SKANDAL
Chapter 7
-xxx-
Jaejoong mengajak Changmin
ke sebuah tempat yang sudah lama jadi langganannya sejak dia debut. Meskipun
kecil, tapi tempat ini terasa nyaman. Dia suka minum di tempat ini dan sering
kali dia pergi berdua bersama Junsu. Tempat ini tidak terlalu ramai, kebanyakan
pelanggannya orang-orang kantoran berumur sekitar 30-an. Dan Jaejoong merasa
tidka perlu khawatir ada yang mengenalinya di sini. Sekalipun ada yang
mengenalinya, pasti orang itu bukanlah fansnya
dan cenderung acuh terhadapnya. Itu sangat melegakan bagi Jaejoong, mengingat
tidak banyak tempat yang bisa Jaejoong datangi dengan mudah tanpa penyamaran.
Pemiliknya, seorang pria berusia 60 tahun dan istrinya
yang masih terlihat cantik di usianya sekarang, sangat ramah dan baik. Sepasang
suami istri itu bahkan tahu Kim Jaejoong adalah seorang penyanyi terkenal, tapi
hal itu tidak membuat mereka berubah sikap apalagi mengistimewakan Jaejoong.
Mereka memperlakukan Jaejoong sama seperti pelanggan lainnya, dan mereka
memberikan Jaejoong privasi dengan tidak melakukan hal-hal yang biasa dilakukan
seorang fans —minta foto, minta tanda tangan, menyentuh bagian tubuhnya, dan menanyakan hal
ini-itu—.
Itulah yang membuatnya merasa nyaman.
Jaejoong mengajak Changmin
masuk ke kedai itu begitu mereka berdua memarkirkan mobil masing-masing.
Jaejoong menggeser pintu kedai dan masuk dengan sedikit membungkuk.
“Selamat datang,” seru si
pemilik kedai dengan ramah begitu menyadari ada pelanggan yang datang.
Jaejoong masuk ke dalam
diikuti dengan Changmin di belakangnya. Tampak olehnya ada 3 orang pria paruh
baya orang selain dirinya dan Changmin, sementara si pemilik kedai terlihat
sedang membersihkan beberapa meja.
“Annyeong, ahjusshi,” sapa
Jaejoong.
Si pemilik kedai yang
bernama Kang Jangwoo menoleh dan langsung tersenyum sumringah melihat
kedatangan Jaejoong, “Rupanya kau, Joongie,’ katanya sambil membersihkan kedua
tangannya dengan celemek yang ada di pinggang, “Sudah lama kau tidak kemari.”
“Ah ye, kemarin aku sibuk jadi tidak sempat mampir kemari. Ahjusshi merindukanku, ya?” canda
Jaejoong. Dia memang suka sesekali bercanda dengan Tuan Kang, menurutnya Tuan
Kang itu memiliki selera humor yang cukup bagus.
“Aish, kau ini bisa saja,”
sahut Tuan Kang lalu tertawa kecil, “Ayo silahkan duduk,” tambahnya.
“Ne, ahjusshi,” kata
Jaejoong, lalu mengambil tempat duduk di tengah belakang. Tempat ini selalu
jadi tempat favoritnya.
Changmin mengikuti
Jaejoong dan duduk di seberang namja
itu. Matanya menatap sekeliling kedai itu. Sederhana tapi terkesan hangat,
suasananya pun begitu nyaman, begitulah kesan pertama Changmin begitu masuk ke
tempat ini.
Tuan Kang menghilang di
balik dapur sederhananya dan muncul kembali sembari membawa 2 gelas air dan
meletakkannya di meja mereka.
“Tumben sekali kau kemari
membawa teman, Joongie-ah,” ujar Tuan
Kang, “Junsu tidak ikut?” tanyanya kemudian.
“Tidak, ahjusshi, Junsu hyung sedang sibuk,” jawab Jaejoong, “Dan ini Shim Changmin,” lanjutnya,
memperkenalkan Changmin.
Changmin segera
menundukkan kepalanya ke arah Tuan Kang dan memberi salam, “Annyeonghaseo.”
“Annyeonghaseo,” balas Tuan Kang sembari sedikit menunduk.
Tuan Kang memperhatikan
Changmin untuk beberapa detik sebelum kemudian berkata, “Sepertinya wajahmu
tidak asing,” ujarnya sambil berusaha mengingat-ingat pemilik wajah tampan itu.
“Ah sudahlah ahjusshi, jangan menatapnya seperti
itu.”
“Baiklah, baiklah,” Tuan
Kang menyerah untuk mengingat-ingat, memorinya diumur yang sekarang memang
tidak lagi sama seperti saat dia muda dulu, “Mau pesan apa, Joongie-ah?”
“Seperti biasa saja, ahjusshi.”
“Baik, tunggu sebentar
ya,” ucap Tuan Kang lalu berlalu ke dapurnya.
Changmin menatap punggung
Tuan Kang hingga menghilang di balik dapur, lalu menatap Jaejoong, “Hyung sering kemari ya?” tanyanya.
“Eum,” sahut Jaejoong
sembari mengangguk, lalu menegak airnya.
“Tempat ini enak juga,”
gumam Changmin sambil mengedarkan pandangannya.
“Setuju,” tandas Jaejoong
cepat dan bersemangat, “Tempat ini memang nyaman. Pemiliknya ramah. Dan lagi
kita tidak perlu menyamar kalau datang kemari.”
Changmin mengangguk-angguk
setuju. Beberapa menit kemudian, Tuan Kang kembali sambil membawa nampan di
tangannya dan menghampiri meja mereka. Tuan Kang meletakkan beberapa botol soju, 2 buah gelas, dan beberapa piring
camilan beserta sumpit.
“Silahkan,” ujar Tuan Kang
sambil tersenyum ramah.
“Gomawo, ahjusshi,” sahut
Jaejoong.
Tuan Kang membungkuk
sekilas lalu pergi dan meninggalkan kedua namja
ini. Jaejoong lalu meraih sebotol soju
dan segera menuangkannya ke dalam gelas Changmin. Changmin yang kaget melihat
tindakan Jaejoong, menyodorkan gelasnya lalu ganti mengisi gelas Jaejoong
dengan soju. Jaejoong tersenyum samar
lalu mengangkat gelasnya dan bersulang dengan Changmin.
Baik Jaejoong maupun
Changmin, langsung menegak habis segelas soju itu. Berikutnya dan berikutnya,
keduanya kembali mengisi penuh gelas mereka dan menegaknya.
“Haahh,” desis Jaejoong
saat merasakan minuman khas Korea itu melewati tenggorokannya dan membawa
sensasi hangat dan menyenangkan. Setelahnya, dia meraih sumpit dan mulai
memasukkan camilan ke dalam mulutnya.
Kedua namja tampan seprofesi ini terdiam cukup lama. Masing-masing sibuk
dengan pikiran dan euforianya. Hanya suara denting gelas yang beradu dan suara
air yang menggelegak yang mengisi keheningan di antara mereka.
Sementara di kejauhan
tampak Tuan Kang yang tengah memperhatikan mereka, dengan yakin menarik sebuah
kesimpulan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa yang sedang terjadi dan hal
itulah yang membuat mereka tenggelam dalam kesunyian tanpa obrolan. Anak muda
zaman sekarang memang sering terlihat banyak pikiran dan terkadang itu
sebenarnya tidak cocok dengan usia mereka, begitu pikir Tuan Kang.
“Hyung,” panggil Changmin, mencoba memulai pembicaraan.
Jaejoong hanya
mendongakkan kepalanya dan menatap Changmin sekilas dengan pandangan bertanya.
“Ada apa?” tanya Changmin.
Jaejoong menelengkan
kepalanya tanda tidak mengerti, “Maksudmu, Changmin-ah?”
“Hyung tidak seperti biasanya,” ujar Changmin, “Apa terjadi
sesuatu?” tanyanya lirih dan dengan hati-hati.
Jaejoong menatap Changmin,
kali ini cukup lama, sebelum kemudian seulas senyum tipis terkembang di
wajahnya, “Terjadi sesuatu? Tentu saja. Bahkan terlalu banyak sesuatu yang terjadi,
membuat kepalaku pusing,” sahut Jaejoong sambil kembali mengisi penuh gelasnya
dengan soju dan langsung menegak
habis.
Changmin kemudian
memutuskan untuk diam beberapa saat, tidak melanjutkan obrolan mereka. Changmin
berusaha memberi kesempatan untuk Jaejoong supaya terbuka dan mau berbagi
sedikit padanya. Changmin memberi waktu untuk Jaejoong bicara dan melanjutkan
kalimatnya.
Akan tetapi, menit demi
menit yang Changmin biarkan berlalu ternyata tak membuat Jaejoong mau
melanjutkan kata-katanya. Keduanya kembali tenggelam dalam diam, dan Jaejoong
sibuk dengan gelas sojunya, mengisi
penuh dan sesekali menggoyangkan gelasnya, memainkan air di dalamnya.
“Hyung,” panggil Changmin lagi.
“Hm?” Jaejoong menyahut
hanya dengan sebuah gumaman.
“Hyung pernah bilang padaku kalau kita tidak boleh menyerah dan
pasrah pada keadaan begitu saja, benar ‘kan?”
“Hmm,” Jaejoong mengangguk
mengiyakan. Dia masih ingat pernha mengatakan hal itu pada Changmin saat
keduanya masih dalam masa training
dan belum melakukan debut.
Changmin menghela napasnya
sejenak sebelum kemudian melanjutkan kata-katanya, “Aku harap, apa pun yang
dialami Jaejoong hyung saat ini,
tidak membuat Jaejoong hyung menyerah
dan berputus asa. Apa pun yang terjadi, hyung
harus tetap penuh semangat dan selalu bermimpi sekaligus berpikir positif
seperti dulu sejak pertama kali aku mengenalmu, hyung. Oke?”
Jaejoong tersenyum menatap
Changmin yang juga sedang tersenyum menyemangati ke arahnya. Ah, dari dulu
sampai sekarang Changmin-nya tidak berubah, tetap saja menjadi dongsaengnya yang paling manis dan
perhatian.
Jaejoong lalu kembali
menuangkan soju ke gelas Changmin,
yang diikuti oleh Changmin menuangkan soju
ke gelasnya dan kemudian mereka kembali bersulang dan menegak habis segelas soju itu.
“Changmin-ah.”
“Ne?”
“Kenapa kau memutuskan
untuk menjadi penyanyi?” tanya Jaejoong sembari menatap lurus ke dalam mata
Changmin.
“Hm… waktu itu umma iseng menyuruhku untuk ikut kasting
sebuah agensi pencari bakat. Karena diimingi-imingi video game terbaru, aku menurut saja. Di luar dugaan, ternyata aku
lolos. Dan selanjutnya umma
menyuruhku untuk serius menekuni dunia entertainment.
Ya kira-kira begitulah,” kata Changmin sembari mengingat-ingat masa lalunya
sebelum jadi seperti sekarang.
“Karena umma ya…” gumam Jaejoong lirih, lalu
kembali menegak soju.
“Dulu, ayahku meninggal
saat usiaku baru 9 tahun. Sejak saat itu, umma-lah
yang harus memikul ekonomi keluarga. Umma
bekerja keras demi menghidupi kami, aku dan kedua adikku. Melihat itu, aku
memendam keinginan untuk membantu umma
mencari uang. Aku bekerja sambilan dimana-mana, sebelum dan setelah sekolah.
Sampai suatu ketika, terlintas di benakku untuk menjadi artis yang bisa
menghasilkan banyak uang.
“Pergi sendiri ke Seoul,
mencoba peruntungan di audisi. Sampai beberapa waktu lalu, aku pikir Tuhan
sangat baik padaku, aku bisa seberuntung ini untuk sampai ke titik sekarang
ini. Bisa debut, jadi terkenal, dan bisa membantu umma menghidupi dongsaengie
sehingga umma tak perlu lagi kerja
siang-malam. Aku pikir semuanya akan terus berjalan baik seperti itu. Tapi tak
kusangka, ternyata menjadi penyanyi terkenal bisa begini menyakitkan.”
Changmin hanya diam,
membiarkan Jaejoong menumpahkan segala yang mengganjal dalam hati. Matanya
sesekali menatap Jaejoong lekat, membuatnya ikut terlarut dalam perasaan
Jaejoong sekarang. Sedikit banyak Changmin bisa mengerti apa yang dirasakan hyung-nya itu sekarang.
“Tidak. Bukan. Bukan aku
yang tersakiti, tapi aku yang menyakiti orang lain,” kata Jaejoong lagi. Dia
lalu membenamkan kepalanya ke dalam kedua tangannya yang terlipat di atas meja
sambil menarik napas kuat-kuat.
Sayup-sayup Changmin dapat
mendengar suara isakan Jaejoong. Dan dia tidak tahu harus berbuat apa selain
menepuk-nepuk pundak Jaejoong.
Jaejoong sadar dirinya tidak
tahan lagi dan mulai terisak. Dia benci menangis. Menurutnya, namja harusnya tidak boleh semudah ini
meneteskan air mata. Tapi apa daya, dadanya terasa sesak sekarang. Semua
kejadian yang terjadi setelah skandalnya mencuat terus berkelebatan di benaknya,
membuat perasaannya bercampur aduk tak karuan.
“Kau jangan sepertiku,
Changmin-ah,” ujar Jaejoong lirih
sambil mengangkat kepalanya, setelah dirinya sedikit tenang dan bisa
mengendalikan emosinya.
Changmin sedari tadi masih
diam, memberikan Jaejoong kesempatan untuk bicara. Dilihatnya Jaejoong yang
kembali menuangkan soju dan langsung
menegaknya habis.
“Lakukanlah apa yang
menurutmu benar untuk kau lakukan, jangan lakukan apa yang harus kau lakukan.
Percayalah pada dirimu sendiri. Yakin kau bisa melakukan apa pun dengan dirimu
yang sebagai dirimu sendiri, bukan sebagai dirimu di mata orang lain.”
Changmin secara refleks
mengangguk. Dia mengerti maksud Jaejoong. Dan dia bisa mengerti keadaan
Jaejoong sekarang.
“Kau masih muda, masih
banyak hal yang bisa kau lakukan dan bisa kau capai. Tetapi jangan kau jadikan
itu sebagai ambisi, jadikan itu sebagai mimpi. Mimpi indah yang harus kau buat
jadi kenyataan,” kata Jaejoong.
Jaejoong mengangkat
wajahnya dan menatap Changmin, lalu tersenyum samar. Dan Changmin balas
menatapnya dengan ekspresi yang Jaejoong sendiri tak tahu bagaimana harus
menginterpretasikannya.
“Jangan sampai kau
menyesal, Changmin-ah. Pikirkan
baik-baik sebelum kau mengambil suatu langkah. Sekali kau mulai berjalan, belum
tentu ada kesempatan kedua untuk berbalik dan memulainya dari awal,” ujar
Jaejoong sembari menuangkan soju ke
gelas Changmin, “Arraseo?”
Changmin hanya mengangguk
cepat sebagai jawaban, lalu segera mengisi penuh gelas Jaejoong dengan soju.
Jaejoong tertawa pelan
lalu berkata dengan nada riang, “Ayo bersulang.”
Terdengarlah bunyi denting
dari dua gelas yang saling beradu. Baik Jaejoong maupun Changmin, langsung
menegak habis dalam sekali teguk dan kemudian terdengar suara gelas yang beradu
dengan meja.
“Mianhe, Changmin-ah. Aku
jadi bicara yang tidak-tidak kepadamu,” ujar Jaejoong sebelum kemudian mengisi
penuh mulutnya dengan camilan.
“Ani, hyung. Gwaenchana. Aku justru senang kalau bisa
membantu Jaejoong hyung meski hanya
dengan menjadi pendengar yang baik,” sahut Changmin dan mulai melahap camilan
mereka, mengikuti Jaejoong yang kini tengah sibuk mengunyah.
“Gomawo,” tandas Jaejoong dengan sebuah senyuman di wajahnya.
“Harusnya aku yang
berterima kasih karena sudah kau traktir, hyung,”
canda Changmin, membuat keduanya tertawa pelan.
Kedua namja ini kembali terdiam untuk beberapa menit. Changmin sendiri
bingung harus mulai mengangkat pembicaraan darimana untuk mencairkan suasana.
“Hidup itu tidak mudah,”
kata Jaejoong, membuyarkan lamunan Changmin.
Jaejoong lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Changmin, memegang kedua bahu
Changmin, dan menatapnya lekat-lekat, “Pokoknya, apa pun yang terjadi, seorang
Shim Changmin tidak boleh putus asa. Semangat terus. Oke?” katanya dengan nada
serius yang tegas.
Changmin mengerjap-ngerjapkan
matanya beberapa kali, bingung melihat tindakan Jaejoong, sebelum kemudian
menjawab singkat dengan anggukan tegas, “Eum.”
Selanjutnya Jaejoong hanya
tersenyum lebar, lalu menepuk pundak Changmin keras-keras sebelum kemudian
kembali ke posisi duduknya semula dan menyandarkan punggungnya ke kursi.
Changmin masih
mengerjap-ngerjapkan matanya sambil berusaha mencerna apa yang tadi dikatakan
Jaejoong.
“Hyung,” panggil Changmin cepat, membuat Jaejoong menatapnya heran.
“Soal skandal itu…”
Changmin mengambil jeda beberapa saat sambil mencari kata-kata yang tepat,
“tidak usah terlalu kau pikirkan,” lanjutnya.
“Hm?” Jaejoong masih belum
menangkap apa yang dimaksud oleh Changmin.
“Artis dan skandal memang
dua hal yang saling terkait, ‘kan? Jadi sebenarnya ini wajar saja. Tinggal
bagaimana masing-masing menanggapinya.”
Jaejoong mengangguk-angguk
setuju.
“Masih banyak fans, sahabat, rekan, dan keluarga yang
ada di sisi hyung. Aku yakin mereka
menaruh kepercayaan sepenuhnya pada hyung,
bukan pada infotainment. Jadi jangan
pernah sekalipun merasa tidak berguna apalagi tidak berarti. Mereka tidak
meninggalkanmu sendiri, semua ada di belakangmu untuk mendukung sekaligus
menopangmu, hyung. Bersandarlah
sedikit dan percayalah.”
Jaejoong seketika
tersenyum mendengar perkataan Changmin. Meski singkat, tapi itu cukup untuk
menguatkannya dan membuat perasaannya jadi lebih baik, terasa lebih hangat dan
lega. Beban pikiran sepertinya muali terangkat sedikit demi sedikit, berkat
orang-orang di sekelilingnya. Semangatnya mulai ada, dan asanya mulai memenuhi
benaknya.
“Aigoo, Changminnie, kau semakin dewasa saja ya,” ujar Jaejoong
sambil menepuk-nepuk dan mengusap kepala Changmin, membuat namja yang lebih muda darinya itu mengerang protes karena Jaejoong
membuat rambutnya berantakan.
Changmin pura-pura
cemberut dan memasang ekspresi sebal ke arah Jaejoong, tapi sebaliknya, malah
mengundang tawa renyah dari Jaejoong. Setelahnya pun, Changmin menyerah dan
ikut tertawa juga.
‘Kebenaran pasti akan
terungkap. Dan skandal itu bukan kebenaran yang sesungguhnya ‘kan, hyung,’ batin Changmin.
* * *
Kim Jaejoong berjalan
dengan agak terhuyung dari sejak dia keluar dari mobil sampai sekarang dia
menuju apartemennya. Kesadarannya masih ada, buktinya dia masih bisa menyetir
mobil hingga sampai di rumahnya dengan selamat. Dia pun masih dapat berpikir
jernih. Matanya masih bisa melihat dengan jelas, meskipun terlihat sedikit
memerah. Itulah yang membuat Jaejoong menolak ketika Changmin menawari untuk
mengantarnya pulang.
Hanya saja kepalanya yang
terasa pening membuatnya sedikit kelimpungan. Jaejoong berjalan menuju pintu rumahnya
sambil memegangi dan sesekali mengurut pelipisnya. Rasa berdenyut yang
menyerang kepalanya terasa semakin menyakitkan. Mungkin setelah ini Jaejoong
akan langsung tidur saja.
Setelah memasukkan
kombinasi angka sebagai password pengaman
rumahnya, Jaejoong meraih gagang pintu dan membukanya. Lampu depan otomatis
menyala begitu Jaejoong masuk. Dilepasnya sepatu dan diletakkannya asal. Dia
akan merapikannya besok pagi, bukan sekarang. Yang penting sekarang adalah
tidur dan istirahat, begitu pikir Jaejoong.
Jaejoong berjalan masuk ke
dalam dan langsung disambut suasana yang gelap, sementara lampu depan mati
beberapa detik kemudian. Dengan sisa-sisa tenaganya dan dengan langkah
terseret, Jaejoong berjalan menuju dapur. Dia hendak minum segelas air dulu
sebelum pergi ke kamarnya lalu tidur.
Dapurnya gelap, tentu
saja. Meski begitu, Jaejoong sama sekali tidak berniat untuk menyalakan lampu.
Cahaya remang-remang dari jendela sudah cukup untuk penerangan. Toh Jaejoong
hafal letak apa-apa di rumahnya, jadi gelap bukanlah masalah.
Jaejoong membuka lemari
esnya dan mengambil sebotol air mineral. Dituangnya air dalam botol tersebut ke
gelas yang Jaejoong ambil dari atas meja. Ditegaknya air mineral dingin itu yang
kini membasahi tenggorokannya yang kering. Setelahnya, Jaejoong meletakkan
botol air mineral itu kembali ke dalam lemari es dan gelas ke tempat cuci
piring.
Jaejoong kembali
melangkahkan kakinya menembus kegelapan. Tujuanya sekarang hanya satu, tempat
tidur. Langkahnya terasa semakin berat saja, seiring dengan pusing di kepalanya
yang semakin terasa, membuat jemarinya memijit pelipis dengan lebih kuat.
Beberapa kali Jaejoong menghela napas dan mendesis menahan sakit di kepala.
“Jaejoong,” sebuah suara
membuat Jaejoong yang baru saja menjejakkan kakinya di pijakan tangga pertama
berhenti.
Alisnya bertaut , membuat
keningnya berkerut dalam. Di tengah keremangan, Jaejoong berusaha mencari sosok
pemilik sumber suara yang sepertinya berdiri tak jauh darinya. Suaranya berasal
dari atas, berarti sosok itu sedang berdiri di atas tangga. Jaejoong menajamkan
matanya, berusaha melihat siapa yang ada di apartemennya malam-malam begini.
Suaranya tidak asing. Suara yeoja,
jadi itu tidak mungkin Yunho.
Yunho? Jaejoong
mengharapkan itu Yunho yang ada di apartemennya?
Jaejoong masih diam di
tempatnya berdiri ketika suara derap langkah yang terdengar mendekat ke
arahnya. Perlahan sosok itu semakin jelas. Dan Jaejoong mengenali sosok pemilik
suara lembut itu ketika suara derap langkah berhenti. Sosok itu kini berdiri
tepat di hadapannya.
“Aigoo, kenapa jam segini baru pulang?” kata orang itu lagi. Tak
salah lagi, Jaejoong yakin siapa pemilik suara yang sangat akrab di telinganya
itu.
“Umma,” sahut Jaejoong. Matanya mengerjap beberapa kali menatap
sosok yeoja berumur setengah abad
yang sudah lama dirindukannya.
Sudah lama Jaejoong tidak
pulang ke rumah, membuat Jaejoong terkadang terkena homesick akut. Tapi apa daya, selalu ada saja kesibukan yang
membuat rencana Jaejoong menemui ibunya gagal. Dan belakangan ini, kasus
skandal itu membuatnya makin tak bisa bertemu ibunya. Dia tidak ingin
melibatkan ibunya dalam hal seperti itu.
“Mian, Joongie-ah, umma kemari tidak memberi tahu kamu
dulu. Beberapa waktu belakangan ini umma
lihat di televisi, kau terlihat makin kurus saja. Kau juga semakin jarang
menghubungi umma. Karena khawatir,
akhirnya umma memutuskan untuk pergi
kemari dan menjengukmu,” kata umma
sambil menatap anak kesayangannya dengan tatapan lembut, “Umma sangat merindukanmu, Joongie-ah,” tambahnya, lalu memeluk Jaejoong.
Jaejoong hanya diam dan
membiarkan umma membawanya ke dalam
pelukan. Dia juga sangat merindukan umma.
Dia merindukan pelukan hangat ini. Dia merindukan masakan lezat umma. Dia merindukan umma, dongsaengie, dan juga rumahnya.
“Aku juga sangat
merindukan, umma,” ujar Jaejoong
sambil balas memeluk umma-nya
erat-erat.
Nyonya Kim melepaskan pelukannya beberapa menit
kemudian. Kedua telapak tangannya yang sudah mulai keriput menangkup wajah
Jaejoong, sambil ditatapnya Jaejoong lekat.
“Benar ‘kan, kamu semakin
kurus. Apa kau makan dengan baik, Joongie?” tanya Nyonya Kim begitu telapak
tangannya merasakan wajah anaknya yang semakin tirus, “Dan lagi, mulutmu bau
alkohol, Joongie-ah. Kau habis minum soju, hng?” imbuhnya cepat ketika
hidungnya mencium aroma alkohol yang menguar dari Jaejoong.
Jaejoong tidak menjawab,
tidak mengiyakan tapi juga tidak membantah. Dia hanya meringis lalu tertawa
pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jaejoong mendadak jadi
salah tingkah sendiri.
Nyonya Kim hanya menghela
napas pelan lalu berkata, “Umma tidak
melarangmu minum, tapi kau juga harus memperhatikan kondisi tubuhmu. Jangan
terlalu banyak minum, Joongie-ah,
lambungmu itu ‘kan sensitif.”
“Iya, umma, aku ingat kok,” sahut Jaejoong apa adanya. Memang sejak kecil
lambungnya sudah sensitif, maka dari itulah Jaejoong benar-benar harus mengatur
pola makan dan juga pola hidupnya.
“Lalu kau sudah makan
malam belum?”
“Eum…” Jaejoong terdiam
sejenak, “Belum, umma,’ akunya jujur
dengan nada pelan.
“Haish, kau ini,” desis Nyonya
Kim kesal, “Ya sudah umma buatkan
sesuatu ya,” kata umma, kemudian
hendak melangkah ke dapur.
“Eh, tidak perlu, umma,” tandas Jaejoong cepat sembari menahan
lengan Nyonya Kim.
“Waeyo? Kau ‘kan belum makan, Joongie, nanti kau sakit bagaimana?”
“Tidak, umma. Aku baik-baik saja. Lagipula tadi
aku sudah makan sedikit kok. Umma
tidak perlu khawatir,” sahut Jaejoong, dengan nada yang dibuat semeyakinkan
mungkin.
Jaejoong memang sedang
tidak napsu makan. Dia juga tidak ingin merepotkan umma-nya tengah malam begini. Ditambah lagi, makan saat malam hari
bisa membuat berat badannya bertambah, bukan?
“Hm…” Nyonya Kim hanya
menggumam samar, sambil memperhatikan Jaejoong.
“Daripada umma repot-repot memasak buatku, lebih
baik…” Jaejoong tidak menyelesaikan kalimatnya.
Segera dipegangnya
pergelangan tangan Nyonya Kim lalu mengajaknya ke ruang tengah. Jaejoong
mendudukkan Nyonya Kim di salah satu sofa panjang yang ada di ruang itu, lalu
Jaejoong ikut duduk di sampingnya. Nyonya Kim yang tidak tahu maksud Jaejoong
hanya menurut saja. Dilihatnya Jaejoong tersenyum ke arahnya, sebelum kemudian
Jaejoong membaringkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya ke pangkuan Nyonya Kim.
Jaejoong bergerak-gerak sambil mencari posisi yang nyaman, meninggalkan sang Nyonya
Kim yang hanya menatap bingung dan penuh tanya.
“Nah, begini terasa
nyaman,” gumam Jaejoong sembari memejamkan kedua kelopak matanya.
Jaejoong sangat merindukan
momen-momen berdua dengan ibunya, seperti saat ini. Dan bisa tidur di pangkuan umma adalah hal yang paling menyenangkan
yang masih sering Jaejoong lakukan meski umurnya sudah lebih dari 20 tahun.
Jaejoong sangat suka kalau bisa bermanja-manja dengan umma-nya seperti ini.
Sementara Nyonya Kim yang
melihat tingkah Jaejoong, hanya tersenyum geli. Anaknya ini memang tidak
berubah sejak dulu. Kebiasaannya pun masih sama, meski dia sudah beranjak
dewasa. Tangan Nyonya Kim kemudian bergerak dan mulai mengusap-usap kepala
Jaejoong dengan sayang. Dan Jaejoong tersenyum senang begitu merasakan tangan Nyonya
Kim yang mengusapnya dengan lembut. Perlahan, pening di kepalanya mulai
menghilang sedikit demi sedikit dan Jaejoong merasa lebih baik sekarang.
Lama sepasang ibu-anak ini
hanya terdiam. Keduanya hanya saling meresapi keberadaan satu sama lain.
Suasana yang tenang dan nyaman ini membuat keduanya larut dalam keheningan.
“Umma,” panggil Jaejoong kemudian, memecah kesunyian.
“Hm?”
“Maafkan aku,” kata
Jaejoong dengan suara lirih.
“Eh?” Nyonya Kim terkejut
mendengar anaknya yang tiba-tiba meminta maaf itu. Maaf untuk apa?
Jaejoong perlahan membuka
matanya. Doe eyesnya menatap Nyonya
Kim yang juga sedang menatap ke
arahnya. Meski ruangan dalam keadaan gelap, tapi sinar bulan yang masuk melalui
beranda dan jendela besar yang ada di ruangan itu cukup untuk membuat Jaejoong
bisa menatap Nyonya Kim lekat-lekat dan membaca raut ekspresi wanita itu.
“Apa yang harus kulakukan,
umma?” tanya Jaejoong lirih. Nada
suaranya bergetar dan terdengar putus asa, membuat Nyonya Kim menatap khawatir.
Tapi sekalipun khawatir
dan belum bisa membaca situasi, Nyonya Kim tahu dia hanya perlu memberikan
waktu untuk Jaejoong melanjutkan kata-katanya. Yang dilakukannya sekarang hanya
mengelus kepala Jaejoong lembut sambil menatapnya dengan tatapan penuh kasih
sayang.
Jaejoong terdiam. Matanya
dan mata Nyonya Kim saling menatap, tanpa ada kata yang keluar dari mulut
mereka masing-masing. Dan Jaejoong semakin tenggelam dalam kekalutannya.
Matanya memanas dan dadanya terasa makin sesak, seolah sesuatu dari dalam
dirinya siap meledak kapan saja.
Tidak bisa, tidak bisa
lagi lebih dari ini.
Jaejoong membangkitkan
tubuhnya, duduk di samping Nyonya Kim. Punggungnya dia sandarkan ke sofa dan
matanya menatap lurus ke depan, menatap berkas-berkas cahaya bulan berwarna
keperakkan yang menembus jendela.
“Aku sudah menyakiti
semuanya. Aku… sudah menyakiti Yunho. Apa yang harus kulakukan?” kata Jaejoong
dengan suara bergetar.
Air matanya mulai menetes
turun membasahi wajahnya. Jaejoong menarik kedua kakinya dan menekuk kedua
lututnya di depan dada. Dibenamkannya kepalanya dalam-dalam dan mulai terisak
di sana.
Nyonya Kim yang melihat
Jaejoong mulai menangis segera meraih tubuh Jaejoong ke dalam rangkulannya. Tangan
Nyonya Kim melingkar erat di tubuh Jaejoong yang kini bergetar. Telapak
tangannya pun sesekali mengusap-usap punggung dan kepala anaknya, berusaha
menenangkan. Hatinya ikut sakit melihat anak kesayangannya menangis sampai
seperti ini.
Wanita yang sudah lama
hidup sendiri ini tahu benar kalau Jaejoong jarang sekali menangis, bisa
dibilang hampir tidak pernah. Sepengetahuannya, Jaejoong terakhir kali menangis
saat suaminya sekaligus ayah Jaejoong meninggal. Setelah itu, yang ada di
matanya adalah sosok Jaejoong yang berusaha untuk kuat dan tegar.
“Ssshh, sudah Joongie,
tidak apa-apa,” ujar Nyonya Kim, menenangkan Jaejoong.
“Semua orang pasti kecewa
padaku. Semuanya. Dan Yunho pasti sangat membenciku sekarang,” kata Jaejoong,
suaranya mulai terdengar serak, “Aku bukan siapa-siapa agi. Aku tidak berguna
lagi. Aku hanya menyusahkan orang lain saja,” suara isakan Jaejoong terdengar
makin jelas.
“Ssshh, jangan bicara
seperti itu, Joongie-ah.”
“Tapi memang begitu
kenyataannya, umma,” tandas Jaejoong
cepat.
“Kim Jaejoong tetap anak umma yang paling umma sayangi, anak yang paling umma
banggakan, anak umma yang paling
berharga. Itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun, Joongie,” sahut Nyonya
Kim dengan nada lembut.
“Tapi itu tidak akan merubah apa pun, umma.”
Nyonya Kim menarik napas
dalam-dalam. Dia kemudian melepaskan pelukannya. Digesernya tubuh Jaejoong agar
menghadap ke arahnya. Telapak tangannya menangkup wajah Jaejoong yang masih
menunduk dalam dan mengangkatnya, membuat mata mereka berdua bertemu. Kedua ibu
jarinya mengusap air mata yang membasahi pipi Jaejoong. Kemudian kedua
tangannya memegang kedua bahu Jaejoong erat-erat.
“Jae, hidup itu tidak
selamanya berjalan sesuai dengan keinginan kita. Ada kalanya kita akan merasa
‘Kenapa seperti ini?’, ‘Mengapa hal ini terjadi padaku?’, ‘Kenapa harus aku?’.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kadang memenuhi benak kita. Itu wajar,
sayang,”
Isakan Jaejoong mulai
mereda. Matanya yang memerah menatap Nyonya Kim lekat-lekat dan menyimak dengan
baik setiap perkataan yang dilontarkan wanita paruh baya tersebut.
“Saat hal seperti itu
terjadi, yang perlu kau lakukan adalah percaya. Percayalah, semua ini terjadi
bukan untuk menjatuhkanmu atau menyakitimu, melainkan agar kamu bisa semakin
kuat menjalani kehidupan di dunia yang makin keras ini, Jae. Dan yakinlah, kamu
tangguh dan pasti bisa melewatinya. Yakinlah, kalau ada sesuatu yang lebih
indah menantimu di balik semua ini.”
Suara Nyonya Kim mulai
bergetar. Tapi dia meneguhkan hatinya untuk tidak membiarkan air matanya jatuh.
Dia harus kuat sekarang. Dia harus kuat untuk bisa mengangkat Jaejoong kembali
dari keterpurukannya.
“Jangan menyerah begitu
saja pada keadaan, Jae. Terkadang keadaan mendesak kita agar kita bisa
mengeluarkan segenap kemampuan kita. Terkadang keadaan yang memaksa kita untuk
lebih dan terus menjadi yang terbaik dari hari kemarin.”
“Hidup terus bergerak,
seperti roda yang terus berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Dan saat di
bawah itulah, yang harus dilakukan adalah terus bergerak, dengan sekuat tenaga,
agar kita bisa kembali ke atas. Proses menuju ke atas itulah yang membuat
pribadi kita menjadi lebih baik dan lebih kuat, Jae.”
Jaejoong masih diam. Dia
mengerti kata-kata dari ummanya. Kata-kata
itu cukup untuk membuat semangatnya mulai bangkit. Tapi yang mengganggu
pikirannya bukan hanya itu saja.
“Tapi umma… nasi sudah menjadi bubur. Semuanya… sudah terlambat,” kata
Jaejoong. Suaranya masih terdengar lemah dan bergetar.
Nyonya Kim tersenyum
menatap Jaejoong, “Tidak ada kata terlambat, Joongie sayang. Kalau nasi sudah
menjadi bubur, ya buat saja agar bubur itu terasa lebih enak daripada nasi.”
“Eh?”
“Bukankah pepatah lama
sering berkata, ‘Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali’? Masih ada
kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Jae,” ujar Nyonya Kim sembari tangannya
meremas bahu Jaejoong lembut.
“Benarkah?” tanya Jaejoong
ragu, “Benarkah aku masih bisa memperbaiki semuanya?”
“Tentu saja, sayang,”
tandas Nyonya Kim cepat, masih dengan senyuman lembut di wajahnya.
Perlahan, sorot mata
Jaejoong mulai berubah meski pemilik sepasang doe eyes itu tidak menyadarinya. Sorot mata kelam dan penuh
kepedihan yang selama ini memancar dari matanya perlahan berubah menjadi sorot
mata harapan. Nyonya Kim menyadarinya. Dan dia menghela napas lega melihat
harapan anaknya belum terhenti.
Jaejoong menundukkan
kepalanya. Berbagai pemikiran sekarang berkelebatan di benaknya. Akan tetapi
kali ini berbeda. Pikiran yang memenuhi otaknya kali ini tidak membuatnya
penat, melainkan membuatnya bersemangat. Seolah ada sinar matahari hangat yang
membuat darahnya mengalir lebih cepat dan membawa sensasi menyenangkan pada
tubuhnya.
Jaejoong mengangkat
wajahnya, kemudian tersenyum ke arah Nyonya Kim dan berkata, “Aku mengerti
sekarang. Jeongmal gomawo, umma.”
Senyum di wajah Nyonya Kim
semakin lebar, “Nah, begitu dong. Ini baru Kim Jaejoong anak umma,” katanya, diiringi dengan kekehan
pelan. Mau tak mau Jaejoong pun ikut tertawa.
Jaejoong mengerti
sekarang. Ini bukanlah saatnya menyerah dan berputus asa, apalagi hanya
menangisi keadaan. Ini bukanlah akhir dunia. Jaejoong masih bisa melakukan
sesuatu, dan dia tahu benar dia harus melakukannya.
* * *
-to be continued-
0 komentar:
Posting Komentar