SKANDAL
Chapter 6
-xxx-
“Jae… Jaejoong-ah.”
Kim Jaejoong yang merasa
namanya dipanggil, dengan cepat mengangkat kepalanya dan mengerjap-ngerjap
menatap sekeliling. Dilihatnya Junsu yang sedang duduk di sampingnya sambil
menatap dengan pandangan cemas. Menyadari hal itu, Jaejoong membenarkan posisi
duduknya dan mengusap-usap matanya.
“Waeyo, hyung?” tanya
Jaejoong pada Junsu.
“Apa kau baik-baik saja?
Kulihat sedari tadi kau hanya duduk diam,” jawab Junsu, dengan nada penuh
kekhawatiran.
“Ah gwaenchana, hyung. Aku
hanya sedikit merasa lelah.”
Meski Jaejoong berkata
baik-baik saja, tapi Junsu tidak yakin dan masih menatap Jaejoong dengan cemas
lalu berkata, “Kalau begitu kembalilah ke hotel dan istirahatlah di kamar.
Lagipula besok kau masih ada jadwal pemotretan, ‘kan?”
“Eh?” sahut Jaejoong
bingung.
“Tidak apa-apa kok,
istirahat saja duluan.”
“Eum…” Jaejoong tampak
berpikir sejenak.
Suasana di ruang karaoke
yang cukup luas ini masih riuh. Salah seorang staf sedang menyanyikan sebuah
lagu, sementara yang lain sibuk bersorak-sorai. Di meja penuh dengan berbagai
makanan dan camilan, serta beberapa botol minuman ringan serta soju. Jaejoong melirik sekilas jam yang
ada di dinding. Waktu ternyata hampir lewat tengah malam.
Kedatangan Jaejoong ke
Jeju adalah untuk pekerjaan, bukan untuk liburan apalagi menghindar dari
kejaran pers. Dan saat ini Jaejoong memang sedang berada di salah satu tempat
karaoke di Jeju. Dia pergi setelah menerima ajakan dari para kru dan staf
sebuah majalah fashion yang sedang
bekerja sama dengannya untuk sebuah pemotretan. Acara karaoke ini mungkin
menjadi cara bagi mereka untuk bisa melepas penat sejenak dari pekerjaan yang
menumpuk.
“Mungkin aku akan keluar sebentar
untuk mencari udara segar, hyung,”
ujar Jaejoong, kemudian bangkit dari tempat duduk dan mengenakan mantelnya.
“Kau yakin tidak apa-apa,
Jae?” tanya Junsu, masih khawatir karena menurut matanya Jaejoong terlihat
begitu penat dan banyak pikiran.
Jaejoong mengangguk pelan
lalu berkata, “Aku pergi dulu, hyung.”
Junsu hanya bisa menatap
Jaejoong yang berjalan menjauh dari keramaian tanpa ada satu pun yang
menyadari, dan melihat punggung Jaejoong menghilang di balik pintu. Junsu
menghela napas kuat-kuat sebelum kemudian memutuskan untuk kembali ke kerumunan
orang-orang yang sepertinya sudah sangat terlarut dalam euforia masing-masing.
* * *
Kim Jaejoong melangkahkan
kakinya menembus pekatnya malam, dan ternyata kakinya membawanya ke sebuah
pantai. Tidak ambil pusing, Jaejoong berjalan saja menuju bibir pantai dan
menyusurinya. Suara desiran halus ombak menyapa pendengarannya dan memecah
kesunyian malam. Hanya butuh beberapa menit berjalan di pantai sebelum Jaejoong
melepas sepatunya dan berjalan dengan telanjang kaki, karena merasa kakinya
tergelitik untuk menikmati halusnya pasir pantai.
Jaejoong melangkah dengan
ringan, tanpa perlu khawatir ada yang mengenalinya. Fakta bahwa pantai di malam
hari begitu sepi atau bahkan tidak ada orang lain selain dirinya sedikit
melegakan untuk hatinya yang merasa sesak belakangan ini. Sepanjang menyusuri
bibir pantai, sesekali ombak mengenai kakinya dengan lembut. Suasana yang
tenang sekaligus menghanyutkan ini terasa nyaman bagi Jaejoong.
Sembari berjalan, sesekali
Jaejoong mengedarkan pandangannya ke arah laut. Laut yang tetap terlihat gelam
dan kelam, sekalipun bulan menggantung di atasnya. Laut yang meski dipandang
sejauh apapun tetap terlihat tak ada ujungnya. Jaejoong berhenti sejenak dan
terdiam. Matanya terpejam sambil menikmati desiran angin malam yang menerpa
tubuhnya, ditambah dengan suara-suara nyiur kelapa yang bergemerisik akrena
terusik oleh angin pantai yang cukup kencang. Terasa dingin, tapi juga
menenangkan.
Jaejoong mengeratkan
mantelnya dan kembali melanjutkan langkah kakinya, agak menepi karena mulai
terusik oleh dinginnya air yang mengenai kakinya. Kedua tangannya menyatu ke
belakang tubuhnya, dengan sepasang sepatu yang terkait di jemarinya. Kepalanya
mendongak, matanya menatap langit malam yang gelap namun cerah tak berawan.
Bulan terlihat bersinar terang di atas sana, ditemani ratusan bintang yang
menciptakan konstelasi indah di langit.
Kaki Jaejoong kembali
terhenti. Matanya kini sibuk memandang bintang-bintang. Sejak kecil Jaejoong
memang suka sekali melihat bintang, dan kebiasaan melihat bintang itu terus
terbawa hingga di umurnya yang sekarang. Jaejoong tersenyum samar, masih sambil
memandang bintang-bintang. Bintang-bintang itu selalu berhasil menghibur
hatinya.
Jaejoong melangkah lagi, kali
ini lebih menepi lagi. Setelah dirasa menemukan tempat yang pas, Jaejoong
meletakkan sepatunya, kemudian duduk dan merebahkan tubuhnya begitu saja dengan
beralaskan pasir. Kedua telapak tangannya saling tertaut dan digunakan sebagai
sandaran kepalanya. Jaejoong menghela napas pelan, lalu kembali sibuk
memandangi bintang. Bintang-bintang itu memang tak pernah membuatnya bosan.
Kedua kelopak mata
Jaejoong kembali tertutup. Dia tengah menikmati halusnya pasir pantai tempat
punggungnya bersandar, angin malam yang mengalir lembut membawa dingin yang
menenangkan, gemerisik pohon-pohon kelapa, dan desir ombak.
“Kau
suka sekali melihat bintang ya?”
Jaejoong tersentak kaget
dan seketika membuka kedua matanya. Tubuhnya segera terduduk dan matanya
mengamati sekeliling. Suara tadi mendadak terngiang di telinganya dan terdengar
sangat nyata. Tapi, Jaejoong tidak menemukan siapa pun di dekatnya. Sepi, dan
hanya ada dia seorang.
Jaejoong menarik napas
dalam, sebelum akhirnya berbaring lagi dan memutuskan untuk tidak terlalu
memikirkannya. Masih dengan telapak tangan sebagai penyangga kepalanya,
Jaejoong menatap lurus ke atas, ke arah langit yang bertabur bintang.
“Aku
sering melihatmu keluar ke beranda pada malam hari, dan berdiri diam di sana
sambil menatap ke atas.”
Kali ini Jaejoong yakin
dengan apa yang didengarnya. Beberapa kali matanya mengerjap-ngerjap kaget,
sekaligus bingung. Ya, Jaejoong sangat yakin kalau suara bass yang terngiang di telinganya itu adalah suara Yunho, suara
yang memang akrab di telinganya. Dan Jaejoong masih ingat benar, kata-kata
Yunho yang tadi mendengung di telinganya dan pembicaraan mereka dulu.
Jaejoong mendesis pelan,
merasa kesal sekaligus kasihan pada dirinya sendiri yang sangat merindukan
Yunho sampai-sampai berimajinasi seperti ini. Jaejoong kemudian memilih untuk
memejamkan matanya dan berkonsentrasi pada otaknya untuk memutar kembali memori
setahun lalu itu dalam benaknya.
“Eum,
aku sangat suka melihat bintang,” barusan itu suara Jaejoong, dia masih ingat dengan jelas kata-katanya waktu
itu.
“Appa
meninggal waktu aku berumur 9 tahun. Waktu tahu selamanya tidak akan bisa
bertemu Appa lagi, aku menangis sepanjang hari. Aku terus menangis, sampai
akhirnya suatu saat Umma menghiburku dengan berkata padaku bahwa Appa
sebenarnya tidak pergi jauh, beliau hanya pergi ke langit dan menjadi bintang
di atas sana. Umma bilang, aku masih bisa melihat Appa yang bersinar di atas
sana. Karena itu, saat itu setiap malam aku menatap ke arah langit dan melihat
bintang-bintang, untuk mengobati rasa rinduku pada Appa. Mungkin karena
tersugesti juga oleh kata-kata Umma, setiap kali melihat bintang aku merasa
hangat, nyaman, dan terhibur. Dan kebiasaan dari kecil itu terus terbawa hingga
umurku yang sekarang.”
Jaejoong mengerutkan
dahinya saat kalimat itu terngiang di telinganya. Mengingat saat-saat dimana
dia kehilangan appa adalah kenangan
paling pahit dalam hidupnya. Dada Jaejoong mulai terasa sesak. Dia teringat
pada ayahnya dan merasakan kerinduan yang mendalam itu muncul lagi ke permukaan
hatinya. Dan tanpa sadar, Jaejoong menggumam memanggil ayahnya dengan suara
lirih yang bergetar.
Jaejoong kembali membuka
matanya dan menatap bintang-bintang di atas kepalanya. Dadanya terasa makin
sesak. Dan mendapati tidak ada Yunho di sampingnya sebagai tempatnya bersandar,
dadanya kini mulai berdenyut nyeri.
“Apa yang harus aku
lakukan, appa?” kata Jaejoong pelan,
terdengar penuh keputusasaan. Dan memang hanya sebuah helaan napas kuat yang
bisa dilakukan Jaejoong sekarang.
Jaejoong masih menatap
bintang. Namun kali ini tatapannya kosong dan terasa hampa. Jaejoong merasa
perlahan jiwanya mulai meninggalkan raganya, membuatnya tak lagi bersemangat
melewati hari. Dan menit-menit selanjutnya hanya Jaejoong lalui dengan lamunan.
“Jaejoong-ah,” sebuah suara dari jauh menyadarkan
Jaejoong kembali.
Suara derap langkah kaki yang makin mendekat
membuatnya menengok ke samping, mencari sumber suara. Suasana yang gelap dengan
penerangan minim membuatnya ragu melihat sosok yang mendekat ke arahnya.
Jaejoong baru merasa lega ketika sosok yang berhenti dan berdiri di sampingnya
itu adalah Kim Junsu, manejernya.
“Rupanya kau, hyung,” ujar Jaejoong sambil mengubah
posisi berbaringnya menjadi duduk, sambil mengacak rambutnya pelan.
“Eum,” tandas Junsu sambil
mengangguk, “Aku mengkhawatirkanmu, makanya aku berniat menyusulmu.
Kucari-cari, ternyata kau ada di sini.”
Jaejoong menatap Junsu
dengan kepala sedikit terdongak ke atas, mengingat Junsu yang memang masih
berdiri di sebelahnya, “Tidak perlu khawatir, hyung, aku bisa pulang sendiri kok,” sahutnya.
Jaejoong melirik sekilas ke arah Junsu, mencoba
menerka arti ekspresi manajernya itu, sebelum kemudian kembali membaringkan
tubuhnya di atas pasir pantai. Junsu yang melihat hal itu akhirnya ikut duduk
di samping Jaejoong, lalu menyandarkan kepalanya di kedua lututnya. Dilihatnya
sekilas Jaejoong yang tengah memejamkan matanya itu.
“Apa kau baik-baik saja?”
“Aku tidak apa-apa, hyung,” jawab Jaejoong tanpa membuka
matanya.
Junsu mendesah pelan sebagai respon, dan kemudian
kedua namja ini hanya terdiam,
menciptakan keheningan di antara mereka. Hanya ada suara debur ombak yang
sesekali mencoba memecah kesunyian malam itu.
“Maafkan aku, Jae,” kata
Junsu mencoba memulai sebuah pembicaraan.
Jaejoong yang kaget
mendengar Junsu tiba-tiba meminta maaf, membuka matanya dan menatap Junsu yang
duduk di sampingnya dengan pandangan lurus ke depan.
“Maaf, aku tidak bisa
melakukan apa yang bisa membantumu keluar dari masalah ini,” lanjut Junsu.
Ini benar-benar ungkapan
permintaan maaf yang tulus darinya, yang sebenarnya sudah lama ingin dia
katakan sejak dulu namun belum menemukan waktu yang tepat. Baru sekaranglah
Junsu merasa kalau inilah saat yang pas.
“Kenapa bicara seperti
itu, hyung? Ini bukan salahmu kok,
tidak perlu sampai minta maaf segala. Ini semua karena diriku sendiri,” kata
Jaejoong sambil mengalihkan pandangannya kembali menatap ke bintang.
“Tapi, Jae, setidaknya
seharusnya aku bisa memberikanmu jalan keluar atau…”
“Sudahlah, hyung, tidak apa-apa kok,” sela Jaejoong.
Junsu diam dan tidak melanjutkan
kalimatnya. Sekalipun Jaejoong berkata tidak apa-apa, tapi tetap saja Junsu
merasa bersalah padanya. Dia merasa tidak berguna dan tidak bisa membantu
apapun untuk Jaejoong. Dia ingin melakukan sesuatu, tapi dia sendiri tidak tahu
harus berbuat apa. Dia tidak ingin melihat Jaejoong yang seperti sekrang ini,
tapi dia tidak tahu harus bagaimana.
“Hyung,”
panggil Jaejoong. Junsu menegok dan menatap Jaejoong. “Menurutmu, apa Yunho
membenciku?” tanyanya.
“Eh? Kenapa kau berpikir seperti
itu?” Junsu hanya balik bertanya.
“Aku sudah menyakitinya sampai
seperti ini. Kurasa Yunho pasti membenciku sekarang,” sahut Jaejoong dengan
nada pahit. Lidahnya sendiri terasa getir ketika mengucapkannya.
Junsu diam sejenak, tampak sedang
berpikir dan menimbang-nimbang, “Kurasa tidak Jae,” jawabnya.
Jaejoong sebenarnya sudah bisa
menebak apa jawaban Junsu. Dia pikir Junsu berkata seperti itu untuk sedikit
menghiburnya. Tapi meskipun sudah yakin
dengan perkiraannya, tetap saja Jaejoong bertanya lagi, “Kenapa tidak, hyung?”
“Memangnya kau tidak merasakannya,
Jae?”
“Eh?” Jaejoong tersentak kaget dan
tubuhnya terduduk seketika. Apa yang dimaksud Junsu?
“Hm… kupikir kau merasakannya juga.”
“Aku tidak mengerti, hyung. Coba bicara yang jelas, jangan
buat aku penasaran,” desak Jaejoong sambil menatap Junsu lekat-lekat.
Junsu balas menatap Jaejoong dengan
pandangan bertanya lalu berkata, “Kau masih ingat insiden sebelum kita
berangkat ke Jeju, ‘kan ?”
Jaejoong mengangguk dan Junsu melanjutkan kalimatnya. “Jika Yunho benar
membencimu, apa kau pikir dia akan berbuat sampai sejauh itu? Bukankah dia
melakukan itu karena dia ingin melindungimu?”
Jaejoong mengerjap-ngerjapkan
matanya. Dia kaget juga mendengar penuturan Junsu barusan, itu di luar
dugaannya. Jaejoong pikir Junsu hanya akan menjawab dengan ‘Aku yakin Yunho
tetap mencintaimu’ atau ‘Rasa cintanya padamu pasti tidak berubah’. Jaejoong
tidak mengira Junsu akan menjawabnya dengan analisis seperti itu.
“Kalau dia ingin melindungimu, itu
berarti dia tidak membencimu dan masih mencintaimu, ‘kan ?”
Lagi-lagi Jaejoong hanya diam.
Otaknya sibuk memikirkan apa yang dikatakan Junsu. Benarkah itu?
Sekalipun itu bukanlah kebenarannya,
tapi setidaknya itu cukup untuk membuat perasaan Jaejoong lebih baik sekarang.
Dadanya terasa hangat dan asanya terhadap Yunho muncul lagi. Memikirkan
perasaan Yunho terhadapnya yang masih sama seperti dulu membuatnya hatinya
membaik.
Tidak mendengar sahutan Jaejoong,
Junsu menoleh dan melihat Jaejoong yang tengah menatap ke atas sembari sibuk
dengna pikirannya sendiri. Meski samar, tapi Junsu bisa melihat ada seulas
senyum kecil di wajahnya. Dan sorot mata Jaejoong yang memandang
bintang-bintang terlihat lebih hidup.
Melihat itu, Junsu ikut tersenyum
dan berkata dalam hati, ‘Percayalah padaku, Jae. Kalau soal ini, aku bisa
menjamin 100%.’
* * *
Jam dinding menunjukkan waktu tengah
hari. Suara bel berdering keras di sepanjang koridor sekolah. Beberapa detik
kemudian, suara hiruk pikuk siwa-siswa beserta suara derap langkah mereka memenuhi
seluruh sudut di salah satu sekolah di Seoul
itu. Waktu tengah hari, berarti saatnya jam makan siang.
“Yo, Yunho~” panggil si guru Biologi bernama Park
Yoochun sambil menepuk pundak sahabatnya.
Namja bermarga Jung itu menengok dan
mendapati Yoochun tengah berdiri di sampingnya sambil tersenyum lebar. Setelah
berpikir beberapa detik, Yunho mengangguk samar dan menutup buku yang sedari
tadi dibacanya. Setelah menghela napas pelan, Yunho bangkit dari tempat
duduknya.
“Iya iya, aku ingat, kok,” ujar Yunho.
Tangan kanannya meraba saku belakangnya, memastikan dompetnya masih berada aman
disana.
Yoochun hanya nyengir lebar dan
dengan semangat merangkul bahu Yunho dengan semangat, “Enaknya kita makan apa
hari ini ya, Yun?” tanyanya sambil berjalan meninggalkan ruang guru.
“Terserah kau saja. Asal jangan
membuat isi dompetku sekarat,” jawab Yunho ketus saja.
Yoochun tertawa lebar
mendengar penuturan sahabatnya itu lalu berkata, “Baiklah, baiklah, aku tahu.
Kalau gitu kita makan di kantin saja ya.”
“Jam segini ‘kan sedang
ramai-ramainya, Yoochun-ah.”
“Tidak apa ‘kan. Jadi kita
bisa merasakan lebih dekat dengan murid-murid kita.”
“Bicaramu itu terdengar
berlagak bijak,” tandas Yunho sambil melirik sekilas ke arah Yoochun dan
kembali mengundang tawa dari Yoochun.
Kedua guru muda yang
terkenal di kalangan murid-muridnya ini mengobrol ringan sepanjang kaki mereka
melangkah menuju ke kantin sekolah. Setibanya di sana, mereka tak terkejut
melihat kantin yang ramai oleh anak-anak. Semuanya kemari dengan tujuan yang
sama, mengisi perut mereka yang kelaparan.
“Kau cari tempat, biar aku
yang pesan makanan. Oke?”
Yunho mengangguk
menyetujui Yoochun dan tak lupa menambahkan, “Jangan pesan makanan yang
tidak-tidak.”
“Arraseo, arraseo,” ujar Yoochun dan berlalu meninggalkan Yunho yang
memandang sekeliling untuk mencari tempat mereka makan berdua.
Setelah berjalan di antara
kerumunan anak didiknya, Yunho menemukan sebuah meja kosong di pojok. Tanpa
pikir panjang, Yunho melangkahkan kaiknya kesana dan duduk, sebelum meja itu
ditempati orang lain. Duduk di pojok tidak terlalu buruk, bukan? Sebaliknya,
justru lebih terasa nyaman karena jauh dari kerumunan. Sambil menunggu Yoochun
datang, Yunho mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mulai sibuk dengan ponsel
pintar itu.
Sementara Yoochun tengah
berkutat melewati puluhan manusia di sekelilingnya semabil membawa 2 nampan
berisi makan siang mereka sambil terus bersikap ramah pada murid-murid yang
berpapasan dan menyapanya. Hei, menjaga image
guru yang baik perlu dilakukan dimanapun, ‘kan?
Setelah mencari dan
mengedarkan pandangannya, Yoochun menemukan sosok Yunho yang tengah duduk di
bagian pojok. Pria bermata sipit itu tampak sedang sibuk dengan ponsel di
tangannya.
“Yosh,” ujar Yoochun
sambil meletakkan kedua nampan di atas meja dan mengambil duduk di depan Yunho.
Melihat Yunho yang tidak
merespon kedatangannya dan masih asyik menatap layar ponsel, Yoochun
menyeletuk, “Berhenti memandangi fotonya, Jung.”
Yunho mendongakkan
kepalanya dan menatap Yoochun dengan tatapan datar. Sementara Yoochun yang
ditatap dengan tatapan tanpa ekspresi itu mulai merasa risih. Didekatkannya
nampan miliknya ke arahnya sambil berkata, “Lupakan ucapanku barusan.”
Yunho hanya menghela
napas. Ponselnya itu kembali dia masukkan ke dalam saku lalu menarik nampan
makan siangnya ke dekatnya. Dahinya berkerut samar melihat makan siangnya hari
ini yang terlihat cukup… beragam? Ditatapnya Yoochun dengan tatapan tajam yang
terlihat sudah mulai menikmati makannya.
Yoochun yang sedang
mengunyah makannya, mengerti arti tatapan Yunho dan berkata, “Itu menu spesial
hari ini, Yun. Enak, coba kau makanlah. Tadi aku berhasil dapat diskon dari
penjualnya setelah kubujuk dengan susah payah, jadi jangan menatapku begitu.”
“Harusnya aku tidak menyetujui
usulmu waktu itu,” gumam Yunho setelah lagi-lagi menghela napas, dan mulai
memakan makananya.
“Hei, ini ‘kan bayaran
yang pantas. Lenganku kena cakar, dan sampai sekarang belum sembuh. Coba
lihat,” sahut Yoochun sambil menyingsing lengan kiri kemejanya dan menunjukkan sebuah
luka sepanjang 7 cm kepada Yunho.
Yunho hanya melirik
sekilas dan kembali menyuapkan makanan ke mulutnya, “Luka itu sudah kering,
Yoochun, jangan berlebihan.”
Yoochun memajukan bibirnya
kesal, lalu kembali melanjutkan makannya. Suasana kantin masih ramai, dan
biasanya baru akan sepi setelah bel masuk berdering. Tapi kedua namja ini tampaknya tak terpengaruh oleh
keriuhan kantin, mereka asyik saja menikmati makan siang mereka sambil
mengobrol santai. Sesekali mereka mengangguk dan tersenyum ramah ke arah
murid-murid yang menyapa mereka.
“Yunho.”
“Hm?”
“Dia tidak mengabarimu
sejak kejadian waktu itu?” tanya Yoochun. Suaranya rendah dan penuh
kehati-hatian. Ditatapnya Yunho dengan penuh antisipasi, sementara namja itu hanya terdiam dan meletakkan
sumpit.
“Tidak,” jawab Yunho
singkat, lalu kembali menyuapkan makanan ke mulutnya.
“Kau sudah coba
menghubunginya?”
“Belum.”
Yoochun mendesis kesal
melihat sahabatnya, “Lalu untuk apa kau sampai melakukan hal seperti itu?”
serunya dengan nada tinggi, tapi cukup pelan.
“Jangan buat aku
mengatakannya lagi, Yoochun-ah.”
“Alasan klise itu?” tandas
Yoochun, ditatapnya Yunho lekat-lekat.
“Eum,” Yunho hanya
mengangguk dan masih melanjutkan makan siangnya.
Yoochun mendesah pelan, lalu meneguk air mineralnya, “Sudahlah Yun, lupakan
saja dia,” katanya setelah menghabiskan sepertiga air di botolnya.
“Aku tidak bisa. Meskipun
ingin, tetap saja aku tidak bisa.”
“Kalau begitu lakukan
sesuatu, untuk memperjelas semuanya. Bukankah kalau terus seperti ini kesannya
seperti dia memberi harapan palsu padamu?” kata Yoochun yang mulai tidak sabar
melihat sikap Yunho.
“Memangnya apa yang bisa
aku lakukan?” tanya Yunho dengan nada sarkatis.
Yoochun menopang dagunya
sambil berpikir sejenak, “Kau bisa menulis di surat kabar, bilang kalau kau
pacarnya yang sebenarnya dan menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi
dari sudut pandangmu.”
Yunho menatap Yoochun dengan pandangan tak
percaya. Sahabatnya yang menurutnya cukup jenius itu ternyata bisa memberikan
saran paling konyol yang pernah didengarnya seumur hidup.
“Lupakan saja,” tandas
Yunho cepat, lalu meneguk air mineralnya, “Aku bahkan tidak tahu kebenaran apa
pun dibalik skandal itu,” lanjutnya.
“Lalu apa yang harus
dilakukan?” keluh Yoochun. Dia ingin sekali membantu sahabatnya, tapi dia
sendiri bingung harus memberikan solusi apa.
“Tidak ada.”
“Tidak?”
“Tidak,” ucap Yunho tegas.
“Kenapa? Apa kau bisa
berdiam terus seperti ini, tanpa kejelasan sama sekali?” kata Yoochun. Tubuhnya
sedikit condong ke depan dan matanya menatap dalam ke mata Yunho, mencoba
mencari sesuatu melalui sorot mata namja
itu.
“Aku percaya padanya,
Yoochun-ah. Aku yakin ini semua hanya
butuh waktu,” jawab Yunho. Suaranya terdengar tenang, tapi sebenarnya pikiran
Yunho sangat kalut.
Yoochun menyerah. Dia
tidak bisa lagi membujuk Yunho untuk melupakan penyanyi itu, Kim Jaejoong.
Yunho sangat yakin dengan sikapnya, Yoochun bisa merasakan ketaguhan hati
sahabat sekaligus rekan seprofesinya itu. Walaupun pahit, tapi Yunho tetap
menelannya dengan tanpa melupakan segala akibat dan risiko.
Yoochun mendesah pelan
sembari membenarkan posisi duduknya, “Terserah kau saja, Yun.”
Yunho hanya meresponnya dengan sebuah senyum
kecil, senyum yang seolah mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Tapi sebaliknya,
di mata Yoochun senyum itu hanya memperlihatkan kepedihan dan kesepian.
“Aku tahu kau yang paling
tahu apa yang harus kau lakukan dan tidak kau lakukan, tapi bisakah kau
berhenti menatap fotonya di ponselmu, Yun?” ujar Yoochun, membuat Yunho
menautkan kedua alisnya, “Kau terlihat menyedihkan dan itu sangat
menggangguku,” tambah Yoochun.
Mendengar itu, Yunho malah
menundukkan kepalanya sambil tertawa kecil, membuat Yoochun menatap heran ke
arahnya. Setelah tawanya mereda, Yunho menatap Yoochun dengan sebuah senyum
lebar sembari berkata, “Gomawo,
Yoochun-ah.”
“Eh? Kenapa malah
berterima kasih?” tanya Yoochun dengan raut muka bingung sekaligus heran.
Yunho hanya tersenyum simpul sebagai jawaban, lalu
bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan kantin.
“Hei tunggu! Jangan
tinggalkan aku begitu saja, Jung Yunho,” seru Yoochun melihat Yunho yang
tiba-tiba meninggalkannya, sambil buru-buru berdiri dan menyusul Yunho.
‘Terima kasih, Yoochun-ah. Aku tidak menyangka kau sangat baik
mau memperhatikan dan peduli padaku,’ batin Yunho sembari sedikit menoleh ke
belakang, menatap Yoochun yang tengah berlari kecil menyusulnya melalui ekor
matanya.
* * *
Kim Jaejoong melangkahkan
kakinya menyusuri koridor kantor agensinya. Setelah kembali dari Jeju, ada
beberapa hal yang harus diurusnya mengenai kontrak dan jadwal aktivitasnya,
membuat Jaejong harus datang kemari meskipun sebenarnya dia enggan untuk
datang. Junsu membantu mengurusnya, tentu saja karena itu memang pekerjaannya,
tapi namja berwajah cukup imut itu
langsung pergi begitu urusan selesai. Katanya dia harus menyiapkan beberapa
pakaian untuk Jaejoong. Maka, tinggallah Jaejoong yang harus pulang sendiri.
Jaejoong melirik jam
tangannya sembari menunggu pintu lift
di depannya terbuka. Jam 5 sore. Masih ada waktu untuknya membuat makan malam.
Dan saat Jaejoong memikirkan apa yang akan dimakannya malam ini, pintu lift terbuka. Jaejoong segera masuk dan
menekan tombol yang ada di samping pintu lift.
Pintu lift menutup beberapa detik
kemudian.
“Jaejoong hyung,” panggil seseorang yang juga
berada di lift yang sama dengan
Jaejoong.
Jaejoong menengok ke
belakang dan menemukan sosok tinggi yang berdiri di pojok lift sedang tersenyum ke arahnya, “Annyeong, hyung.”
“Changmin-ah~ Kau di sini? Aku tidak menyadarinya,
hahaha,” kata Jaejoong, diakhiri dengan tawa pelan, menertawai dan juga heran
dengan dirinya sendiri yang tidak menyadari kehadiran Shim Changmin, hoobae sekaligus dongsaengnya.
“Hyung sibuk melamun sih,” ujar Changmin.
Jaejoong mundur beberapa
langkah, menyejajarkan dirinya dengan Changmin, kemudian menyandarkan
punggungnya ke dinding lift, “Aku
bukannya melamun, aku sedang memikirkan makan malam hari ini,” kilah Jaejoong
sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
“Hm, kukira hyung melamun,” kata Changmin.
Jaejoong hanya tersenyum
dan berkata, “Kita bertemu lagi di lift
ya? Dulu juga pernah ada kejadian seperti ini ‘kan?”
“Iya, hyung. Mungkin itu artinya kita dijodohkan untuk bertemu di lift,” sahut Changmin, mengundang tawa
kecil dari Jaejoong, “Ngomong-ngomong, kapan hyung kembali ke Seoul? Kudengar hyung sedang di Jeju,” tambanya.
“Kemarin sore, Changmin-ah. Dan karena ada yang harus kuurus
jadinya aku kemari,” jawab Jaejoong sambil menatap Changmin di samping kirinya,
“Kau habis latihan?”
“Tidak, hyung, laptopku kemarin tertinggal di
sini, jadi aku kemari untuk mengambilnya.”
“Eeyy, kau masih saja
ceroboh, Changmin-ah.”
Mendengar itu Changmin
hanya tertawa pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Setelah itu
tidak ada percakapan lagi di antara mereka, sampai pintu lift terbuka di lanati paling bawah.
“Kau bawa mobil,
Changmin?” tanya Jaejoong setelah mereka berdua keluar dari lift, “Kalau tidak, biar kuantar. Aku
bawa mobil kemari.”
“Tidak usah repot-repot, hyung, aku bawa mobil kok,” tolak Changmin
dengan halus.
Jaejoong hanya mengangguk
samar. Kedua namja ini kemudian
berjalan bersama menuju basement.
Lagi-lagi tidak ada percakapan di antara keduanya.
Baru setelah keduanya
sampai di dalam basement, tiba-tiba
Jaejoong menghentikan langkahnya dan berkata, “Setelah ini kau ada kegiatan
atau tidak, Changmin-ah?”
Changmin tampak berpikir
sejenak lalu menjawab, “Tidak ada, hyung.”
“Kalau begitu, mau pergi
minum bersamaku?”
“Eh?” Changmin sedikit
kaget mendengar ajakan Jaejoong yang tiba-tiba, apalagi ini adalah ajakan minum
bersama setelah beberapa tahun. Terakhir kali mereka melakukannya adalah tepat
sebelum Changmin melakukan debutnya.
“Aku sedang ingin minum,
tapi Junsu hyung sedang sibuk dan aku
tidak mau minum sendiri.”
Changmin terdiam sebentar
sebelum kemudian mengiyakan ajakan Jaejoong, “Baiklah, hyung,” sahutnya.
“Ah kau baik sekali,
Changmin-ah. Gomawo,” kata Jaejoong senang sembari tersenyum lebar.
“Tapi kau yang traktir ya,
hyung,” tandas Changmin cepat,
membuat Jaejoong mngerucutkan bibirnya. Namja
ini tidak berubah, selalu saja minta ditraktir olehnya.
“Iya, iya. Dasar kau ini~”
* * *
-to be continued-
0 komentar:
Posting Komentar