangkap sosok tinggi Jung Yunho sedang
berdiri beberapa langkah darinya.
“Yun… Yunho? A-apa yang kau lakukan
disini?” tanya Jaejoong. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terbata-bata dan
jantungnya berdegup cukup kencang sekarang.
“Aku harus bicara denganmu, Jae,”
jawab Yunho. Tubuhnya masih tidak bergerak sedikit pun.
Mata doe Jaejoong menatap Yunho lekat-lekat dengan pandangan yang sulit
diartikan. Jaejoong terlihat gugup, tidak tahu harus berbuat dan mengatakan apa
pada Yunho. Mengklarifikasi kalau skandal itu bohong? Minta maaf karena tidak
menghubungi Yunho beberapa hari belakangan? Atau menceritakan secara detail
penyebab semua kejadian ini? Jaejoong tidak tahu harus mulai dari mana.
“A-aku ada urusan penting,” kata
Jaejoong.
Dipaksakannya kedua kakinya yang
terasa lemas untuk bergerak dan berjalan pergi. Mungkin sekarang bukan saat
yang tepat untuk bicara pada Yunho.
Yunho hanya diam, sementara Jaejoong
terus berjalan sambil berusaha mempercepat langkahnya. Kedua namja ini bahkan tidak saling menengok
ketika Jaejoong berjalan melewati Yunho.
Yunho berdecak kesal dan sedikit
mengumpat, sebelum akhirnya dengan cepat dia membalikkan tubuhnya. Tangannya
dengan cepat meraih lengan Jaejoong yang belum berjalan terlalu jauh darinya,
membuat langkah Jaejoong kembali terhenti. Dengan sekali sentakan kuat, Yunho
membalikkan tubuh Jaejoong, membuat kekasihnya ini berdiri menghadapnya.
Yunho menatap Jaejoong lekat dengan
tangan kanannya yang masih mencengkeram lengan kiri Jaejoong, sementara
Jaejoong memilih untuk menghindari kontak mata dengan Yunho. Dia tahu benar apa
jadinya nanti kalau dia menatap Yunho.
Deru napas Yunho terdengar kuat dan
berat, membuat Jaejoong yakin namja
yang ada di hadapannya ini sedang berusaha menahan emosinya. Namun Jaejoong
hanya bungkam, seolah tidak ada yang ingin dibicarakan dengan Yunho, membuat
Yunho lagi-lagi mengumpat kesal.
“Apa tidak ada yang ingin kau
katakan?” tanya Yunho tegas. Beberapa detik Yunho menantikan jawaban yang
keluar dair mulut Jaejoong, tapi hasilnya nihil.
“Kenapa kau menghindariku? Apa yang
sebenarnya terjadi?” desak Yunho. Dia mulai kesal melihat Jaejoong yang hanya
diam dengan kepala tertunduk.
“Jadi skandal itu benar? Semua
berita itu memang benar dan kau menjalin hubungan dengan Wang Jihye?” nada
suara Yunho meninggi.
Yunho tidak tahan lagi, dia tidak
bisa lagi bersabar sekarang. Dia butuh kebenaran yang keluar dari mulut
Jaejoong sendiri.
Seketika Jaejoong mengangkat
kepalanya, dan matanya bertemu pandang dengan Yunho. ‘Tidak! Bukan seperti
ini!’ jerit Jaejoong frustasi dalam hati, tapi tak ada sepatah kata pun yang
meluncur keluar.
Yunho menatap Jaejoong tajam dengan
pandangan menuntut. Lama mereka berdua hanya diam dan saling memandang. Dan
perlahan, cengkeraman tangan Yunho pada lengan Jaejoong mulai mengendur bersamaan
dengan tatapan matanya yang berubah menjadi sendu. Jaejoong bisa menangkap
kepedihan yang Yunho rasakan saat ini lewat sorot mata Yunho. Yunho mengalihkan
pandangannya, dan menatap ke bawah.
“Baiklah,” ujar Yunho lirih sambil
melepaskan genggaman tangannya dari lengan Jaejoong.
‘Tidak, Yun! Ini bukan seperti yang
kau bayangkan,’ batin Jaejoong. Dia ingin menjelaskan semuanya pada Yunho,
namun apa daya tubuhnya kali ini seolah berada di luar kendalinya.
Yunho menengadahkan kepalanya lagi
dan menatap Jaejoong, sementara Jaejoong merasa matanya mulai memanas.
“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi,” kata Yunho, kedua tangannya kini memegang bahu Jaejoong, “Tapi aku
percaya padamu, Jae. Dan aku janji, aku akan melindungimu.”
Jaejoong membelalakan matanya,
menatap Yunho dengan pandangan tidak percaya. Benarkah ini? Bahkan sampai
terluka seperti ini pun, Yunho masih percaya padanya? Memikirkan betapa dia
yang membuat Yunho terluka sampai seperti ini membuat Jaejoong mulai membenci
dirinya sekarang.
Yunho melepaskan genggaman tangannya
pada bahu Jaejoong. Dia menatap Jaejoong sekilas sembari memaksakan sebuah
senyum di wajahnya, sebelum akhirnya dia berbalik dan mulai melangkah pergi,
meninggalkan Jaejoong yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Sepanjang
kakinya berjalan menuju mobil, berkali-kali Yunho menghela napas berat.
Pikirannya kosong dan melayang-layang bebas entah kemana.
Yunho membuka pintu mobilnya dan
masuk ke dalam. Segera dipasangnya seat-belt dan mulai menyalakan mesin. Begitu
matanya menatap lurus ke depan, sosok Kim Jaejoong yang masih berdiri disana
dengan kepala tertunduk membuat dada Yunho terasa sesak. Dia tahu Jaejoong
tidak baik-baik saja sekarang. Pasti ada sesuatu yang membuat Jaejoong berubah
sikap seperti ini.
Yunho mulai menginjak pedal gas dan
kedua tangannya menggenggam erat stir mobil. Perlahan mobil itu bergerak
meninggalkan basement dan suara
derunya menggema di area basement.
Yunho hanya menatap lurus ke depan, dia tak mau lagi melihat ke belakang melalui
kaca spion, karena Yunho tahu dia tidak akan sanggup lagi melihat Jaejoong
menderita sendirian.
Sementara Jaejoong masih berdiri
terpaku di sana .
Matanya menatap nanar ke arah mobil yang melaju pergi itu. Perasaannya semakin
kalut sekarang, ditambah dengan rasa bersalah yang memenuhi pikirannya. Setelah
semua yang terjadi ini, Jaejoong merasa tidak sanggup lagi bertemu Yunho. Dia
tidak ingin melukai kekasihnya lebih dalam lagi.
“Mianhe,
Yun,” bisik Jaejoong dengan kepala tertunduk dalam dan suara yang bergetar.
* * *
“Jae… Jaejoong-ah…” Jaejoong seketika terkesiap dari lamunannya saat merasa
namanya dipanggil. Matanya mengerjap beberapa kali dan menemukan Junsu yang
berdiri di sampingnya sedang menggoyang-goyangkan telapak tangan di depan
wajahnya.
“Eh… ah, i-iya. Waeyo hyung?” kata Jaejoong, sedikit tergagap.
“Apa kau sudah siap? Sebaiknya kita
berangkat sekarang sebelum terjebak macet. Kita semua tidak ingin melewatkan
begitu saja penerbangan ke Pulau Jeju siang ini, ‘kan ?”
“Ah iya, baiklah.” Jaejoong segera
bangkit dari duduknya.
Diraihnya tas punggung yang ada di
sampingnya, kemudian merapikan sedikit pakaiannya dan sempat sekilas melirik ke
kaca yang ada di ruangan itu —sebuah ruang VIP di sebuah salon ternama yang
biasa menjadi tempat langganan Jaejoong—, sekadar untuk memastikan tatanan
rambutnya sudah rapi.
Junsu serta beberapa orang stylish-nya sudah berjalan terlebih
dahulu, menyisakan Jaejoong di belakang yang berlari kecil mengejar mereka
sambil mengenakan sebuah kacamata hitam dan topi. Segera setelah dirinya
menyejajarkan langkah dengan Junsu, dikeluarkannya ponsel dari saku jaketnya
dan mulailah Jaejoong sibuk mengutak-atik ponsel pintar itu.
“Junsu-sshi gawat!” seru seorang stylish
noona sembari berlari kecil ke arah Junsu dan Jaejoong. Jaejoong
mendongakkan kepalanya dan melihat raut wajah cemas dari noona yang sudah lama dikenalnya itu.
“Waeyo,
noona?” tanya Junsu.
“Di depan banyak sekali wartawan dan
fans, mereka berkerumun tepat di
depan pintu masuk. Sepertinya mereka semua tahu kalau Jaejoong-sshi ada di sini, dan kurasa sulit untuk
menghindari mereka. Kudengar juga dari petugas security di depan tadi, pintu belakang pun kondisinya sama,
dipenuhi wartawan dan fans yang tidak
sedikit jumlahnya,” jawab noona
sambil mencoba mengatur napasnya yang pendek-pendek.
“Eehh?!” Junsu tampak cukup kaget
mendengar hal itu.
“Lalu bagaimana, hyung?” tanya Jaejoong. Dia melepas
kacamata hitamnya dan menatap Junsu lekat.
Junsu mulai panik. Matanya menatap
jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya dengan gelisah sementara
tangan kanannya mulai sibuk merogoh ponsel di sakunya dengan terburu-buru.
“Apa tidak ada bodyguard?” tanya Jaejoong lagi.
“Aku menyuruh mereka bersiap di
bandara, karena kupikir fans dan
wartawan pasti akan berkerumun di sana .
Ini di luar perkiraanku. Aku sama sekali tidak mengira mereka akan mengejar
sampai kemari,” ujar Junsu cepat, tangannya sibuk dengan ponselnya. “Bagaimana
ini? Apa yang harus kita lakukan?”
Jaejoong terdiam. Beberapa staf juga
tampak bingung dan mereka hanya berdiri mematung di sana . ‘Ayolah, Jae, pikirkan suatu cara,’
desak Jaejoong pada dirinya sendiri untuk menemukan jalan keluar.
Sementara itu, Junsu tampak sibuk
menghubungi seseorang, raut wajahnya gusar dan tak tenang. Jaejoong kemudian
menatap ponsel yang masih berada dalam genggamannya. Tampak olehnya di layar
ponsel sebuah foto yang sudah lama dijadikan wallpaper olehnya. Sebuah foto lama yang penuh kenangan.
Foto seorang namja yang sedang duduk di lantai dengan menyandarkan punggungnya
ke dinding. Namja itu tampak asyik
memandang keluar ke arah langit, dengan latar belakang dinding kaca yang
memancarkan pendar kuning keemasan khas sore hari, yang diambil dari sudut
pandang samping. Sosok itu jelas Jung Yunho. Jaejoong mengambilnya diam-diam
saat Yunho ada di rumahnya sore itu. Sore hari dimana Yunho datang untuk ikut
merayakan keberhasilan debut Jaejoong.
Melihat foto Yunho, terbesit sesuatu
di benak Jaejoong. Namja itu menghela
napas berat sebelum kemudian menghampiri Junsu dan menepuk pundak Junsu yang
sedang berdiri membelakanginya itu. “Hyung,”
panggilnya, lirih saja.
Junsu yang merasa dipanggil,
menolehkan kepalanya tanpa melepaskan ponsel dari telinganya. Junsu hanya
menatap Jaejoong dengan tatapan yang seolah menyuarakan ‘Ada apa?’
“Kita terobos saja kerumunan orang
itu,” ujar Jaejoong, tangannya memasang lagi kacamata hitam yang tadi sempat
dilepasnya.
Junsu yang sudah memutuskan
sambungan telepon tadi menatap Jaejoong dengan raut wajah terkejut.
“Eeehh?! Apa maksudmu, Jaejoong-ah? Kau tahu sendiri ‘kan , di luar itu terlalu padat, mana mungkin
kita bisa melewatinya begitu saja, apalagi tanpa pengawalan dari bodyguard. Bagaimana kalau mereka
bergerak di luar batas? Kau mau membahayakan dirimu sendiri, eh?” tandas Junsu
cepat karena kaget mendengar usul dari Jaejoong yang menurutnya sama saja
dengan usulan untuk terjun bebas dari lantai 5 ini supaya bisa keluar dari
gedung tanpa perlu repot mengurus kerumunan manusia itu.
“Aku tidak mau melarikan diri, hyung. Aku sudah muak.” Junsu terdiam
mendengar kata-kata Jaejoong.
Dia menatap Jaejoong yang sedang
tertunduk itu dengan lekat. Meski ada kacamata hitam yang menyamarkan
ekspresinya, Junsu tahu benar ekspresi apa yang ada di wajah tampan Jaejoong
sekarang.
“Tapi Jae—”
“Ayolah, hyung. Suruh supir untuk menempatkan van kita di pintu depan jadi kita bisa langsung pergi setelah itu.
Kita keluar saja dahulu, staf bisa
mengikuti di belakang setelah kita pergi agar mereka tidak ikut terlibat,” kata
Jaejoong cepat. “Bukankah kita semua tidak ingin ketinggalan penerbangan ke Jeju?
Kalau kita terlalu lama terjebak di sini, tiket pesawatnya jadi sia-sia, ‘kan ?” lanjutnya.
Junsu menarik napas dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat, “Baiklah kalau kau berkata seperti itu, Jae. Aku
akan berjalan di depanmu dan ingat untuk jangan berjalan jauh-jauh dariku. Aku
harus melindungimu bagaimanapun juga.”
Jaeoong tersenyum mendengar Junsu
yang setuju dengan rencananya. “Gomawo,
hyung.”
Junsu hanya tersenyum kecut
menanggapi Jaejoong. Dan setelah itu, mereka mulai berjalan. Jaejoong
mengeratkan topi di kepalanya lalu membenarkan letak kacamatanya. Ponselnya
sudah berada aman di dalam saku jaketnya. ‘Aku harus melakukan ini,’ batin
Jaejoong, mencoba menguatkan dirinya sendiri.
Jaejoong serta Junsu berdiri terdiam
sejenak, beberapa meter dari pintu depan. Di luar sudah tampak kerumunan
orang-orang yang terlihat sangat tidak sabar menanti kedatangan Jaejoong.
Jaejoong menghembuskan napas dan melirik ke arah Junsu. Junsu balas menatapnya,
kemudian menganggukkan kepalanya. Jaejoong hanya tersenyum samar, lalu Junsu
segera berjalan mendahuluinya dengan posisi tepat di depan Jaejoong.
Petugas security yang berjaga di pintu masuk melihat kedatangan Jaejoong
dan merasa bahwa Jaejoong akan keluar, segera membukakan pintu. Seketika itu
juga suara riuh langsung memenuhi ruangan. Suara blitz pun tak kalah dari teriakan-teriakan para fans. Junsu dengan sigap berusaha
mencari celah, membukakan jalan untuk Jaejoong. Sementara Jaejoong tetap
mengekor di belakang Junsu sambil merendahkan kepalanya.
Suara wartawan yang berusaha mencari
berita untuk bertahan hidup itu, memenuhi telinga Jaejoong. Ditambah lagi
dengan suara teriakan fans yang
mayoritas yeoja, membuat kepala
Jaejoong mulai pening. Dia benci situasi seperti ini. Tangan-tangan wartawan
yang menyodorkan alat perekam ataupun mic
ke arahnya membuatnya sulit untuk bergerak leluasa. Bahkan untuk bernapas saja
rasanya sesak.
Jaejoong meringis ketika merasakan
sebuah tangan seseorang yang mencengkeram lengannya kuat. Jaejoong coba menepis
tangan itu, namun kemudian tangan lain berhasil menyentuh wajahnya dan kuku
panjang tangan itu sukses membuat sebuah luka cakar di pipi kanan Jaejoong.
‘Sasaeng
fans,’ batin Jaejoong dengan nada
pahit.
Sulit sekali bergerak di antara
kerumunan itu.Tangan-tangan lain yang memegangi bajunya membuatnya sulit
bergerak. Jaejoong sedikit mendongakkan kepalanya dan seketika itu juga
Jaejoong terkesiap. Punggung Junsu tak lagi ada di depan matanya, dia bisa
melihat Junsu ada beberapa meter di depannya. Dengan sekuat tenaga Jaejoong berusaha
melewati kerumunan itu, setidaknya dia harus bisa mengejar Junsu. Junsu sendiri
tampaknya terlalu sibuk mencari celah sehingga tidak menyadari kalau Jaejoong
tidak lagi ada tepat di belakangnya.
Jaejoong mulai panik. Dia tidak
ingin terjebak disini. Ketika pikirannya kalut dan melayang-layang entah
kemana, sebuah lengan mendekap punggung Jaejoong. Jaejoong tersentak kaget.
Sekarang di sampingnya telah berdiri seorang namja bertubuh lebih tinggi darinya. Jaejoong sedikit mendongakkan
kepalanya untuk mengamati namja yang
entah muncul dari mana itu. Penampilan namja
itu mirip seperti seorang bodyguard.
Pakaiannya serba hitam dari atas sampai bawah. Namja itu juga mengenakan sebuah kacamata dan topi hitam. Napas
Jaejoong tercekat begitu menyadari identitas namja misterius itu.
Sementara itu, namja misterius itu mendekap Jaejoong lebih erat agar mendekat ke
arahnya. Tangan kirinya melingkar di punggung Jaejoong sementara tangan
kanannya berusaha menyingkirkan orang-orang di depan mereka agar Jaejoong bisa
berjalan menembus kerumunan manusia dengan berbagai tujuan itu. Kepalanya tegak
menatap ke depan.
Jaejoong sama sekali tidak merasa
asing ketika namja misterius itu
mendekapnya dengan cukup erat. Sebaliknya, dia merasa nyaman dan terlindungi.
Jaejoong hapal betul perasaan ini. Dan dia tahu dengan pasti kalau namja ini adalah Jung Yunho. Jung Yunho
yang mungkin masih menjadi kekasihnya.
“Kenapa…?” desis Jaejoong. Matanya
menatap lurus ke arah Yunho.
Yunho melirik sekilas ke arah
Jaejoong dan kemudian tersenyum, sebuah senyum lembut dan menenangkan yang
sangat dirindukan Jaejoong. “Bukankah aku sudah berjanji akan melindungimu? Apa
kau lupa?” kata Yunho pelan, namun cukup untuk sampai ke telinga Jaejoong yang
berada di dekatnya.
Jaejoong hanya terdiam. Segera
ditundukkannya kepalanya lagi. Doe eyes
Jaejoong kini hanya sibuk menekuri bumi tempat berpijaknya, mengamati
langkahnya yang meski pendek-pendek namun pasti. Tidak ada kata lagi yang
terucap dari bibir Jaejoong. Perasaannya sekarang campur aduk, Jaejoong sendiri
bingung dengan dirinya.
Yunho yang ada di sampingnya
sekarang cukup membuat rasa rindunya sedikit terobati. Dekapan hangat dari
tubuh Yunho. Tangan kasar yang sering mengusap kepalanya. Bahu tegap yang
sering jadi tempatnya bersandar. Jaejoong merindukan setiap hal yang ada pada
seorang Jung Yunho.
“Cepatlah masuk,” suara rendah Yunho
menyadarkan Jaejoong.
Jaejoong membuka matanya yang
ternyata sedari tadi terpejam dan menemukan pintu van yang terbuka ada di depannya. Sudah berhasilkah dia melewati
kerumunan manusia itu?
Jaejoong mendongakkan kepalanya
cepat dan menemukan Yunho yang sedang menatapnya dengan sebuah senyum lembut.
Jaejoong tahu, Yunho sekarang pasti sedang menatapnya dengan tatapan teduh itu.
Dia bisa merasakannya meski masing-masing dari mereka mengenakan kacamata
hitam.
“Jaejoong-ah, cepat masuk,” seru Junsu yang sudah berada di dalam van.
Jaejoong menatap Junsu, dan menatap
Yunho lagi. Setelah itu, meski tanpa keinginan dari hatinya, tubuhnya mulai
bergerak memasuki van. Tepat setelah
Jaejoong masuk ke dalam van, pintu van tersebut menutup dengan cepat. Dan
sekian detik kemudian, van itu mulai
melaju meninggalkan kerumunan manusia dengan desahan kecewa dari masing-masing manusia
itu.
Jaejoong yang sudah berada di dalam van, tak sedikit pun melepaskan
pandangan dari sosok Yunho, sebelum kemudian sosok itu menghilang ditelan oleh
kerumunan orang-orang yang mulai bergerak berpencar itu.
“Apa orang itu…?” tanya Junsu yang
sedari tadi memperhatikan Jaejoong.
Junsu yang bingung bagaimana harus
mengatakannya, hanya bisa menggantungkan kalimatnya.
Jaejoong yang mendengar Junsu
bertanya kepadanya, segera membenarkan posisi duduknya. Dihempaskannya
punggungnya ke sandaran kursi, dan matanya menatap ke bawah dengan sendu. “Ya,”
jawab Jaejoong pendek saja. Dia tahu maksud Junsu meski orang itu tidak
menyelesaikan kalimatnya.
Melihat reaksi Jaejoong, Junsu sudah
bisa menebak siapa bodyguard
misterius yang mendadak muncul dan melindungi Jaejoong itu. Bodyguard misterius itu pastilah Jung
Yunho, tidak salah lagi.
* * *
Melewati kerumunan manusia penuh
ambisi ternyata tak semudah yang dibayangkan. Apalagi sambil melindungi
seseorang, tentu akan terasa lebih sulit lagi. Mati-matian Yunho berusaha
membawa Jaejoong keluar dari antara orang-orang ini.
“Kenapa…?” desis Jaejoong. Yunho
yang mendengar Jaejoong bertanya kepadanya melirik sekilas ke arah Jaejoong
sambil tersenyum.
‘Kenapa perlu menanyakan hal sepele
seperti itu? Bukankah jawabannya sudah jelas?’ batin Yunho sambil matanya kembali
menatap lurus ke depan. “Bukankah aku sudah berjanji akan melindungimu? Apa kau
lupa?” jawab Yunho akhirnya.
‘Seorang laki-laki tidak akan
menjilat ludahnya sendiri, benar ‘kan ?’
pikir Yunho lagi.
Sebenarnya Yunho juga tak mengerti
kenapa dia perlu sampai berjanji seperti itu. Kalau dipikirkan dalam-dalam,
mungkin ini karena dia masih mencintai Kim Jaejoong. Dia rela berpakaian bak bodyguard demi membantu Jaejoong. Dia
rela asalkan itu demi Jaejoong. Ya, mungkin alasan cinta adalah yang paling
tepat.
“Cepatlah masuk,” ujar Yunho begitu
mereka sampai di dekat van.
Manajer Jaejoong sudah ada di dalam van dan kini sedang menatap Jaejoong
dengan khawatir. Jaejoong menatap Yunho dan Yunho balas dengan tersenyum. Perlahan
Yunho melepaskan tangannya dari punggung Jaejoong begitu namja itu mulai
memasuki van. Pintu van segera tertutup dan van dengan kaca gelap itu mulai bergerak
meninggalkan tempat yang rusuh itu. Yunho tak melepaskan pandangannya dari van yang bergerak makin menjauh itu.
“Haah, tak kusangka aku benar-benar
melakukannya,” kata seorang namja
berpakaian sama seperti Yunho, yang kini sudah berdiri tepat di samping Yunho.
Namja
itu melepaskan topinya dan mulai mengibas-ibaskan topi hitam itu ke arah
wajahnya, mencoba untuk mengusir panas dan keringat dari tubuhnya.
Yunho yang menyadari kalau
sahabatnya yang bernama Park Yoochun itu berdiri di dekatnya, menatap ke arah namja itu kemudian tertawa kecil.
Matanya menatap ke sekeliling. Orang-orang, baik fans maupun wartawan, mulai meninggalkan tempat itu. Kemudian
dilepasnya kacamata hitam yang bertengger di hidungnya dan dimasukkannya ke
saku jasnya. Setelah itu mata sipitnya kembali menatap ke arah dimana van itu pergi.
“Bagaimana?” tanya Yoochun sambil
ikut memandang ke arah yang sama dengan Yunho, meski van itu tak lagi terlihat.
“Lancar, tapi kita sedikit
terlambat. Aku melihat ada bekas luka cakar samar di wajahnya, ada sasaeng fans yang berhasil menyentuhnya kurasa,” jawab Yunho sambil
tangannya melepas topi yang ada di kepalanya.
“Apa dia mengatakan sesuatu?” tanya
Yoochun ingin tahu. Yunho terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menggeleng
lemah.
Kedua namja itu kemudian hanya terdiam di tempat masing-masing. Yoochun
menatap sekilas ke arah Yunho yang sedang tertunduk. Yoochun cukup mengenal
Yunho dan dia tahu di wajah sahabatnya itu ada suatu kepedihan. Mungkin ada
juga penyesalan dan kegembiraan di sana ,
Yoochun tak tahu dengan pasti.
“Haahh, ternyata jadi bodyguard susah juga ya,” ujar Yoochun
memecah keheningan, sambil menghela napas berat.
Yunho mendongakkan kepalanya sambil
tersenyum, “Aku juga berpikiran sama.”
“Yah~
Jung, pokoknya kau harus mentraktirku makan siang selama sebulan, arra? Tak kusangka kau benar-benar
membuatku melakukan hal seperti ini.”
Yunho tertawa pelan kemudian memutar
badannya hingga menghadap ke arah Yoochun, “Arraseo,”
sahutnya, “Jeongmal gomawo, Yoochun-ah. Maaf sudah merepotkanmu.”
Yoochun balas menatap Yunho.
Ditepuknya pundak sahabatnya itu sembari berkata, “Kalau untukmu tentu saja
tidak merepotkan, Yunho-ya, kita
sahabat ‘kan ?”
Yunho tersenyum dan mengangguk.
Yoochun memang sahabat yang paling pengertian.
* * *
-to be continued-
0 komentar:
Posting Komentar