31 Desember 2013

SKANDAL - Chapter 5

SKANDAL
Chapter 5

-xxx-

Winter, 2 years ago
Seoul, 11.15 p.m
            Kim Jaejoong menghentikan langkahnya. Terdiam sejenak dan menghirup napas dalam-dalam sebelum menghelanya kuat-kuat. Kepalanya tertunduk dan matanya terpejam untuk beberapa saat. Dieratkannya mantel sebelum kemudian melanjutkan langkah kakinya.
            Entah kemana kakinya membawanya pergi, Jaejoong hanya berjalan mengikuti instingnya. Tatapannya kosong ke depan, sesekali kepalanya menengadah ke atas, menatap langit malam yang hari ini tampak cerah tak berawan.
            Lagi-lagi, Jaejoong menghela napas berat. Kata-kata Song Jihyun terus dan masih terngiang jelas di telinganya. Kata-kata perpisahan yang sama sekali tidak Jaejoong kira akan meluncur dari bibir sang kekasih. Kata-kata yang tak bisa dia sangkal. Kata-kata yang membuatnya tersadar dan terhempas ke kehidupan jelata. Kata-kata yang sempat menjadi kekhawatirannya. Tentang dirinya, yang kini menjadi salah satu artis papan atas Korea.
            “Jaejoong-ah, eum… maaf… tapi kupikir hubungan kita sampai di sini saja. Belakangan ini kita berdua sama-sama sibuk. Aku harus menyelesaikan skripsi dan kau… belakangan ini kau semakin populer. Aku… membaca banyak artikel di internet tentangmu. Promo album, iklan, drama, tour, aku yakin banyak hal yang harus kaulakukan.”
            “Apa maksudmu, Jihyun-ah?”
            “Aku… maaf… tapi belakangan ini aku merasa risih, eum… dengan status kita masing-masing. Kau tahu, aku ini orang biasa, bukan dari kalangan artis sepertimu. Dan akhir-akhir ini kariermu sedang menanjak, fansmu pun bertambah. Aku merasa… kita ada di dunia yang berbeda… dan kurasa… aku tidak bisa lagi. Mianhe, jeongmal mianhe, Jaejoong-ah. Kau… mengerti maksudku bukan?”
            “…”
            “Kurasa… kita tak bisa bersama lagi. Mungkin sudah cukup sampai di sini.”
            Song Jihyun adalah kekasihnya sekarang mantan kekasihnya sejak sebelum Jaejoong memulai debutnya. Bertemu di sebuah toko bunga tempat Jihyun bekerja sambilan, ketika Jaejoong memulai hari-hari pertama perantauannya ke Seoul. Sepasang remaja muda yang bertemu tanpa disengaja, kemudian saling tertarik satu sama lain, dan hanya butuh waktu sampai mereka memutuskan sebuah komitmen hubungan.
            Mereka pernah berkomitmen. Ya, layaknya pasangan muda lainnya, berjanji untuk saling mencintai dan melindungi, berkomunikasi tanpa ada yang disembunyikan dari satu sama lain. Semuanya berjalan biasa, tak ada yang aneh dari pasangan ini. Sementara waktu terus berjalan sembari membawa takdir lain dalam kehidupan mereka.
            Jaejoong yang lolos ajang pencarian bakat dan menjalani masa training, akhirnya memulai debutnya sebagai penyanyi solo pria. Sementara Jihyun mulai sibuk dengan berbagai aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Seoul. Sibuk dengan jalan hidup yang baru sebagai seorang dewasa, membuat mereka semakin jarang bertemu. Komunikasi lewat ponsel terkadang tidak terlalu membantu intensivitas hubungan mereka. Semuanya pun perlahan berubah.
            Langkah Jaejoong kembali terhenti. Kepalanya menunduk, matanya menekuri salju yang ada di dekat kakinya. Lagi-lagi Jaejoong menghela napas berat. Jaejoong menyadarinya sekarang. Selama ini dia terlalu egois, beranggapan bahwa hubungannya dengan Jihyun baik-baik saja. Terlalu egois, sehingga Jaejoong lupa memikirkan perasaan Jihyun terhadap dirinya yang sudah menjadi penyanyi terkenal. Terlalu egois, sehingga Jaejoong tak ingatuntuk berpikir bagaimana perasaan Jihyun terhadap dirinya yang kini dikelilingi oleh fans-fans yang mayoritas yeoja. Terlalu egois, sehingga Jaejoong tak menyadari kalau sebenarnya dia menyakiti Jihyun perlahan-lahan. Dia mungkin memang bukanlah pacar yang baik.

            Jaejoong mengangkat kepalanya saat merasa hawa terasa makin dingin. Ditatapnya lagi langit malam yang gelap, dan salju mengenai wajahnya. Salju mulai turun lagi malam ini. Dan udara dingin membuat Jaejoong tidak betah untuk berdiri diam terlalu lama.
            Kakinya kembali membawanya entah kemana. Yang pasti bukan ke apartemen, dia tidak ingin hanya berdiam diri seorang diri di dalam apartemen, itu bisa membuat moodnya memburuk. Berada di luar dan melihat-lihat malam hari di kota Seoul setidaknya cukup untuk membantunya membebaskan pikirannya dan menjadi sedikit lebih rileks.
            Insting Jaejoong sebagai seorang artis sepertinya sudah cukup terasah belakangan ini. Beberapa kali Jaejoong bertemu pandang dengan orang-orang yang berpapasan dengannya. Tatapan mereka tak biasa, mungkin karena penuh rasa ingin tahu. Jaejoong mulai merasa risih. Sekalipun sekarang ini Jaejoong sedang tidak terlalu peduli dengan keadaan di sekitarnya, tapi dia juga tak ingin dikenali apalagi diusik oleh orang lain yang mengenali dirinya sebagai seorang penyanyi yang tengah naik daun. Dia butuh waktu privasinya sekarang. Dan melayani permintaan tanda tangan atau foto bersama tidak tepat dilakukan saat ini.
            Sebelum semakin banyak orang yang memandang curiga ke arahnya, Jaejoong segera mengeratkan syal abu-abu di lehernya, dan menarik syalnya hingga menutup sebagian wajahnya hingga ke cuping hidung. Kedua tangannya masuk ke saku mantel dan Jaejoong melangkah dengan usaha untuk terlihat sebagai masyarakat biasa, bukan sebagai seorang masyarakat yang sering hilir mudik di berbagai acara televisi.
            Salju turun makin deras. Jaejoong bisa merasakannya karena salju semakin sering mengenai kepalanya yang tak terlindungi topi atau apapun dan membuat sensasi dingin merambat di sel-sel saraf kepalanya. Dia harus beberapa kali menyingkirkan salju-salju itu dari rambutnya. Setelah putus dari pacarnya, salju-salju dingin ini hanya memperburuk keadaan. Tapi Jaejoong pun hanya bisa berdecak kesal karena kedinginan.
            Langkah kaki Jaejoong membawanya terus menyusuri jalanan kota Seoul yang meskipun sudah hampir tengah malam tapi tetap saja diterangi oleh lampu-lampu pertokoan dan lampu-lampu jalan. Kedua kakinya baru berhenti ketika Jaejoong sampai di sebuah halte bus. Instingnya yang sedang bekerja lebih tajam dari logikanya menyuruhnya untuk duduk di halte bus itu. Setidaknya untuk berteduh sejenak, menghindari salju-salju yang terus berjatuhan di kepalanya.
            Jaejoong menghela napas lagi, entah yang untuk keberapa kalinya dalam sepanjang dirinya berjalan tadi, sebelum kemudian duduk di halte itu. Syukurlah tidak ada orang lain di halte itu, jadi Jaejoong bisa merasa aman tanpa perlu menghadapi tatapan curiga dari orang lain. Jaejoong hanya duduk diam di sana. Beberapa menit kemudian, sebuah bus berhenti di depannya dan pintu bus terbuka. Jaejoong masih dalam diamnya dan tidak beranjak untuk naik ke bus, dan bus pun melaju meninggalkan Jaejoong sendiri di halte itu.
            Tidak ada hal lain yang dilakukan Jaejoong selain duduk diam. Pikirannya hanya sibuk melayang-layang di udara dan matanya hanya mengikuti pergerakan mobil-mobil yang melintas di jalanan. Entah berapa lama Jaejoong duduk di sana. Dia baru tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara langkah kaki terburu-buru yang mendekat ke arahnya. Jaejoong tidak mencoba mencari asal suara itu, dia tidak peduli dan tidak ingin menarik perhatian orang lain sehingga bisa membuat orang lain itu menatapnya sebelum selanjutnya memandang curiga.
            Suara derap langkah kaki itu tak terdengar lagi. Dan tanpa menengokkan kepalanya, Jaejoong tahu kalau si pemilik langkah kaki tadi sekarang sudah berdiri tak jauh darinya. Bahkan kesunyian di malam itu bisa membuat Jaejoong mendengar deru napas si pemilik langkah kaki tadi. Langkah kaki yang cepat dan napas yang menderu, Jaejoong yakin orang ini pasti baru saja berlari.
            “Aish, terlambat,” desis si pemilik langkah kaki tadi.
            Meskipun pelan, tapi umpatan kesal itu tertangkap di telinga Jaejoong yang tanpa sadar membuatnya menengokkan kepalanya dan menatap orang asing yang mengganggu kesendiriannya di halte itu.
            Seorang namja, dengan rambut brunette yang sedikit berantakan karena angin, tengah menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Mulutnya masih mendesis kesal sembari tangan kanannya mengacak rambut untuk melampiaskan kekesalannya. Sebuah ransel hitam yang terlihat berat melekat di punggungnya. Melihat namja itu sekilas cukup membuat Jaejoong merasa lebih kedinginan.
            Namja itu tidak mengenakan apapun atau bahkan sebuah syal, selain mantel yang sepertinya juga tidak terlalu tebal. Ternyata ada orang yang lebih kedinginan daripada Jaejoong sekarang, setidaknya itu membuat Jaejoong tidak terlihat terlalu menyedihkan. Jaejoong menatap lebih lekat wajah namja asing itu. Wajahnya yang kecil itu cukup tampan, dengan matanya yang sipit membuat tatapan namja itu berkesan tajam dan tegas.
            Jaejoong buru-buru mengalihkan pandangannya saat dilihatnya namja itu mengangkat wajahnya dan melirik sekilas ke arahnya. Sembari merapal, berharap agar namja asing itu tidak terlalu memperhatikannya, Jaejoong berusaha acuh dengan sibuk mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling.
            Sementara itu, namja asing yang merasa dirinya sedang diperhatikan, balik menatap Jaejoong. Alisnya bertaut melihat Jaejoong yang seketika mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak mau ambil pusing, namja asing itu kemudian memutuskan untuk duduk dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
            Menit demi menit dilalui dalam diam oleh kedua namja yang tidak saling mengenal ini. Jaejoong yang merasa namja asing ini tidak akan mengusiknya pun sudah kembali larut dalam lamunannya sendiri. Dan hal itu membuat Jaejoong tidak menyadari kalau diam-diam namja asing yang duduk tak jauh darinya itu sedang mengamatinya lekat-lekat.
            “Kau Kim Jaejoong, ‘kan?” Sebuah pertanyaan yang muncul dari namja asing itu membuat Jaejoong seketika terkesiap. Punggung Jaejoong menegak dan ditatapnya namja asing di sampingnya itu dengan tatapan horor.
            ‘Kenapa orang ini mengenaliku, sih?’ batin Jaejoong. Jaejoong mengacuhkan pertanyaan namja itu dan memilih untuk diam. Tatapannya pun sudah teralih kembali ke arah jalanan.
            “Benar ‘kan?” desak namja bersuara bass itu. Jaejoong tetap keukeuh untuk diam, berpura-pura tidak mendengar apa-apa.
            “Apa yang sedang dilakukan seorang penyanyi terkenal seperti
            “Sssttt!” Jaejoong dengan panik menyela kalimat namja itu, dengan telunjuk menempel di bibirnya, mengisyaratkan namja itu agar diam. Sementara namja itu hanya balas menatap bingung ke arah Jaejoong.
            “Apa?”
            “Jangan keras-keras, bagaimana kalau orang lain mendengarnya,” ujar Jaejoong dengan suara lirih, sambil matanya menatap was-was ke sekeliling mereka.
Namja itu terdiam, lalu menjentikkan jarinya sembari berkata, “Ah, kau tidak ingin ketahuan oleh fansmu, ya?”
            Jaejoong hanya diam dan memilih untuk kembali bungkam. Selain malas meladeninya, bukankah berbahaya jika berbicara dengan orang asing?
            “Tenang saja, aku bukan fansmu. Yaa~ meskipun aku tahu lagu-lagumu sih,” ujar namja itu lagi. Meski Jaejoong tidak menjawab, tapi namja itu bisa menebak sendiri jawabannya, melihat dari situasi dan kondisi sekarang. “Adikku penggemar beratmu. Di dinding kamarnya banyak postermu. Dan lagi belakangan ini kau semakin terkenal, jadi semakin sering muncul di TV. Tak heran aku bisa dengan mudah mengenalimu.”
            Dahi Jaejoong berkerut. Mudah dikenali? Benarkah Jaejoong mudah dikenali oleh orang awam sekalipun? Berarti mungkin sepanjang jalan tadi orang-orang yang menatapnya lekat bukan hanya curiga melainkan memang mengenali seorang Kim Jaejoong? ‘Astaga’ batin Jaejoong, masih tidak percaya dengan fakta yang baru saja terlintas di pikirannya.
            “Jadi… apa yang dilakukan olehmu di halte bus ini saat waktu hampir tengah malam?” tanya namja itu lagi, seolah tidak menyerah untuk terus menanyai Jaejoong.
Jaejoong kembali menatap namja itu dan menjawab singkat, “Tidak ada.”
            Namja itu menggumam kecil mendengar jawaban Jaejoong. “Jam segini sudah tidak ada bus yang lewat. Apa kau sedang menunggu bus?” tanya namja itu lagi.
            Jaejoong yang pada dasarnya memang sedang tidak ingin diganggu, memutuskan untuk diam saja.
            “Ah baiklah, mungkin kau memang sedang tak ingin diganggu ya,” ujar namja itu sembari mengalihkan pandangannya ke arah jalanan yang masih cukup ramai oleh kendaraan. “Apa kau juga tidak mau melayani permintaan tanda tangan?” pertanyaan yang kesekian kalinya dilontarkan oleh namja itu mulai membuat Jaejoong kesal.
            Menyadari perubahan raut muka Jaejoong, namja itu segera berkata, “Ah mian, mian. Harusnya aku sudah tahu jawabannya.”
Jaejoong hanya mendengus kesal tanpa menatap namja itu sama sekali. Sebenarnya dia ingin pergi dari tempat itu sekarang juga, tapi melihat salju yang masih terus turun membuat Jaejoong mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk melatih kesabarannya dengan duduk di halte ini bersama namja asing yang cukup cerewet itu.
            Cukup lama mereka berdua hanya duduk diam, membuat Jaejoong mulai lega. Baru saja dia mengira namja asing itu sudah menyerah dan berhenti menanyainya, sebuah pertanyaan yang menjengkelkan dari namja itu kembali masuk ke indra pendengarannya.
            “Kalau kau tidak mau memberiku tanda tangan, sebagai gantinya bolehkah aku menanyakan satu hal?”
            Jaejoong menoleh dan menatap namja itu cukup lama. Dan namja itu menganggapnya sebagai jawaban ‘ya’ atas permintaannya barusan.
            “Benarkah kau sedang berpacaran dengan seorang eum mahasiswi yang bukan dari kalangan artis?” tanya namja itu sambil berusaha mengingat-ingat informasi yang dia dapatkan baru-baru ini.
            Jaejoong terbelalak menatap namja itu segera setelah mendengar pertanyaan yang cukup membuatnya syok. “Da—dari mana kau tahu hal itu?” tanya Jaejoong, suaranya bergetar karena terlalu kaget.
            “Dari mana? Tentu saja dari televisi, dari internet juga. Semua orang sedang ramai membicarakan hal itu. Memangnya kau tidak sadar?”
            Jaejoong mengerjap-ngerjapkan matanya, bingung. Otaknya kini penuh dnegan berbagai pertanyaan dan spekulasi. Dari mana infotainment itu tahu kalau dia sedang berpacaran dengan Song Jihyun? Dari mana berita itu berasal? Apa… Jihyun yang terusik karena berita-berita itu akhirnya memilih untuk memutuskan hubungan mereka?
            “Sepertinya kau baru dengar berita ini ya,” celetuk namja itu lagi, melihat ekspresi Jaejoong yang langsung berubah, “Eh, bukankah kau baru saja kembali ke Korea setelah selesai melakukan tour di Jepang? Mungkin karena itu kau tidak mendengar berita ini. Tapi aneh juga, apa agensimu tidak memberi tahu? Atau mereka juga tidak tahu?”
            Jaejoong hanya menatap namja itu sekilas, sebelum kemudian kepalanya tertunduk dalam. Rasanya mendadak ada batu seberat satu ton yang menimpa kepalanya dan membuatnya merasa pusing.
            “Eh tunggu, jangan salah sangka. Aku tahu kau baru saja kembali dari Jepang karena adikku. Dia fans beratmu yang setiap hari berceloteh tentangmu. Karena itu, tidak heran kalau aku tahu… lumayan banyak tentangmu. Itu gara-gara adikku,” tandas namja itu cepat.
            Entah sebenarnya dia perlu mengatakan hal itu atau tidak, tapi yang pasti namja itu tidak ingin Jaejoong salah sangka dan mengira kalau diam-diam dirinya ternyata juga salah satu fansnya.
            Namja itu melirik sekilas ke arah Jaejoong yang terdiam, “Jadi memang benar yaa…”
            Tidak ada satu katapun yang keluar dari bibir Jaejoong. Dia tidak tahu harus berbuat bagaimana dan berkata apa. Mau menyangkal, rasanya sudah terlambat. Mau mengiyakan, tapi bukankah Jaejoong baru saja putus? Berarti sekarang dia sudah tidak berpacaran lagi ‘kan? Dan detik berikutnya hanya helaan napas panjang yang keluar dari mulut Jaejoong.
            Helaan napas Jaejoong barusan menarik perhatian namja asing itu. Dia kembali menatap Jaejoong yang tampak seperti sedang meratapi diri sendiri itu. Namja itu menatap Jaejoong lebih lekat. Selama ini dia memang sering melihat Kim Jaejoong di televisi maupun di poster yang ada di kamar adiknya, tapi dia baru menyadari kalau seorang Kim Jaejoong memiliki wajah yang benar-benar terlihat manis di matanya. Kim Jaejoong memang tampan, namja itu juga mengakuinya, tapi di matanya wajah Kim Jaejoong lebih tepat dideskripsikan dengan kata manis. Badannya pun cukup bagus, mungkin karena sering latihan. Tetapi rasanya, ada sesuatu yang lain dari diri Kim Jaejoong yang menarik perhatian namja itu. Dan sesuatu itu memancing dirinya untuk tahu lebih banyak tentang Jaejoong.
            Jaejoong yang sedari tadi benar-benar terlarut dalam pemikirannya sendiri sama sekali tidak menyadari ada sepasang mata sipit bak rubah yang sedang memperhatikannya. Terlalu banyak yang muncul dalam benaknya. Tentang Jihyun, tentang gosip, tentang dirinya sendiri.
            Kepala Jaejoong kembali terangkat dan menengadah menatap langit malam yang semakin kelam. Salju masih turun. Irisnya yang suka mencari penghiburan dengan menatap bintang-bintang di langit, kini hanya menatap sendu ke arah bayang-bayang bulan yang tertutup oleh awan. Entah karena terlalu syok bercampur kaget atau apa, sedari perpisahannya dengan Jihyun, Jaejoong tidak merasakan apa pun selain hampa. Baru kini, dadanya mulai terasa sesak oleh rasa sakit yang membuat tubuhnya terasa lemas. Jantungnya berdegup tak beraturan dan paru-parunya pun terasa sulit mendapatkan oksigen. Dan tanpa Jaejoong sadari, matanya mulai berkaca-kaca.
            Namja asing yang sejak tadi menatap Jaejoong terkesiap kaget melihat bulir air mata di sudut mata Jaejoong yang seolah siap turun kapan saja. Ekspresi sendu bercampur sedih juga terlihat jelas di wajah Jaejoong. Sorot matanya yang terarah ke atas penuh dengan kepedihan.
            “Kau baru putus dengan pacarmu?” tanya namja itu, spontan saja. Namja itu sendiri tampak terkejut mendengar pertanyaan yang barusan meluncur begitu saja darinya, “Maaf,” imbuhnya buru-buru begitu melihat Jaejoong bereaksi karena pertanyaannya itu.
            Jaejoong menatap namja asing itu yang kini sedang menundukkan kepalanya. Dia tampak sedang menyesali kata-katanya barusan. Memang, pertanyaan tadi menambah perih di dadanya, seperti menabur garam di atas luka. Tapi memang itulah kenyataannya. Dia, Kim Jaejoong, sudah putus hubungan dengan kekasih yang masih dicintainya, Song Jihyun.
            “Tanpa kukatakan pun kau sudah tahu jawabannya, ‘kan?” ucap Jaejoong akhirnya, dengan suara lirih dan sedikit bergetar. Namja itu mengangkat kepalanya, dan pandangan mereka bertemu.
            Jaejoong hanya tersenyum pedih ke arah namja asing yang sama sekali tidak dia kenal itu, sementara namja itu balas menatapnya dengan tatapan yang… agak kaget mungkin? “Kau pasti berpikir aku benar-benar terlihat menyedihkan sekarang, ‘kan?” ujar Jaejoong. Matanya kembali sibuk menekuri salju-salju yang jatuh ke tanah.
            “Maaf,” kata namja asing itu lagi.
            “Tidak, tidak perlu minta maaf. Memang itulah kenyataannya,” jawab Jaejoong, nadanya terdengar pahit.
            “Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan memberitahukan hal ini pada siapapun, termasuk adikku.”
            Jaejoong tersenyum mendengar penuturan namja itu barusan, “Gomawo,” katanya sambil tersenyum samar ke arah namja itu.
            Jaejoong tersentak saat melihat namja itu balas tersenyum ke arahnya. Senyum namja itu terasa hangat dan meneduhkan. Kenapa kenapa Jaejoong mendadak bisa merasa begitu dekat?
            Kedua namja ini kembali terdiam. Keduanya mengalihkan pandangan ke arah yang berbeda dan sibuk dengan pikiran masing-masing, sementara malam semakin larut. Kendaraan masih berlalu lalang di depan mereka, tapi jumlahnya mulai berkurang. Begitu juga dengan orang-orang yang berjalan di jalanan kota Seoul, sudah mulai jarang terlihat. Salju yang turun dan cuaca yang dingin membuat Seoul malam ini tampak lebih sepi dari biasanya. Musim dingin memang terkadang membawa kemalasan tersendiri untuk beraktivitas di luar ruangan.
            “Aku masih mencintainya. Tapi ternyata tak ada yang bisa kuubah hanya dengan cinta. Sekalipun aku masih ingin bersamanya, tapi ternyata aku menyakitinya. Tak kusangka menjadi artis ternyata bisa begini menyakitkan. Kupikir semuanya akan baik-baik saja, tapi ternyata tidak,” kata Jaejoong memecah keheningan. Matanya masih menyiratkan kesedihan yang mendalam dan sebuah senyum pedih kembali tampak di wajahnya.
            Entah bagaimana dan mengapa, Jaejoong bisa berkata-kata seperti itu pada orang asing yang sama sekali tidak dia kenal atau pernah dia lihat sebelumnya. Dia bisa dengan mudah mencurahkan perasaannya pada namja yang baru dia temui beberapa waktu lalu. Jaejoong hanya merasa begitu dekat dan hatinya seolah berkata namja itu tidak asing baginya. Jaejoong sendiri tidak tahu kenapa bisa merasa seperti itu.
            “Ah mian, aku jadi terbawa emosi dan bicara terlalu banyak,” buru-buru Jaejoong menambahkan, ketika dia menyadari yang baru saja dikatakannya mungkin saja terlalu jauh.
            “Aku bisa memahami perasaanmu,” sahut namja asing itu, membuat Jaejoong menoleh dan menatap namja itu dengan penuh minat.
            Namja itu menoleh dan balas menatap Jaejoong sembari tersenyum simpul, “Aku tahu karena aku juga pernah patah hati karena seorang wanita. Eum rasanya mungkin seperti langit runtuh menimpa kepalamu dan membuatmu merasa inilah akhir dari dunia.” Jaejoong meresponnya dengan sebuah anggukan samar.
            “Tapi kau tidak perlu khawatir, waktu sendiri yang nantinya akan menghapus lukamu sedikit demi sedikit.”
Mata Jaejoong masih terpaku pada namja asing itu, yang kini hanya menatap lurus ke depan. Mendengar kata-katanya tadi, Jaejoong merasa lega dan cukup terhibur. Perasaannya pun jadi hangat. Kenapa?
            “Gomawo,” ucap Jaejoong lirih, namun masih dapat didengar oleh namja asing itu. Dia tersenyum masih dengan pandangan lurus ke depan.
Jaejoong buru-buru mengalihkan tatapannya ketika menyadari kalau dia sedang terlarut pada sosok namja asing itu. Dia jadi merasa sedikit salah tingkah, meskipun namja itu tidak memergokinya yang sedang menatap namja itu lekat-lekat.
Kedua anak manusia itu kembali terdiam dan tenggelam dalam alam pikir mereka sendiri. Tanpa sepengetahuan satu sama lain, keduanya beberapa kali saling melirik meski tidak sampai bertemu pandang. Mencuri-curi pandang untuk menatap satu sama lain dengan lebih seksama, sambil mencoba menerka apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan satu sama lain.
            Namja asing itu mulai terusik oleh dinginnya angin malam di akhir tahun. Kedua telapak tangannya tertangkup dan digosok-gosokkan, untuk lebih menghangatkan telapak tangannya yang hampir membeku kedinginan. Memang salahnya sendiri, karena terburu-buru untuk mengejar bus terakhir, dia sampai melupakan sarung tangan dan syalnya.
            Namja itu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya dan menggumam kecil, sebelum dilihatnya Jaejoong yang masih sibuk dengan dunianya sendiri.
            Namja asing itu kemudian bangkit berdiri dan berkata, “Sepertinya ini sudah larut. Aku harus pulang sekarang sebelum aku diomeli oleh orang-orang di rumah.”
            Jaejoong sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap namja asing yang sekarang sudah berdiri di sampingnya itu. Namja itu sedang merapikan pakaiannya dan mengeratkan mantelnya. ‘Mungkin dia sudah terlalu kedinginan berada di luar, makanya memutuskan untuk pulang,’ pikir Jaejoong.
            “Lalu bagaimana denganmu? Kau pulang naik apa? Bus terakhir sudah berangkat loh. Atau kau mau naik kereta bawah tanah?” tanya namja itu sambil menatap Jaejoong yang tampaknya tidak ada niatan untuk beranjak dari halte bus yang semakin dingin itu, “Atau… kau masih mau di sini?” tambahnya.
            Jaejoong mengeratkan syalnya dan menghembuskan napas kuat-kuat, menciptakan embun dari helaan napasnya, “Aku bisa pulang sendiri, tak usah khawatir,” jawabnya.
            Namja asing itu mengangguk-angguk kecil, “Benar juga,” katanya sambil maju satu langkah ke depan, “Baiklah kalau begitu, aku pamit dulu.”
            Jaejoong mengangguk.
            “Sampai bertemu lain waktu.”
            “Eum,” gumam Jaejoong.
Namja itu berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Jaejoong sendiri di halte bus itu. Iris Jaejoong menatap lekat punggung namja itu yang makin menjauh.
            “Hei tunggu!” seru Jaejoong sembari bangkit berdiri. Namja asing itu menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya untuk menatap Jaejoong.
            “Ah itu eum siapa namamu?” tanya Jaejoong, sedikit berteriak mengingat namja asing itu yang memang sudah agak jauh darinya.
            Namja asing itu memiringkan kepalanya, bingung. Kenapa Jaejoong tiba-tiba ingin tahu namanya?
            Seolah mengerti arti tatapan namja itu, Jaejoong segera berkata, “Eum… sebagai tanda terima kasihku karena kau sudah bersedia mendengar keluh kesahku, mungkin aku bisa mengirimkan tiket showcase untukmu juga adikmu.”
            “Tidak perlu repot-repot,” sahut namja asing itu sembari tertawa kecil.
            “Tidak, tidak apa-apa kok. Anggap saja ini fan-service, pemberian dari idola untuk fansnya.”
            Namja itu lagi-lagi terkikik geli. Ditatapnya Jaejoong yang terlihat serius dengan ucapannya barusan. Sementara Jaejoong sendiri entah mengapa jadi gugup menunggu jawaban dari namja itu.
            “Jung Yunho,” seru namja itu, “Namaku Jung Yunho.”
*          *          *
-to be continued-

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

ABOUT ME

Foto saya
Im a HUMANOIDS, not A-N-D-R-O-I-D~! I ♥ TVXQ. Fan of Lee Min Ho. Support VR46. Love watching SHINHWA Broadcast. :) me YUNJAE-shipper. not really into KPOP, but interest in JPOP esp ARASHI. member of GARUDA SIPIL 2013. ALWAYS KEEP THE FAITH!