31 Desember 2013

SKANDAL - Chapter 7

SKANDAL
Chapter 7

-xxx-

Jaejoong mengajak Changmin ke sebuah tempat yang sudah lama jadi langganannya sejak dia debut. Meskipun kecil, tapi tempat ini terasa nyaman. Dia suka minum di tempat ini dan sering kali dia pergi berdua bersama Junsu. Tempat ini tidak terlalu ramai, kebanyakan pelanggannya orang-orang kantoran berumur sekitar 30-an. Dan Jaejoong merasa tidka perlu khawatir ada yang mengenalinya di sini. Sekalipun ada yang mengenalinya, pasti orang itu bukanlah fansnya dan cenderung acuh terhadapnya. Itu sangat melegakan bagi Jaejoong, mengingat tidak banyak tempat yang bisa Jaejoong datangi dengan mudah tanpa penyamaran.
Pemiliknya, seorang pria berusia 60 tahun dan istrinya yang masih terlihat cantik di usianya sekarang, sangat ramah dan baik. Sepasang suami istri itu bahkan tahu Kim Jaejoong adalah seorang penyanyi terkenal, tapi hal itu tidak membuat mereka berubah sikap apalagi mengistimewakan Jaejoong. Mereka memperlakukan Jaejoong sama seperti pelanggan lainnya, dan mereka memberikan Jaejoong privasi dengan tidak melakukan hal-hal yang biasa dilakukan seorang fans minta foto, minta tanda tangan,  menyentuh bagian tubuhnya, dan menanyakan hal ini-itu. Itulah yang membuatnya merasa nyaman.
            Jaejoong mengajak Changmin masuk ke kedai itu begitu mereka berdua memarkirkan mobil masing-masing. Jaejoong menggeser pintu kedai dan masuk dengan sedikit membungkuk.
            “Selamat datang,” seru si pemilik kedai dengan ramah begitu menyadari ada pelanggan yang datang.
            Jaejoong masuk ke dalam diikuti dengan Changmin di belakangnya. Tampak olehnya ada 3 orang pria paruh baya orang selain dirinya dan Changmin, sementara si pemilik kedai terlihat sedang membersihkan beberapa meja.
            “Annyeong, ahjusshi,” sapa Jaejoong.
            Si pemilik kedai yang bernama Kang Jangwoo menoleh dan langsung tersenyum sumringah melihat kedatangan Jaejoong, “Rupanya kau, Joongie,’ katanya sambil membersihkan kedua tangannya dengan celemek yang ada di pinggang, “Sudah lama kau tidak kemari.”
            “Ah ye, kemarin aku sibuk jadi tidak sempat mampir kemari. Ahjusshi merindukanku, ya?” canda Jaejoong. Dia memang suka sesekali bercanda dengan Tuan Kang, menurutnya Tuan Kang itu memiliki selera humor yang cukup bagus.
            “Aish, kau ini bisa saja,” sahut Tuan Kang lalu tertawa kecil, “Ayo silahkan duduk,” tambahnya.
            “Ne, ahjusshi,” kata Jaejoong, lalu mengambil tempat duduk di tengah belakang. Tempat ini selalu jadi tempat favoritnya.
            Changmin mengikuti Jaejoong dan duduk di seberang namja itu. Matanya menatap sekeliling kedai itu. Sederhana tapi terkesan hangat, suasananya pun begitu nyaman, begitulah kesan pertama Changmin begitu masuk ke tempat ini.
            Tuan Kang menghilang di balik dapur sederhananya dan muncul kembali sembari membawa 2 gelas air dan meletakkannya di meja mereka.
            “Tumben sekali kau kemari membawa teman, Joongie-ah,” ujar Tuan Kang, “Junsu tidak ikut?” tanyanya kemudian.
            “Tidak, ahjusshi, Junsu hyung sedang sibuk,” jawab Jaejoong, “Dan ini Shim Changmin,” lanjutnya, memperkenalkan Changmin.
            Changmin segera menundukkan kepalanya ke arah Tuan Kang dan memberi salam, “Annyeonghaseo.”
            “Annyeonghaseo,” balas Tuan Kang sembari sedikit menunduk.
            Tuan Kang memperhatikan Changmin untuk beberapa detik sebelum kemudian berkata, “Sepertinya wajahmu tidak asing,” ujarnya sambil berusaha mengingat-ingat pemilik wajah tampan itu.
            “Ah sudahlah ahjusshi, jangan menatapnya seperti itu.”
            “Baiklah, baiklah,” Tuan Kang menyerah untuk mengingat-ingat, memorinya diumur yang sekarang memang tidak lagi sama seperti saat dia muda dulu, “Mau pesan apa, Joongie-ah?”
            “Seperti biasa saja, ahjusshi.”
            “Baik, tunggu sebentar ya,” ucap Tuan Kang lalu berlalu ke dapurnya.
            Changmin menatap punggung Tuan Kang hingga menghilang di balik dapur, lalu menatap Jaejoong, “Hyung sering kemari ya?” tanyanya.
            “Eum,” sahut Jaejoong sembari mengangguk, lalu menegak airnya.
            “Tempat ini enak juga,” gumam Changmin sambil mengedarkan pandangannya.
            “Setuju,” tandas Jaejoong cepat dan bersemangat, “Tempat ini memang nyaman. Pemiliknya ramah. Dan lagi kita tidak perlu menyamar kalau datang kemari.”
            Changmin mengangguk-angguk setuju. Beberapa menit kemudian, Tuan Kang kembali sambil membawa nampan di tangannya dan menghampiri meja mereka. Tuan Kang meletakkan beberapa botol soju, 2 buah gelas, dan beberapa piring camilan beserta sumpit.
            “Silahkan,” ujar Tuan Kang sambil tersenyum ramah.
            “Gomawo, ahjusshi,” sahut Jaejoong.
            Tuan Kang membungkuk sekilas lalu pergi dan meninggalkan kedua namja ini. Jaejoong lalu meraih sebotol soju dan segera menuangkannya ke dalam gelas Changmin. Changmin yang kaget melihat tindakan Jaejoong, menyodorkan gelasnya lalu ganti mengisi gelas Jaejoong dengan soju. Jaejoong tersenyum samar lalu mengangkat gelasnya dan bersulang dengan Changmin.
            Baik Jaejoong maupun Changmin, langsung menegak habis segelas soju itu. Berikutnya dan berikutnya, keduanya kembali mengisi penuh gelas mereka dan menegaknya.
            “Haahh,” desis Jaejoong saat merasakan minuman khas Korea itu melewati tenggorokannya dan membawa sensasi hangat dan menyenangkan. Setelahnya, dia meraih sumpit dan mulai memasukkan camilan ke dalam mulutnya.
            Kedua namja tampan seprofesi ini terdiam cukup lama. Masing-masing sibuk dengan pikiran dan euforianya. Hanya suara denting gelas yang beradu dan suara air yang menggelegak yang mengisi keheningan di antara mereka.
            Sementara di kejauhan tampak Tuan Kang yang tengah memperhatikan mereka, dengan yakin menarik sebuah kesimpulan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa yang sedang terjadi dan hal itulah yang membuat mereka tenggelam dalam kesunyian tanpa obrolan. Anak muda zaman sekarang memang sering terlihat banyak pikiran dan terkadang itu sebenarnya tidak cocok dengan usia mereka, begitu pikir Tuan Kang.
            “Hyung,” panggil Changmin, mencoba memulai pembicaraan.
            Jaejoong hanya mendongakkan kepalanya dan menatap Changmin sekilas dengan pandangan bertanya.
            “Ada apa?” tanya Changmin.

            Jaejoong menelengkan kepalanya tanda tidak mengerti, “Maksudmu, Changmin-ah?”
            “Hyung tidak seperti biasanya,” ujar Changmin, “Apa terjadi sesuatu?” tanyanya lirih dan dengan hati-hati.
            Jaejoong menatap Changmin, kali ini cukup lama, sebelum kemudian seulas senyum tipis terkembang di wajahnya, “Terjadi sesuatu? Tentu saja. Bahkan terlalu banyak sesuatu yang terjadi, membuat kepalaku pusing,” sahut Jaejoong sambil kembali mengisi penuh gelasnya dengan soju dan langsung menegak habis.
            Changmin kemudian memutuskan untuk diam beberapa saat, tidak melanjutkan obrolan mereka. Changmin berusaha memberi kesempatan untuk Jaejoong supaya terbuka dan mau berbagi sedikit padanya. Changmin memberi waktu untuk Jaejoong bicara dan melanjutkan kalimatnya.
            Akan tetapi, menit demi menit yang Changmin biarkan berlalu ternyata tak membuat Jaejoong mau melanjutkan kata-katanya. Keduanya kembali tenggelam dalam diam, dan Jaejoong sibuk dengan gelas sojunya, mengisi penuh dan sesekali menggoyangkan gelasnya, memainkan air di dalamnya.
            “Hyung,” panggil Changmin lagi.
            “Hm?” Jaejoong menyahut hanya dengan sebuah gumaman.
            “Hyung pernah bilang padaku kalau kita tidak boleh menyerah dan pasrah pada keadaan begitu saja, benar ‘kan?”
            “Hmm,” Jaejoong mengangguk mengiyakan. Dia masih ingat pernha mengatakan hal itu pada Changmin saat keduanya masih dalam masa training dan belum melakukan debut.
            Changmin menghela napasnya sejenak sebelum kemudian melanjutkan kata-katanya, “Aku harap, apa pun yang dialami Jaejoong hyung saat ini, tidak membuat Jaejoong hyung menyerah dan berputus asa. Apa pun yang terjadi, hyung harus tetap penuh semangat dan selalu bermimpi sekaligus berpikir positif seperti dulu sejak pertama kali aku mengenalmu, hyung. Oke?”
            Jaejoong tersenyum menatap Changmin yang juga sedang tersenyum menyemangati ke arahnya. Ah, dari dulu sampai sekarang Changmin-nya tidak berubah, tetap saja menjadi dongsaengnya yang paling manis dan perhatian.
            Jaejoong lalu kembali menuangkan soju ke gelas Changmin, yang diikuti oleh Changmin menuangkan soju ke gelasnya dan kemudian mereka kembali bersulang dan menegak habis segelas soju itu.
            “Changmin-ah.”
            “Ne?”
            “Kenapa kau memutuskan untuk menjadi penyanyi?” tanya Jaejoong sembari menatap lurus ke dalam mata Changmin.
            “Hm waktu itu umma iseng menyuruhku untuk ikut kasting sebuah agensi pencari bakat. Karena diimingi-imingi video game terbaru, aku menurut saja. Di luar dugaan, ternyata aku lolos. Dan selanjutnya umma menyuruhku untuk serius menekuni dunia entertainment. Ya kira-kira begitulah,” kata Changmin sembari mengingat-ingat masa lalunya sebelum jadi seperti sekarang.
            “Karena umma ya…” gumam Jaejoong lirih, lalu kembali menegak soju.
            “Dulu, ayahku meninggal saat usiaku baru 9 tahun. Sejak saat itu, umma-lah yang harus memikul ekonomi keluarga. Umma bekerja keras demi menghidupi kami, aku dan kedua adikku. Melihat itu, aku memendam keinginan untuk membantu umma mencari uang. Aku bekerja sambilan dimana-mana, sebelum dan setelah sekolah. Sampai suatu ketika, terlintas di benakku untuk menjadi artis yang bisa menghasilkan banyak uang.
            “Pergi sendiri ke Seoul, mencoba peruntungan di audisi. Sampai beberapa waktu lalu, aku pikir Tuhan sangat baik padaku, aku bisa seberuntung ini untuk sampai ke titik sekarang ini. Bisa debut, jadi terkenal, dan bisa membantu umma menghidupi dongsaengie sehingga umma tak perlu lagi kerja siang-malam. Aku pikir semuanya akan terus berjalan baik seperti itu. Tapi tak kusangka, ternyata menjadi penyanyi terkenal bisa begini menyakitkan.”
            Changmin hanya diam, membiarkan Jaejoong menumpahkan segala yang mengganjal dalam hati. Matanya sesekali menatap Jaejoong lekat, membuatnya ikut terlarut dalam perasaan Jaejoong sekarang. Sedikit banyak Changmin bisa mengerti apa yang dirasakan hyung-nya itu sekarang.
            “Tidak. Bukan. Bukan aku yang tersakiti, tapi aku yang menyakiti orang lain,” kata Jaejoong lagi. Dia lalu membenamkan kepalanya ke dalam kedua tangannya yang terlipat di atas meja sambil menarik napas kuat-kuat.
            Sayup-sayup Changmin dapat mendengar suara isakan Jaejoong. Dan dia tidak tahu harus berbuat apa selain menepuk-nepuk pundak Jaejoong.
            Jaejoong sadar dirinya tidak tahan lagi dan mulai terisak. Dia benci menangis. Menurutnya, namja harusnya tidak boleh semudah ini meneteskan air mata. Tapi apa daya, dadanya terasa sesak sekarang. Semua kejadian yang terjadi setelah skandalnya mencuat terus berkelebatan di benaknya, membuat perasaannya bercampur aduk tak karuan.
            “Kau jangan sepertiku, Changmin-ah,” ujar Jaejoong lirih sambil mengangkat kepalanya, setelah dirinya sedikit tenang dan bisa mengendalikan emosinya.
            Changmin sedari tadi masih diam, memberikan Jaejoong kesempatan untuk bicara. Dilihatnya Jaejoong yang kembali menuangkan soju dan langsung menegaknya habis.
            “Lakukanlah apa yang menurutmu benar untuk kau lakukan, jangan lakukan apa yang harus kau lakukan. Percayalah pada dirimu sendiri. Yakin kau bisa melakukan apa pun dengan dirimu yang sebagai dirimu sendiri, bukan sebagai dirimu di mata orang lain.”
            Changmin secara refleks mengangguk. Dia mengerti maksud Jaejoong. Dan dia bisa mengerti keadaan Jaejoong sekarang.
            “Kau masih muda, masih banyak hal yang bisa kau lakukan dan bisa kau capai. Tetapi jangan kau jadikan itu sebagai ambisi, jadikan itu sebagai mimpi. Mimpi indah yang harus kau buat jadi kenyataan,” kata Jaejoong.
            Jaejoong mengangkat wajahnya dan menatap Changmin, lalu tersenyum samar. Dan Changmin balas menatapnya dengan ekspresi yang Jaejoong sendiri tak tahu bagaimana harus menginterpretasikannya.
            “Jangan sampai kau menyesal, Changmin-ah. Pikirkan baik-baik sebelum kau mengambil suatu langkah. Sekali kau mulai berjalan, belum tentu ada kesempatan kedua untuk berbalik dan memulainya dari awal,” ujar Jaejoong sembari menuangkan soju ke gelas Changmin, “Arraseo?”
            Changmin hanya mengangguk cepat sebagai jawaban, lalu segera mengisi penuh gelas Jaejoong dengan soju.
            Jaejoong tertawa pelan lalu berkata dengan nada riang, “Ayo bersulang.”
            Terdengarlah bunyi denting dari dua gelas yang saling beradu. Baik Jaejoong maupun Changmin, langsung menegak habis dalam sekali teguk dan kemudian terdengar suara gelas yang beradu dengan meja.
            “Mianhe, Changmin-ah. Aku jadi bicara yang tidak-tidak kepadamu,” ujar Jaejoong sebelum kemudian mengisi penuh mulutnya dengan camilan.
            “Ani, hyung. Gwaenchana. Aku justru senang kalau bisa membantu Jaejoong hyung meski hanya dengan menjadi pendengar yang baik,” sahut Changmin dan mulai melahap camilan mereka, mengikuti Jaejoong yang kini tengah sibuk mengunyah.
            “Gomawo,” tandas Jaejoong dengan sebuah senyuman di wajahnya.
            “Harusnya aku yang berterima kasih karena sudah kau traktir, hyung,” canda Changmin, membuat keduanya tertawa pelan.
            Kedua namja ini kembali terdiam untuk beberapa menit. Changmin sendiri bingung harus mulai mengangkat pembicaraan darimana untuk mencairkan suasana.
            “Hidup itu tidak mudah,” kata Jaejoong, membuyarkan lamunan Changmin.
Jaejoong lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Changmin, memegang kedua bahu Changmin, dan menatapnya lekat-lekat, “Pokoknya, apa pun yang terjadi, seorang Shim Changmin tidak boleh putus asa. Semangat terus. Oke?” katanya dengan nada serius yang tegas.
            Changmin mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, bingung melihat tindakan Jaejoong, sebelum kemudian menjawab singkat dengan anggukan tegas, “Eum.”
            Selanjutnya Jaejoong hanya tersenyum lebar, lalu menepuk pundak Changmin keras-keras sebelum kemudian kembali ke posisi duduknya semula dan menyandarkan punggungnya ke kursi.
            Changmin masih mengerjap-ngerjapkan matanya sambil berusaha mencerna apa yang tadi dikatakan Jaejoong.
            “Hyung,” panggil Changmin cepat, membuat Jaejoong menatapnya heran.
            “Soal skandal itu…” Changmin mengambil jeda beberapa saat sambil mencari kata-kata yang tepat, “tidak usah terlalu kau pikirkan,” lanjutnya.
            “Hm?” Jaejoong masih belum menangkap apa yang dimaksud oleh Changmin.
            “Artis dan skandal memang dua hal yang saling terkait, ‘kan? Jadi sebenarnya ini wajar saja. Tinggal bagaimana masing-masing menanggapinya.”
            Jaejoong mengangguk-angguk setuju.
            “Masih banyak fans, sahabat, rekan, dan keluarga yang ada di sisi hyung. Aku yakin mereka menaruh kepercayaan sepenuhnya pada hyung, bukan pada infotainment. Jadi jangan pernah sekalipun merasa tidak berguna apalagi tidak berarti. Mereka tidak meninggalkanmu sendiri, semua ada di belakangmu untuk mendukung sekaligus menopangmu, hyung. Bersandarlah sedikit dan percayalah.”
            Jaejoong seketika tersenyum mendengar perkataan Changmin. Meski singkat, tapi itu cukup untuk menguatkannya dan membuat perasaannya jadi lebih baik, terasa lebih hangat dan lega. Beban pikiran sepertinya muali terangkat sedikit demi sedikit, berkat orang-orang di sekelilingnya. Semangatnya mulai ada, dan asanya mulai memenuhi benaknya.
            “Aigoo, Changminnie, kau semakin dewasa saja ya,” ujar Jaejoong sambil menepuk-nepuk dan mengusap kepala Changmin, membuat namja yang lebih muda darinya itu mengerang protes karena Jaejoong membuat rambutnya berantakan.
            Changmin pura-pura cemberut dan memasang ekspresi sebal ke arah Jaejoong, tapi sebaliknya, malah mengundang tawa renyah dari Jaejoong. Setelahnya pun, Changmin menyerah dan ikut tertawa juga.
            ‘Kebenaran pasti akan terungkap. Dan skandal itu bukan kebenaran yang sesungguhnya ‘kan, hyung,’ batin Changmin.
*          *          *
            Kim Jaejoong berjalan dengan agak terhuyung dari sejak dia keluar dari mobil sampai sekarang dia menuju apartemennya. Kesadarannya masih ada, buktinya dia masih bisa menyetir mobil hingga sampai di rumahnya dengan selamat. Dia pun masih dapat berpikir jernih. Matanya masih bisa melihat dengan jelas, meskipun terlihat sedikit memerah. Itulah yang membuat Jaejoong menolak ketika Changmin menawari untuk mengantarnya pulang.
            Hanya saja kepalanya yang terasa pening membuatnya sedikit kelimpungan. Jaejoong berjalan menuju pintu rumahnya sambil memegangi dan sesekali mengurut pelipisnya. Rasa berdenyut yang menyerang kepalanya terasa semakin menyakitkan. Mungkin setelah ini Jaejoong akan langsung tidur saja.
            Setelah memasukkan kombinasi angka sebagai password pengaman rumahnya, Jaejoong meraih gagang pintu dan membukanya. Lampu depan otomatis menyala begitu Jaejoong masuk. Dilepasnya sepatu dan diletakkannya asal. Dia akan merapikannya besok pagi, bukan sekarang. Yang penting sekarang adalah tidur dan istirahat, begitu pikir Jaejoong.
            Jaejoong berjalan masuk ke dalam dan langsung disambut suasana yang gelap, sementara lampu depan mati beberapa detik kemudian. Dengan sisa-sisa tenaganya dan dengan langkah terseret, Jaejoong berjalan menuju dapur. Dia hendak minum segelas air dulu sebelum pergi ke kamarnya lalu tidur.
            Dapurnya gelap, tentu saja. Meski begitu, Jaejoong sama sekali tidak berniat untuk menyalakan lampu. Cahaya remang-remang dari jendela sudah cukup untuk penerangan. Toh Jaejoong hafal letak apa-apa di rumahnya, jadi gelap bukanlah masalah.
            Jaejoong membuka lemari esnya dan mengambil sebotol air mineral. Dituangnya air dalam botol tersebut ke gelas yang Jaejoong ambil dari atas meja. Ditegaknya air mineral dingin itu yang kini membasahi tenggorokannya yang kering. Setelahnya, Jaejoong meletakkan botol air mineral itu kembali ke dalam lemari es dan gelas ke tempat cuci piring.
            Jaejoong kembali melangkahkan kakinya menembus kegelapan. Tujuanya sekarang hanya satu, tempat tidur. Langkahnya terasa semakin berat saja, seiring dengan pusing di kepalanya yang semakin terasa, membuat jemarinya memijit pelipis dengan lebih kuat. Beberapa kali Jaejoong menghela napas dan mendesis menahan sakit di kepala.
            “Jaejoong,” sebuah suara membuat Jaejoong yang baru saja menjejakkan kakinya di pijakan tangga pertama berhenti.
            Alisnya bertaut , membuat keningnya berkerut dalam. Di tengah keremangan, Jaejoong berusaha mencari sosok pemilik sumber suara yang sepertinya berdiri tak jauh darinya. Suaranya berasal dari atas, berarti sosok itu sedang berdiri di atas tangga. Jaejoong menajamkan matanya, berusaha melihat siapa yang ada di apartemennya malam-malam begini. Suaranya tidak asing. Suara yeoja, jadi itu tidak mungkin Yunho.
            Yunho? Jaejoong mengharapkan itu Yunho yang ada di apartemennya?
            Jaejoong masih diam di tempatnya berdiri ketika suara derap langkah yang terdengar mendekat ke arahnya. Perlahan sosok itu semakin jelas. Dan Jaejoong mengenali sosok pemilik suara lembut itu ketika suara derap langkah berhenti. Sosok itu kini berdiri tepat di hadapannya.
            “Aigoo, kenapa jam segini baru pulang?” kata orang itu lagi. Tak salah lagi, Jaejoong yakin siapa pemilik suara yang sangat akrab di telinganya itu.
            “Umma,” sahut Jaejoong. Matanya mengerjap beberapa kali menatap sosok yeoja berumur setengah abad yang sudah lama dirindukannya.
            Sudah lama Jaejoong tidak pulang ke rumah, membuat Jaejoong terkadang terkena homesick akut. Tapi apa daya, selalu ada saja kesibukan yang membuat rencana Jaejoong menemui ibunya gagal. Dan belakangan ini, kasus skandal itu membuatnya makin tak bisa bertemu ibunya. Dia tidak ingin melibatkan ibunya dalam hal seperti itu.
            “Mian, Joongie-ah, umma kemari tidak memberi tahu kamu dulu. Beberapa waktu belakangan ini umma lihat di televisi, kau terlihat makin kurus saja. Kau juga semakin jarang menghubungi umma. Karena khawatir, akhirnya umma memutuskan untuk pergi kemari dan menjengukmu,” kata umma sambil menatap anak kesayangannya dengan tatapan lembut, “Umma sangat merindukanmu, Joongie-ah,” tambahnya, lalu memeluk Jaejoong.
            Jaejoong hanya diam dan membiarkan umma membawanya ke dalam pelukan. Dia juga sangat merindukan umma. Dia merindukan pelukan hangat ini. Dia merindukan masakan lezat umma. Dia merindukan umma, dongsaengie, dan juga rumahnya.
            “Aku juga sangat merindukan, umma,” ujar Jaejoong sambil balas memeluk umma-nya erat-erat.
            Nyonya Kim melepaskan pelukannya beberapa menit kemudian. Kedua telapak tangannya yang sudah mulai keriput menangkup wajah Jaejoong, sambil ditatapnya Jaejoong lekat.
            “Benar ‘kan, kamu semakin kurus. Apa kau makan dengan baik, Joongie?” tanya Nyonya Kim begitu telapak tangannya merasakan wajah anaknya yang semakin tirus, “Dan lagi, mulutmu bau alkohol, Joongie-ah. Kau habis minum soju, hng?” imbuhnya cepat ketika hidungnya mencium aroma alkohol yang menguar dari Jaejoong.
            Jaejoong tidak menjawab, tidak mengiyakan tapi juga tidak membantah. Dia hanya meringis lalu tertawa pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jaejoong mendadak jadi salah tingkah sendiri.
            Nyonya Kim hanya menghela napas pelan lalu berkata, “Umma tidak melarangmu minum, tapi kau juga harus memperhatikan kondisi tubuhmu. Jangan terlalu banyak minum, Joongie-ah, lambungmu itu ‘kan sensitif.”
            “Iya, umma, aku ingat kok,” sahut Jaejoong apa adanya. Memang sejak kecil lambungnya sudah sensitif, maka dari itulah Jaejoong benar-benar harus mengatur pola makan dan juga pola hidupnya.
            “Lalu kau sudah makan malam belum?”
            “Eum…” Jaejoong terdiam sejenak, “Belum, umma,’ akunya jujur dengan nada pelan.
            “Haish, kau ini,” desis Nyonya Kim kesal, “Ya sudah umma buatkan sesuatu ya,” kata umma, kemudian hendak melangkah ke dapur.
            “Eh, tidak perlu, umma,” tandas Jaejoong cepat sembari menahan lengan Nyonya Kim.
            “Waeyo? Kau ‘kan belum makan, Joongie, nanti kau sakit bagaimana?”
            “Tidak, umma. Aku baik-baik saja. Lagipula tadi aku sudah makan sedikit kok. Umma tidak perlu khawatir,” sahut Jaejoong, dengan nada yang dibuat semeyakinkan mungkin.
            Jaejoong memang sedang tidak napsu makan. Dia juga tidak ingin merepotkan umma-nya tengah malam begini. Ditambah lagi, makan saat malam hari bisa membuat berat badannya bertambah, bukan?
            “Hm…” Nyonya Kim hanya menggumam samar, sambil memperhatikan Jaejoong.
            “Daripada umma repot-repot memasak buatku, lebih baik…” Jaejoong tidak menyelesaikan kalimatnya.
            Segera dipegangnya pergelangan tangan Nyonya Kim lalu mengajaknya ke ruang tengah. Jaejoong mendudukkan Nyonya Kim di salah satu sofa panjang yang ada di ruang itu, lalu Jaejoong ikut duduk di sampingnya. Nyonya Kim yang tidak tahu maksud Jaejoong hanya menurut saja. Dilihatnya Jaejoong tersenyum ke arahnya, sebelum kemudian Jaejoong membaringkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya ke pangkuan Nyonya Kim. Jaejoong bergerak-gerak sambil mencari posisi yang nyaman, meninggalkan sang Nyonya Kim yang hanya menatap bingung dan penuh tanya.
            “Nah, begini terasa nyaman,” gumam Jaejoong sembari memejamkan kedua kelopak matanya.
            Jaejoong sangat merindukan momen-momen berdua dengan ibunya, seperti saat ini. Dan bisa tidur di pangkuan umma adalah hal yang paling menyenangkan yang masih sering Jaejoong lakukan meski umurnya sudah lebih dari 20 tahun. Jaejoong sangat suka kalau bisa bermanja-manja dengan umma-nya seperti ini.
            Sementara Nyonya Kim yang melihat tingkah Jaejoong, hanya tersenyum geli. Anaknya ini memang tidak berubah sejak dulu. Kebiasaannya pun masih sama, meski dia sudah beranjak dewasa. Tangan Nyonya Kim kemudian bergerak dan mulai mengusap-usap kepala Jaejoong dengan sayang. Dan Jaejoong tersenyum senang begitu merasakan tangan Nyonya Kim yang mengusapnya dengan lembut. Perlahan, pening di kepalanya mulai menghilang sedikit demi sedikit dan Jaejoong merasa lebih baik sekarang.
            Lama sepasang ibu-anak ini hanya terdiam. Keduanya hanya saling meresapi keberadaan satu sama lain. Suasana yang tenang dan nyaman ini membuat keduanya larut dalam keheningan.
            “Umma,” panggil Jaejoong kemudian, memecah kesunyian.
            “Hm?”
            “Maafkan aku,” kata Jaejoong dengan suara lirih.
            “Eh?” Nyonya Kim terkejut mendengar anaknya yang tiba-tiba meminta maaf itu. Maaf untuk apa?
            Jaejoong perlahan membuka matanya. Doe eyesnya menatap Nyonya Kim yang juga sedang menatap ke arahnya. Meski ruangan dalam keadaan gelap, tapi sinar bulan yang masuk melalui beranda dan jendela besar yang ada di ruangan itu cukup untuk membuat Jaejoong bisa menatap Nyonya Kim lekat-lekat dan membaca raut ekspresi wanita itu.
            “Apa yang harus kulakukan, umma?” tanya Jaejoong lirih. Nada suaranya bergetar dan terdengar putus asa, membuat Nyonya Kim menatap khawatir.
            Tapi sekalipun khawatir dan belum bisa membaca situasi, Nyonya Kim tahu dia hanya perlu memberikan waktu untuk Jaejoong melanjutkan kata-katanya. Yang dilakukannya sekarang hanya mengelus kepala Jaejoong lembut sambil menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang.
            Jaejoong terdiam. Matanya dan mata Nyonya Kim saling menatap, tanpa ada kata yang keluar dari mulut mereka masing-masing. Dan Jaejoong semakin tenggelam dalam kekalutannya. Matanya memanas dan dadanya terasa makin sesak, seolah sesuatu dari dalam dirinya siap meledak kapan saja.
            Tidak bisa, tidak bisa lagi lebih dari ini.
            Jaejoong membangkitkan tubuhnya, duduk di samping Nyonya Kim. Punggungnya dia sandarkan ke sofa dan matanya menatap lurus ke depan, menatap berkas-berkas cahaya bulan berwarna keperakkan yang menembus jendela.
            “Aku sudah menyakiti semuanya. Aku… sudah menyakiti Yunho. Apa yang harus kulakukan?” kata Jaejoong dengan suara bergetar.
            Air matanya mulai menetes turun membasahi wajahnya. Jaejoong menarik kedua kakinya dan menekuk kedua lututnya di depan dada. Dibenamkannya kepalanya dalam-dalam dan mulai terisak di sana.
            Nyonya Kim yang melihat Jaejoong mulai menangis segera meraih tubuh Jaejoong ke dalam rangkulannya. Tangan Nyonya Kim melingkar erat di tubuh Jaejoong yang kini bergetar. Telapak tangannya pun sesekali mengusap-usap punggung dan kepala anaknya, berusaha menenangkan. Hatinya ikut sakit melihat anak kesayangannya menangis sampai seperti ini.
            Wanita yang sudah lama hidup sendiri ini tahu benar kalau Jaejoong jarang sekali menangis, bisa dibilang hampir tidak pernah. Sepengetahuannya, Jaejoong terakhir kali menangis saat suaminya sekaligus ayah Jaejoong meninggal. Setelah itu, yang ada di matanya adalah sosok Jaejoong yang berusaha untuk kuat dan tegar.
            “Ssshh, sudah Joongie, tidak apa-apa,” ujar Nyonya Kim, menenangkan Jaejoong.
            “Semua orang pasti kecewa padaku. Semuanya. Dan Yunho pasti sangat membenciku sekarang,” kata Jaejoong, suaranya mulai terdengar serak, “Aku bukan siapa-siapa agi. Aku tidak berguna lagi. Aku hanya menyusahkan orang lain saja,” suara isakan Jaejoong terdengar makin jelas.
            “Ssshh, jangan bicara seperti itu, Joongie-ah.”
            “Tapi memang begitu kenyataannya, umma,” tandas Jaejoong cepat.
            “Kim Jaejoong tetap anak umma yang paling umma sayangi, anak yang paling umma banggakan, anak umma yang paling berharga. Itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun, Joongie,” sahut Nyonya Kim dengan nada lembut.
“Tapi itu tidak akan merubah apa pun, umma.”
            Nyonya Kim menarik napas dalam-dalam. Dia kemudian melepaskan pelukannya. Digesernya tubuh Jaejoong agar menghadap ke arahnya. Telapak tangannya menangkup wajah Jaejoong yang masih menunduk dalam dan mengangkatnya, membuat mata mereka berdua bertemu. Kedua ibu jarinya mengusap air mata yang membasahi pipi Jaejoong. Kemudian kedua tangannya memegang kedua bahu Jaejoong erat-erat.
            “Jae, hidup itu tidak selamanya berjalan sesuai dengan keinginan kita. Ada kalanya kita akan merasa ‘Kenapa seperti ini?’, ‘Mengapa hal ini terjadi padaku?’, ‘Kenapa harus aku?’. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kadang memenuhi benak kita. Itu wajar, sayang,”
            Isakan Jaejoong mulai mereda. Matanya yang memerah menatap Nyonya Kim lekat-lekat dan menyimak dengan baik setiap perkataan yang dilontarkan wanita paruh baya tersebut.
            “Saat hal seperti itu terjadi, yang perlu kau lakukan adalah percaya. Percayalah, semua ini terjadi bukan untuk menjatuhkanmu atau menyakitimu, melainkan agar kamu bisa semakin kuat menjalani kehidupan di dunia yang makin keras ini, Jae. Dan yakinlah, kamu tangguh dan pasti bisa melewatinya. Yakinlah, kalau ada sesuatu yang lebih indah menantimu di balik semua ini.”
            Suara Nyonya Kim mulai bergetar. Tapi dia meneguhkan hatinya untuk tidak membiarkan air matanya jatuh. Dia harus kuat sekarang. Dia harus kuat untuk bisa mengangkat Jaejoong kembali dari keterpurukannya.
            “Jangan menyerah begitu saja pada keadaan, Jae. Terkadang keadaan mendesak kita agar kita bisa mengeluarkan segenap kemampuan kita. Terkadang keadaan yang memaksa kita untuk lebih dan terus menjadi yang terbaik dari hari kemarin.”
            “Hidup terus bergerak, seperti roda yang terus berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Dan saat di bawah itulah, yang harus dilakukan adalah terus bergerak, dengan sekuat tenaga, agar kita bisa kembali ke atas. Proses menuju ke atas itulah yang membuat pribadi kita menjadi lebih baik dan lebih kuat, Jae.”
            Jaejoong masih diam. Dia mengerti kata-kata dari ummanya. Kata-kata itu cukup untuk membuat semangatnya mulai bangkit. Tapi yang mengganggu pikirannya bukan hanya itu saja.
            “Tapi umma… nasi sudah menjadi bubur. Semuanya… sudah terlambat,” kata Jaejoong. Suaranya masih terdengar lemah dan bergetar.
            Nyonya Kim tersenyum menatap Jaejoong, “Tidak ada kata terlambat, Joongie sayang. Kalau nasi sudah menjadi bubur, ya buat saja agar bubur itu terasa lebih enak daripada nasi.”
            “Eh?”
            “Bukankah pepatah lama sering berkata, ‘Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali’? Masih ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Jae,” ujar Nyonya Kim sembari tangannya meremas bahu Jaejoong lembut.
            “Benarkah?” tanya Jaejoong ragu, “Benarkah aku masih bisa memperbaiki semuanya?”
            “Tentu saja, sayang,” tandas Nyonya Kim cepat, masih dengan senyuman lembut di wajahnya.
            Perlahan, sorot mata Jaejoong mulai berubah meski pemilik sepasang doe eyes itu tidak menyadarinya. Sorot mata kelam dan penuh kepedihan yang selama ini memancar dari matanya perlahan berubah menjadi sorot mata harapan. Nyonya Kim menyadarinya. Dan dia menghela napas lega melihat harapan anaknya belum terhenti.
            Jaejoong menundukkan kepalanya. Berbagai pemikiran sekarang berkelebatan di benaknya. Akan tetapi kali ini berbeda. Pikiran yang memenuhi otaknya kali ini tidak membuatnya penat, melainkan membuatnya bersemangat. Seolah ada sinar matahari hangat yang membuat darahnya mengalir lebih cepat dan membawa sensasi menyenangkan pada tubuhnya.
            Jaejoong mengangkat wajahnya, kemudian tersenyum ke arah Nyonya Kim dan berkata, “Aku mengerti sekarang. Jeongmal gomawo, umma.”
            Senyum di wajah Nyonya Kim semakin lebar, “Nah, begitu dong. Ini baru Kim Jaejoong anak umma,” katanya, diiringi dengan kekehan pelan. Mau tak mau Jaejoong pun ikut tertawa.
            Jaejoong mengerti sekarang. Ini bukanlah saatnya menyerah dan berputus asa, apalagi hanya menangisi keadaan. Ini bukanlah akhir dunia. Jaejoong masih bisa melakukan sesuatu, dan dia tahu benar dia harus melakukannya.

*          *          *
-to be continued-

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

ABOUT ME

Foto saya
Im a HUMANOIDS, not A-N-D-R-O-I-D~! I ♥ TVXQ. Fan of Lee Min Ho. Support VR46. Love watching SHINHWA Broadcast. :) me YUNJAE-shipper. not really into KPOP, but interest in JPOP esp ARASHI. member of GARUDA SIPIL 2013. ALWAYS KEEP THE FAITH!