SKANDAL
Chapter 5
-xxx-
Winter, 2 years
ago
Kim Jaejoong menghentikan
langkahnya. Terdiam sejenak dan
menghirup napas dalam-dalam sebelum menghelanya kuat-kuat. Kepalanya tertunduk
dan matanya terpejam untuk beberapa saat. Dieratkannya mantel sebelum kemudian
melanjutkan langkah kakinya.
Entah kemana kakinya
membawanya pergi, Jaejoong hanya berjalan mengikuti instingnya. Tatapannya
kosong ke depan, sesekali kepalanya menengadah ke atas, menatap langit malam
yang hari ini tampak cerah tak berawan.
Lagi-lagi, Jaejoong
menghela napas berat. Kata-kata Song Jihyun terus dan masih terngiang jelas di
telinganya. Kata-kata perpisahan yang sama sekali tidak Jaejoong kira akan
meluncur dari bibir sang kekasih. Kata-kata yang tak bisa dia sangkal.
Kata-kata yang membuatnya tersadar dan terhempas ke kehidupan jelata. Kata-kata
yang sempat menjadi kekhawatirannya. Tentang dirinya, yang kini menjadi salah
satu artis papan atas Korea.
“Jaejoong-ah, eum…
maaf… tapi kupikir hubungan kita sampai di sini saja. Belakangan ini kita
berdua sama-sama sibuk. Aku harus menyelesaikan skripsi dan kau… belakangan ini
kau semakin populer. Aku… membaca banyak artikel di internet tentangmu. Promo
album, iklan, drama, tour, aku yakin banyak hal yang harus kaulakukan.”
“Apa maksudmu,
Jihyun-ah?”
“Aku… maaf… tapi
belakangan ini aku merasa risih, eum… dengan status kita masing-masing. Kau
tahu, aku ini orang biasa, bukan dari kalangan artis sepertimu. Dan akhir-akhir
ini kariermu sedang menanjak, fansmu pun bertambah. Aku merasa… kita ada di
dunia yang berbeda… dan kurasa… aku tidak bisa lagi. Mianhe, jeongmal mianhe,
Jaejoong-ah. Kau… mengerti maksudku bukan?”
“…”
“Kurasa… kita tak bisa
bersama lagi. Mungkin sudah cukup sampai di sini.”
Song Jihyun adalah kekasihnya
—sekarang
mantan kekasihnya— sejak sebelum Jaejoong memulai debutnya. Bertemu di sebuah toko bunga
tempat Jihyun bekerja sambilan, ketika Jaejoong memulai hari-hari pertama
perantauannya ke Seoul. Sepasang remaja muda yang bertemu tanpa disengaja,
kemudian saling tertarik satu sama lain, dan hanya butuh waktu sampai mereka
memutuskan sebuah komitmen hubungan.
Mereka pernah berkomitmen.
Ya, layaknya pasangan muda lainnya, berjanji untuk saling mencintai dan
melindungi, berkomunikasi tanpa ada yang disembunyikan dari satu sama lain.
Semuanya berjalan biasa, tak ada yang aneh dari pasangan ini. Sementara waktu
terus berjalan sembari membawa takdir lain dalam kehidupan mereka.
Jaejoong yang lolos ajang
pencarian bakat dan menjalani masa training,
akhirnya memulai debutnya sebagai penyanyi solo pria. Sementara Jihyun mulai
sibuk dengan berbagai aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa di salah satu
perguruan tinggi di Seoul. Sibuk dengan jalan hidup yang baru sebagai seorang
dewasa, membuat mereka semakin jarang bertemu. Komunikasi lewat ponsel
terkadang tidak terlalu membantu intensivitas hubungan mereka. Semuanya pun
perlahan berubah.
Langkah Jaejoong kembali
terhenti. Kepalanya menunduk, matanya menekuri salju yang ada di dekat kakinya.
Lagi-lagi Jaejoong menghela napas berat. Jaejoong menyadarinya sekarang. Selama
ini dia terlalu egois, beranggapan bahwa hubungannya dengan Jihyun baik-baik
saja. Terlalu egois, sehingga Jaejoong lupa memikirkan perasaan Jihyun terhadap
dirinya yang sudah menjadi penyanyi terkenal. Terlalu egois, sehingga Jaejoong
tak ingatuntuk berpikir bagaimana perasaan Jihyun terhadap dirinya yang kini
dikelilingi oleh fans-fans yang mayoritas yeoja. Terlalu egois, sehingga Jaejoong tak menyadari kalau
sebenarnya dia menyakiti Jihyun perlahan-lahan. Dia… mungkin memang bukanlah pacar yang baik.
Jaejoong mengangkat
kepalanya saat merasa hawa terasa makin dingin. Ditatapnya lagi langit malam
yang gelap, dan salju mengenai wajahnya. Salju mulai turun lagi malam ini. Dan
udara dingin membuat Jaejoong tidak betah untuk berdiri diam terlalu lama.
Kakinya kembali membawanya
entah kemana. Yang pasti bukan ke apartemen, dia tidak ingin hanya berdiam diri
seorang diri di dalam apartemen, itu bisa membuat moodnya memburuk. Berada di luar dan melihat-lihat malam hari di
kota Seoul setidaknya cukup untuk membantunya membebaskan pikirannya dan
menjadi sedikit lebih rileks.
Insting Jaejoong sebagai
seorang artis sepertinya sudah cukup terasah belakangan ini. Beberapa kali
Jaejoong bertemu pandang dengan orang-orang yang berpapasan dengannya. Tatapan
mereka tak biasa, mungkin karena penuh rasa ingin tahu. Jaejoong mulai merasa
risih. Sekalipun sekarang ini Jaejoong sedang tidak terlalu peduli dengan
keadaan di sekitarnya, tapi dia juga tak ingin dikenali apalagi diusik oleh
orang lain yang mengenali dirinya sebagai seorang penyanyi yang tengah naik
daun. Dia butuh waktu privasinya sekarang. Dan melayani permintaan tanda tangan
atau foto bersama tidak tepat dilakukan saat ini.
Sebelum semakin banyak
orang yang memandang curiga ke arahnya, Jaejoong segera mengeratkan syal
abu-abu di lehernya, dan menarik syalnya hingga menutup sebagian wajahnya
hingga ke cuping hidung. Kedua tangannya masuk ke saku mantel dan Jaejoong
melangkah dengan usaha untuk terlihat sebagai masyarakat biasa, bukan sebagai
seorang masyarakat yang sering hilir mudik di berbagai acara televisi.
Salju turun makin deras.
Jaejoong bisa merasakannya karena salju semakin sering mengenai kepalanya yang
tak terlindungi topi atau apapun dan membuat sensasi dingin merambat di sel-sel
saraf kepalanya. Dia harus beberapa kali menyingkirkan salju-salju itu dari
rambutnya. Setelah putus dari pacarnya, salju-salju dingin ini hanya
memperburuk keadaan. Tapi Jaejoong pun hanya bisa berdecak kesal karena
kedinginan.
Langkah kaki Jaejoong
membawanya terus menyusuri jalanan kota Seoul yang meskipun sudah hampir tengah
malam tapi tetap saja diterangi oleh lampu-lampu pertokoan dan lampu-lampu
jalan. Kedua kakinya baru berhenti ketika Jaejoong sampai di sebuah halte bus.
Instingnya yang sedang bekerja lebih tajam dari logikanya menyuruhnya untuk
duduk di halte bus itu. Setidaknya untuk berteduh sejenak, menghindari
salju-salju yang terus berjatuhan di kepalanya.
Jaejoong menghela napas
lagi, entah yang untuk keberapa kalinya dalam sepanjang dirinya berjalan tadi,
sebelum kemudian duduk di halte itu. Syukurlah tidak ada orang lain di halte
itu, jadi Jaejoong bisa merasa aman tanpa perlu menghadapi tatapan curiga dari
orang lain. Jaejoong hanya duduk diam di sana. Beberapa menit kemudian, sebuah
bus berhenti di depannya dan pintu bus terbuka. Jaejoong masih dalam diamnya
dan tidak beranjak untuk naik ke bus, dan bus pun melaju meninggalkan Jaejoong
sendiri di halte itu.
Tidak ada hal lain yang
dilakukan Jaejoong selain duduk diam. Pikirannya hanya sibuk melayang-layang di
udara dan matanya hanya mengikuti pergerakan mobil-mobil yang melintas di
jalanan. Entah berapa lama Jaejoong duduk di sana. Dia baru tersadar dari
lamunannya ketika mendengar suara langkah kaki terburu-buru yang mendekat ke
arahnya. Jaejoong tidak mencoba mencari asal suara itu, dia tidak peduli dan
tidak ingin menarik perhatian orang lain sehingga bisa membuat orang lain itu
menatapnya sebelum selanjutnya memandang curiga.
Suara derap langkah kaki
itu tak terdengar lagi. Dan tanpa menengokkan kepalanya, Jaejoong tahu kalau si
pemilik langkah kaki tadi sekarang sudah berdiri tak jauh darinya. Bahkan
kesunyian di malam itu bisa membuat Jaejoong mendengar deru napas si pemilik
langkah kaki tadi. Langkah kaki yang cepat dan napas yang menderu, Jaejoong
yakin orang ini pasti baru saja berlari.
“Aish, terlambat,” desis
si pemilik langkah kaki tadi.
Meskipun pelan, tapi umpatan
kesal itu tertangkap di telinga Jaejoong yang tanpa sadar membuatnya
menengokkan kepalanya dan menatap orang asing yang mengganggu kesendiriannya di
halte itu.
Seorang namja, dengan rambut brunette yang sedikit berantakan karena
angin, tengah menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Mulutnya masih mendesis kesal sembari tangan kanannya mengacak rambut untuk
melampiaskan kekesalannya. Sebuah ransel hitam yang terlihat berat melekat di
punggungnya. Melihat namja itu sekilas
cukup membuat Jaejoong merasa lebih kedinginan.
Namja itu tidak mengenakan apapun atau bahkan sebuah syal, selain
mantel yang sepertinya juga tidak terlalu tebal. Ternyata ada orang yang lebih
kedinginan daripada Jaejoong sekarang, setidaknya itu membuat Jaejoong tidak
terlihat terlalu menyedihkan. Jaejoong menatap lebih lekat wajah namja asing itu. Wajahnya yang kecil itu
cukup tampan, dengan matanya yang sipit membuat tatapan namja itu berkesan tajam dan tegas.
Jaejoong buru-buru
mengalihkan pandangannya saat dilihatnya namja
itu mengangkat wajahnya dan melirik sekilas ke arahnya. Sembari merapal,
berharap agar namja asing itu tidak
terlalu memperhatikannya, Jaejoong berusaha acuh dengan sibuk mengedarkan
pandangannya ke arah sekeliling.
Sementara itu, namja asing yang merasa dirinya sedang
diperhatikan, balik menatap Jaejoong. Alisnya bertaut melihat Jaejoong yang seketika
mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak mau ambil pusing, namja asing itu kemudian memutuskan
untuk duduk dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
Menit demi menit dilalui
dalam diam oleh kedua namja yang
tidak saling mengenal ini. Jaejoong yang merasa namja asing ini tidak akan mengusiknya pun sudah kembali larut
dalam lamunannya sendiri. Dan hal itu membuat Jaejoong tidak menyadari kalau
diam-diam namja asing yang duduk tak
jauh darinya itu sedang mengamatinya lekat-lekat.
“Kau Kim Jaejoong, ‘kan?”
Sebuah pertanyaan yang muncul dari namja
asing itu membuat Jaejoong seketika terkesiap. Punggung Jaejoong menegak dan
ditatapnya namja asing di sampingnya
itu dengan tatapan horor.
‘Kenapa orang ini
mengenaliku, sih?’ batin Jaejoong. Jaejoong mengacuhkan pertanyaan namja itu dan memilih untuk diam.
Tatapannya pun sudah teralih kembali ke arah jalanan.
“Benar ‘kan?” desak namja bersuara bass itu. Jaejoong tetap keukeuh untuk diam, berpura-pura tidak
mendengar apa-apa.
“Apa yang sedang dilakukan
seorang penyanyi terkenal seperti…”
“Sssttt!” Jaejoong dengan
panik menyela kalimat namja itu,
dengan telunjuk menempel di bibirnya, mengisyaratkan namja itu agar diam. Sementara namja
itu hanya balas menatap bingung ke arah Jaejoong.
“Apa?”
“Jangan keras-keras,
bagaimana kalau orang lain mendengarnya,” ujar Jaejoong dengan suara lirih,
sambil matanya menatap was-was ke sekeliling mereka.
Namja itu terdiam, lalu menjentikkan jarinya sembari berkata, “Ah, kau tidak
ingin ketahuan oleh fansmu, ya?”
Jaejoong hanya diam dan
memilih untuk kembali bungkam. Selain malas meladeninya, bukankah berbahaya
jika berbicara dengan orang asing?
“Tenang saja, aku bukan fansmu. Yaa~ meskipun aku tahu
lagu-lagumu sih,” ujar namja itu
lagi. Meski Jaejoong tidak menjawab, tapi namja
itu bisa menebak sendiri jawabannya, melihat dari situasi dan kondisi sekarang.
“Adikku penggemar beratmu. Di dinding kamarnya banyak postermu. Dan lagi
belakangan ini kau semakin terkenal, jadi semakin sering muncul di TV. Tak
heran aku bisa dengan mudah mengenalimu.”
Dahi Jaejoong berkerut.
Mudah dikenali? Benarkah Jaejoong mudah dikenali oleh orang awam sekalipun?
Berarti mungkin sepanjang jalan tadi orang-orang yang menatapnya lekat bukan
hanya curiga melainkan memang mengenali seorang Kim Jaejoong? ‘Astaga…’ batin Jaejoong, masih
tidak percaya dengan fakta yang baru saja terlintas di pikirannya.
“Jadi… apa yang dilakukan
olehmu di halte bus ini saat waktu hampir tengah malam?” tanya namja itu lagi, seolah tidak menyerah
untuk terus menanyai Jaejoong.
Jaejoong kembali menatap namja
itu dan menjawab singkat, “Tidak ada.”
Namja itu menggumam kecil mendengar jawaban Jaejoong.
“Jam segini sudah tidak ada bus yang lewat. Apa kau sedang menunggu bus?” tanya
namja itu lagi.
Jaejoong yang pada
dasarnya memang sedang tidak ingin diganggu, memutuskan untuk diam saja.
“Ah baiklah, mungkin kau
memang sedang tak ingin diganggu ya,” ujar namja
itu sembari mengalihkan pandangannya ke arah jalanan yang masih cukup ramai
oleh kendaraan. “Apa kau juga tidak mau melayani permintaan tanda tangan?”
pertanyaan yang kesekian kalinya dilontarkan oleh namja itu mulai membuat Jaejoong kesal.
Menyadari perubahan raut
muka Jaejoong, namja itu segera
berkata, “Ah mian, mian. Harusnya aku sudah tahu
jawabannya.”
Jaejoong hanya mendengus kesal tanpa menatap namja itu sama sekali. Sebenarnya dia
ingin pergi dari tempat itu sekarang juga, tapi melihat salju yang masih terus
turun membuat Jaejoong mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk melatih
kesabarannya dengan duduk di halte ini bersama namja asing yang cukup cerewet itu.
Cukup lama mereka berdua
hanya duduk diam, membuat Jaejoong mulai lega. Baru saja dia mengira namja asing itu sudah menyerah dan
berhenti menanyainya, sebuah pertanyaan yang menjengkelkan dari namja itu kembali masuk ke indra
pendengarannya.
“Kalau kau tidak mau
memberiku tanda tangan, sebagai gantinya bolehkah aku menanyakan satu hal?”
Jaejoong menoleh dan
menatap namja itu cukup lama. Dan namja itu menganggapnya sebagai jawaban
‘ya’ atas permintaannya barusan.
“Benarkah kau sedang
berpacaran dengan seorang… eum… mahasiswi yang bukan dari kalangan artis?” tanya namja itu sambil berusaha mengingat-ingat
informasi yang dia dapatkan baru-baru ini.
Jaejoong terbelalak
menatap namja itu segera setelah mendengar pertanyaan yang cukup membuatnya
syok. “Da—dari mana kau tahu hal itu?” tanya Jaejoong,
suaranya bergetar karena terlalu kaget.
“Dari mana? Tentu saja dari
televisi, dari internet juga. Semua orang sedang ramai membicarakan hal itu.
Memangnya kau tidak sadar?”
Jaejoong mengerjap-ngerjapkan
matanya, bingung. Otaknya kini penuh dnegan berbagai pertanyaan dan spekulasi.
Dari mana infotainment itu tahu kalau
dia sedang berpacaran dengan Song Jihyun? Dari mana berita itu berasal? Apa…
Jihyun yang terusik karena berita-berita itu akhirnya memilih untuk memutuskan
hubungan mereka?
“Sepertinya kau baru dengar berita
ini ya,” celetuk namja itu lagi,
melihat ekspresi Jaejoong yang langsung berubah, “Eh, bukankah kau baru saja
kembali ke Korea
setelah selesai melakukan tour di
Jepang? Mungkin karena itu kau tidak mendengar berita ini. Tapi aneh juga, apa
agensimu tidak memberi tahu? Atau mereka juga tidak tahu?”
Jaejoong hanya menatap namja itu sekilas, sebelum kemudian
kepalanya tertunduk dalam. Rasanya mendadak ada batu seberat satu ton yang
menimpa kepalanya dan membuatnya merasa pusing.
“Eh tunggu, jangan salah sangka. Aku
tahu kau baru saja kembali dari Jepang karena adikku. Dia fans beratmu yang setiap hari berceloteh tentangmu. Karena itu,
tidak heran kalau aku tahu… lumayan banyak tentangmu. Itu gara-gara adikku,”
tandas namja itu cepat.
Entah sebenarnya dia perlu
mengatakan hal itu atau tidak, tapi yang pasti namja itu tidak ingin Jaejoong salah sangka dan mengira kalau
diam-diam dirinya ternyata juga salah satu fansnya.
Namja itu melirik sekilas ke arah Jaejoong yang terdiam, “Jadi memang
benar yaa…”
Tidak ada satu katapun yang keluar
dari bibir Jaejoong. Dia tidak tahu harus berbuat bagaimana dan berkata apa.
Mau menyangkal, rasanya sudah terlambat. Mau mengiyakan, tapi bukankah Jaejoong
baru saja putus? Berarti sekarang dia sudah tidak berpacaran lagi ‘kan ? Dan detik berikutnya hanya helaan napas panjang
yang keluar dari mulut Jaejoong.
Helaan napas Jaejoong
barusan menarik perhatian namja asing
itu. Dia kembali menatap Jaejoong yang tampak seperti sedang meratapi diri
sendiri itu. Namja itu menatap
Jaejoong lebih lekat. Selama ini dia memang sering melihat Kim Jaejoong di
televisi maupun di poster yang ada di kamar adiknya, tapi dia baru menyadari
kalau seorang Kim Jaejoong memiliki wajah yang benar-benar terlihat manis di
matanya. Kim Jaejoong memang tampan, namja
itu juga mengakuinya, tapi di matanya wajah Kim Jaejoong lebih tepat
dideskripsikan dengan kata manis. Badannya pun cukup bagus, mungkin karena
sering latihan. Tetapi rasanya, ada sesuatu yang lain dari diri Kim Jaejoong
yang menarik perhatian namja itu. Dan
sesuatu itu memancing dirinya untuk tahu lebih banyak tentang Jaejoong.
Jaejoong yang sedari tadi
benar-benar terlarut dalam pemikirannya sendiri sama sekali tidak menyadari ada
sepasang mata sipit bak rubah yang sedang memperhatikannya. Terlalu banyak yang
muncul dalam benaknya. Tentang Jihyun, tentang gosip, tentang dirinya sendiri.
Kepala Jaejoong kembali
terangkat dan menengadah menatap langit malam yang semakin kelam. Salju masih
turun. Irisnya yang suka mencari penghiburan dengan menatap bintang-bintang di
langit, kini hanya menatap sendu ke arah bayang-bayang bulan yang tertutup oleh
awan. Entah karena terlalu syok bercampur kaget atau apa, sedari perpisahannya
dengan Jihyun, Jaejoong tidak merasakan apa pun selain hampa. Baru kini,
dadanya mulai terasa sesak oleh rasa sakit yang membuat tubuhnya terasa lemas.
Jantungnya berdegup tak beraturan dan paru-parunya pun terasa sulit mendapatkan
oksigen. Dan tanpa Jaejoong sadari, matanya mulai berkaca-kaca.
Namja asing yang sejak tadi menatap Jaejoong terkesiap kaget
melihat bulir air mata di sudut mata Jaejoong yang seolah siap turun kapan
saja. Ekspresi sendu bercampur sedih juga terlihat jelas di wajah Jaejoong.
Sorot matanya yang terarah ke atas penuh dengan kepedihan.
“Kau baru putus dengan
pacarmu?” tanya namja itu, spontan
saja. Namja itu sendiri tampak terkejut
mendengar pertanyaan yang barusan meluncur begitu saja darinya, “Maaf,” imbuhnya
buru-buru begitu melihat Jaejoong bereaksi karena pertanyaannya itu.
Jaejoong menatap namja asing itu yang kini sedang
menundukkan kepalanya. Dia tampak sedang menyesali kata-katanya barusan.
Memang, pertanyaan tadi menambah perih di dadanya, seperti menabur garam di
atas luka. Tapi memang itulah kenyataannya. Dia, Kim Jaejoong, sudah putus
hubungan dengan kekasih yang masih dicintainya, Song Jihyun.
“Tanpa kukatakan pun kau
sudah tahu jawabannya, ‘kan?” ucap Jaejoong akhirnya, dengan suara lirih dan
sedikit bergetar. Namja itu
mengangkat kepalanya, dan pandangan mereka bertemu.
Jaejoong hanya tersenyum
pedih ke arah namja asing yang sama
sekali tidak dia kenal itu, sementara namja
itu balas menatapnya dengan tatapan yang… agak kaget mungkin? “Kau pasti
berpikir aku benar-benar terlihat menyedihkan sekarang, ‘kan?” ujar Jaejoong.
Matanya kembali sibuk menekuri salju-salju yang jatuh ke tanah.
“Maaf,” kata namja asing itu lagi.
“Tidak, tidak perlu minta
maaf. Memang itulah kenyataannya,” jawab Jaejoong, nadanya terdengar pahit.
“Kau tidak perlu khawatir,
aku tidak akan memberitahukan hal ini pada siapapun, termasuk adikku.”
Jaejoong tersenyum
mendengar penuturan namja itu
barusan, “Gomawo,” katanya sambil
tersenyum samar ke arah namja itu.
Jaejoong tersentak saat
melihat namja itu balas tersenyum ke
arahnya. Senyum namja itu terasa
hangat dan meneduhkan. Kenapa… kenapa Jaejoong mendadak bisa merasa begitu dekat?
Kedua namja ini kembali terdiam. Keduanya mengalihkan pandangan ke arah
yang berbeda dan sibuk dengan pikiran masing-masing, sementara malam semakin
larut. Kendaraan masih berlalu lalang di depan mereka, tapi jumlahnya mulai
berkurang. Begitu juga dengan orang-orang yang berjalan di jalanan kota Seoul,
sudah mulai jarang terlihat. Salju yang turun dan cuaca yang dingin membuat
Seoul malam ini tampak lebih sepi dari biasanya. Musim dingin memang terkadang
membawa kemalasan tersendiri untuk beraktivitas di luar ruangan.
“Aku… masih mencintainya. Tapi
ternyata tak ada yang bisa kuubah hanya dengan cinta. Sekalipun aku masih ingin
bersamanya, tapi ternyata aku menyakitinya. Tak kusangka menjadi artis ternyata
bisa begini menyakitkan. Kupikir semuanya akan baik-baik saja, tapi ternyata
tidak,” kata Jaejoong memecah keheningan. Matanya masih menyiratkan kesedihan
yang mendalam dan sebuah senyum pedih kembali tampak di wajahnya.
Entah bagaimana dan
mengapa, Jaejoong bisa berkata-kata seperti itu pada orang asing yang sama
sekali tidak dia kenal atau pernah dia lihat sebelumnya. Dia bisa dengan mudah
mencurahkan perasaannya pada namja
yang baru dia temui beberapa waktu lalu. Jaejoong hanya merasa… begitu dekat dan hatinya
seolah berkata namja itu tidak asing
baginya. Jaejoong sendiri tidak tahu kenapa bisa merasa seperti itu.
“Ah mian, aku jadi terbawa emosi dan bicara terlalu banyak,” buru-buru
Jaejoong menambahkan, ketika dia menyadari yang baru saja dikatakannya mungkin
saja terlalu jauh.
“Aku bisa memahami
perasaanmu,” sahut namja asing itu,
membuat Jaejoong menoleh dan menatap namja
itu dengan penuh minat.
Namja itu menoleh dan balas menatap Jaejoong sembari
tersenyum simpul, “Aku tahu karena aku juga pernah patah hati karena seorang
wanita. Eum…
rasanya mungkin seperti langit runtuh menimpa kepalamu dan membuatmu merasa
inilah akhir dari dunia.” Jaejoong meresponnya dengan sebuah anggukan samar.
“Tapi kau tidak perlu
khawatir, waktu sendiri yang nantinya akan menghapus lukamu sedikit demi
sedikit.”
Mata Jaejoong masih terpaku pada namja asing itu, yang kini hanya menatap
lurus ke depan. Mendengar kata-katanya tadi, Jaejoong merasa lega dan cukup
terhibur. Perasaannya pun jadi hangat. Kenapa?
“Gomawo,” ucap Jaejoong lirih, namun masih dapat didengar oleh namja asing itu. Dia tersenyum masih
dengan pandangan lurus ke depan.
Jaejoong buru-buru mengalihkan tatapannya ketika
menyadari kalau dia sedang terlarut pada sosok namja asing itu. Dia jadi merasa sedikit salah tingkah, meskipun namja itu tidak memergokinya yang sedang
menatap namja itu lekat-lekat.
Kedua anak manusia itu kembali terdiam dan
tenggelam dalam alam pikir mereka sendiri. Tanpa sepengetahuan satu sama lain,
keduanya beberapa kali saling melirik meski tidak sampai bertemu pandang.
Mencuri-curi pandang untuk menatap satu sama lain dengan lebih seksama, sambil
mencoba menerka apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan satu sama lain.
Namja asing itu mulai terusik oleh dinginnya angin malam di akhir
tahun. Kedua telapak tangannya tertangkup dan digosok-gosokkan, untuk lebih
menghangatkan telapak tangannya yang hampir membeku kedinginan. Memang salahnya
sendiri, karena terburu-buru untuk mengejar bus terakhir, dia sampai melupakan
sarung tangan dan syalnya.
Namja itu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan
tangannya dan menggumam kecil, sebelum dilihatnya Jaejoong yang masih sibuk
dengan dunianya sendiri.
Namja asing itu kemudian bangkit berdiri dan berkata,
“Sepertinya ini sudah larut. Aku harus pulang sekarang sebelum aku diomeli oleh
orang-orang di rumah.”
Jaejoong sedikit
mendongakkan kepalanya untuk menatap namja
asing yang sekarang sudah berdiri di sampingnya itu. Namja itu sedang merapikan pakaiannya dan mengeratkan mantelnya.
‘Mungkin dia sudah terlalu kedinginan berada di luar, makanya memutuskan untuk
pulang,’ pikir Jaejoong.
“Lalu bagaimana denganmu? Kau
pulang naik apa? Bus terakhir sudah berangkat loh. Atau kau mau naik kereta
bawah tanah?” tanya namja itu sambil
menatap Jaejoong yang tampaknya tidak ada niatan untuk beranjak dari halte bus
yang semakin dingin itu, “Atau… kau masih mau di sini?” tambahnya.
Jaejoong mengeratkan
syalnya dan menghembuskan napas kuat-kuat, menciptakan embun dari helaan
napasnya, “Aku bisa pulang sendiri, tak usah khawatir,” jawabnya.
Namja asing itu mengangguk-angguk kecil, “Benar juga,”
katanya sambil maju satu langkah ke depan, “Baiklah kalau begitu, aku pamit
dulu.”
Jaejoong mengangguk.
“Sampai bertemu lain
waktu.”
“Eum,” gumam Jaejoong.
Namja itu berbalik dan mulai berjalan meninggalkan
Jaejoong sendiri di halte bus itu. Iris Jaejoong menatap lekat punggung namja itu yang makin menjauh.
“Hei tunggu!” seru
Jaejoong sembari bangkit berdiri. Namja
asing itu menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya untuk menatap
Jaejoong.
“Ah itu… eum… siapa namamu?” tanya
Jaejoong, sedikit berteriak mengingat namja
asing itu yang memang sudah agak jauh darinya.
Namja asing itu memiringkan kepalanya, bingung. Kenapa
Jaejoong tiba-tiba ingin tahu namanya?
Seolah mengerti arti
tatapan namja itu, Jaejoong segera
berkata, “Eum… sebagai tanda terima kasihku karena kau sudah bersedia mendengar
keluh kesahku, mungkin aku bisa mengirimkan tiket showcase untukmu juga adikmu.”
“Tidak perlu repot-repot,”
sahut namja asing itu sembari tertawa
kecil.
“Tidak, tidak apa-apa kok.
Anggap saja ini fan-service,
pemberian dari idola untuk fansnya.”
Namja itu lagi-lagi terkikik geli. Ditatapnya Jaejoong
yang terlihat serius dengan ucapannya barusan. Sementara Jaejoong sendiri entah
mengapa jadi gugup menunggu jawaban dari namja
itu.
“Jung Yunho,” seru namja itu, “Namaku Jung Yunho.”
* * *
-to be continued-
0 komentar:
Posting Komentar