SKANDAL
Chapter 2
-xxx-
Suasana apartemen Yunho malam ini
sepi. Tak ada suara lain selain suara televisi. Namja pemilik apartemen ini pun hanya duduk di atas karpet berwarna
coklat muda yang ada di ruang tengah dan sibuk dengan laptopnya. Jemarinya
bergerak lincah di atas keyboard dan
matanya menatap lurus ke arah layar laptop. Sesekali Yunho menghentikan aktivitasnya
sejenak untuk menyesap segelas kopi yang ada tak jauh dari laptopnya.
“Apa Jaejoong benar-benar
tidak mengatakan sesuatu padamu tentang ini?”
tiba-tiba kata-kata Yoochun pagi tadi melintas di benak namja bermarga Jung ini. Seketika jemarinya berhenti bergerak dan
matanya hanya menatap kosong.
“Skandal. Kim
Jaejoong terlibat skandal dengan aktris Wang Jihye. Kau benar-benar tidak
tahu?” Yunho terdiam dan memikirkan kata-kata
Yoochun pagi tadi.
Jaejoong terlibat skandal? Yunho
sama sekali tidak mendengar berita tentang skandal ini sebelumnya, sampai
Yoochun mengatakannya pagi tadi. Jaejoong juga tidak mengatakan apa pun
padanya. Bahkan penyanyi top Korea
itu sulit untuk dihubungi beberapa hari ini.
Dahi Yunho berkerut begitu mata
sipitnya menangkap majalah yang tergeletak begitu saja di atas meja. Majalah
dengan cover Kim Jaejoong dan aktris
Wang Jihye. Majalah yang tadi pagi Yoochun tunjukkan padanya. Majalah nista
yang Yunho letakkan sembarangan saat dia mengeluarkan laptopnya dari ransel.
Yunho sama sekali belum membuka
majalah itu. Entah karena alasan apa, tapi Yunho memilih untuk tidak menyentuh
majalah itu. Itu yang ada di pikirannya tadi pagi, namun sekarang berbeda.
Yunho berubah pikiran dan dia ingin membaca berita tentang skandal kekasihnya.
Terlalu banyak pertanyaan yang berkelebat di otaknya, membuat tangan Yunho
bergerak meraih majalah itu.
Diperhatikannya lekat-lekat sampul
majalah itu. Setelah menarik napas dalam, Yunho mulai membuka majalah itu. Tak
butuh waktu lama bagi Yunho untuk menemukan berita yang dia cari, karena toh
berita skandal Kim Jaejoong ada di halaman pertama majalah itu.
‘Kim Jaejoong dan Wang Jihye Tertangkap Kamera Sedang
Berpegangan Tangan’
Yunho mengerutkan alisnya membaca headline berita itu. Bola matanya
bergerak menelusuri tiap kata yang menjadi berita terhangat saat ini.
‘Kim Jaejoong, penyanyi papan atas Korea, tertangkap
basah sedang berpegangan tangan dengan Wang Jihye di sebuah jalan di Apgujung,
Sabtu malam lalu. Keduanya berjalan bersama menyusuri jalanan Apgujung. Meski
mereka berdua memakai topi dan masker, tapi mata para fans setia Kim Jaejoong
tidak pernah salah mengenali idola mereka,’
Yunho mengamati sebuah foto yang
menampilkan sosok seorang namja dan yeoja sedang berpegangan tangan. Foto
tersebut agak buram, sehingga wajah namja
dan yeoja yang mengenakan masker dan
topi itu tidak terlalu jelas. Lama Yunho memperhatikan foto itu. Awalnya dia
tidak percaya dengan kebenaran foto itu sebagai foto Kim Jaejoong dan Wang
Jihye, namun ketidakpercayaannya sirna begitu dia mengenali sepatu yang
dikenakan oleh namja dalam foto
tersebut. Sepatu sneakers dengan
kombinasi warna hitam-coklat itu milik Jaejoong. Yunho ingat benar ketika
Jaejoong memamerkan sepatu itu kepadanya beberapa waktu lalu. Itu sepatu yang
Jaejoong beli ketika dia tour ke Jepang.
‘Benarkah?’ tanya Yunho dalam hati
sembari menghela napas berat.
‘Diduga kedua selebriti yang berada dalam agensi yang
sama ini tengah menjalin suatu hubungan istimewa. Apakah mereka sedang
berkencan?’
Yunho mengatupkan rahangnya
kuat-kuat tiap membaca kalimat demi kalimat yang ada di berita itu. Dia masih
bisa menahan kekesalannya saat membaca berita itu sampai kalimat terakhir.
Namun tidak setelah Yunho melihat sebuah foto di sudut halaman itu. Foto yang
menampakkan seorang namja dan yeoja tengah berciuman di dalam mobil.
Meski buram karena gelapnya kaca mobil, namun siluet mereka masih bisa
dikenali. Refleks Yunho melempar majalah yang sudah agak kusut karena sedari
tadi dia menggenggamnya dengan kuat selagi dia membaca beritanya.
Emosi Yunho yang sudah dia tahan
seharian ini sekarang meluap. Diambilnya ponsel yang tergeletak di atas meja
dengan kasar. Ditekannya keypad
ponselnya dengan cepat, sebelum kemudian menempelkan ponselnya ke telinga
kanannya. Dia butuh penjelasan dari Jaejoong sekarang.
15 detik berlalu, Jaejoong tak
kunjung mengangkat panggilannya. Sampai akhirnya Yunho menyerah dan mengumpat
kesal ketika operator telepon yang menyahut panggilannya. Dia melemparkan
ponselnya ke atas sofa dengan kasar.
“Argh!” erang Yunho sembari memegang
kepalanya dengan kedua tangannya.
Napas Yunho pendek-pendek dan
jantungnya berdegup kencang. Tangannya mengacak rambutnya frustasi. Yunho
menengadahkan kepalanya dan memejamkan matanya, sembari berusaha menenangkan
dirinya. Yunho mencoba menarik napas panjang beberapa kali untuk meredam
emosinya.
“Kenapa, Jae? Kenapa seperti ini?”
bisik Yunho.
Ingatannya membawa Yunho kembali
mengingat saat terakhir kali dia bertemu Jaejoong sebelum skandal ini mencuat.
Saat itu Jaejoong tampak murung, tak seperti biasa. Tapi saat itu Yunho tak
ambil pusing, karena dia pikir kekasihnya itu hanya sedang lelah.
“Apa kau lelah
bersamaku?”
“Yunho-ya, kau
percaya padaku ‘kan ?”
Pertanyaan yang Jaejoong lontarkan
saat itu terngiang di benak Yunho. Yunho menegakkan tubuhnya dan irisnya
menatap lurus ke depan. Perlahan semuanya terasa jelas. Memang ada sesuatu yang
Jaejoong sembunyikan saat itu, tapi Jaejoong tidak mau mengakuinya ketika dia
tanya tentang hal itu. Dan Yunho yakin yang disembunyikan Jaejoong pasti
berkaitan dengan skandal ini.
Mata Yunho mendadak terpaku pada
layar televisi yang tengah menampilkan sebuah iklan tentang wisata Korea .
“Apa yang terjadi, Jae?” tanya Yunho
dengan suara lirih saat melihat bintang utama iklan itu adalah kekasihnya, Kim
Jaejoong.
Senyum Jaejoong di iklan tersebut
membuat namja bermarga Kim itu
terlihat sangat manis meski tubuhnya dibalut dalam tuksedo hitam. Yunho
tersenyum pahit melihat kekasihnya.
* * *
“Kim Jaejoong-sshi, apa pendapatmu mengenai skandal ini?”
“Apa itu benar?”
“Sejak kapan kalian berhubungan
dekat?”
“Apakah kedekatan kalian untuk
mendongkrak popularitas?”
“Kim Jaejoong-sshi, Kim Jaejoong-sshi~”
Kilat blitz dari kamera wartawan membuat seorang namja yang notabene adalah penyanyi ini menundukkan kepalanya.
Penyanyi yang sedang gencar diberitakan akibat kasus skandalnya dengan seorang
aktris ini berjalan menuju mobil van-nya
dengan susah payah, karena banyaknya wartawan yang ingin menanyakan tentang
skandal itu padanya. Meski beberapa orang bertubuh besar yang menjadi bodyguard-nya berusaha menghalangi para
wartawan, namun usaha itu tidak berhasil sepenuhnya. Wartawan terus saja
mengejar Kim Jaejoong, mengarahkan kamera padanya dan melontarkan ribuan
pertanyaan, membuat suasana menjadi riuh.
Sebenarnya Jaejoong sudah tahu kalau
jadinya akan seperti ini. Dia pasti akan terus diserbu wartawan dimana pun dia
berada, termasuk saat ini, ketika dia keluar dari salah satu gedung stasiun TV
ternama di Korea Selatan. Namun tak ada yang bisa dilakukannya saat ini, selain
diam dan tidak mengatakan hal apa pun tentang skandal ini pada wartawan dan
media massa .
Dengan kacamata hitam yang setia bertengger di hidungnya dan pengawalan ketat
para bodyguard, Jaejoong berusaha
menerobos kerumunan wartawan yang kian nekat.
Namja
bersuara tinggi bak lumba-lumba yang menjadi manajernya, Kim Junsu, segera
membukakan pintu mobil begitu mereka berhasil sampai di dekat mobil yang
sebenarnya sudah menunggu mereka sejak 15 menit lalu. Karena banyaknya
wartawan, maka mereka yang seharusnya hanya butuh waktu tak sampai 5 menit
untuk berjalan ke mobil, malah membutuhkan waktu sampai 15 menit untuk berjalan
beberapa meter ke depan.
Jaejoong segera menundukkan tubuhnya
sedikit dan masuk ke dalam mobil, diikuti oleh Junsu. Kemudian dengan cepat
Junsu menutup pintu mobil. Para bodyguard pun bertindak cepat dengan
memblokir area sekitar mobil, dan mobil van hitam itu pun mulai melaju
meninggalkan wartawan yang tak putus asa untuk mengejar berita.
Begitu mobil berjalan cukup jauh
dari gedung stasiun TV itu, Jaejoong segera melepas topi dan kacamata hitamnya,
kemudian berdecak kesal. Dia tidak suka dikejar-kejar wartawan seperti tadi,
terlebih alasan para wartawan itu mengejar adalah skandalnya, bukannya karena prestasi
di bidang musik yang mungkin bisa dibanggakannya.
“Ini,” ujar Junsu sembari
menyodorkan sebotol air mineral untuk Jaejoong. Tangan Jaejoong terulur untuk
menerimanya dan kemudian dia mulai menegak isinya.
“Aku tidak suka dikejar-kejar
wartawan seperti itu, hyung,” keluh
Jaejoong. Botol air mineral yang isinya tinggal setengah dia letakkan begitu
saja di bawah jok mobil.
“Aku tahu, Jaejoong-ah,” sahut Junsu. Tangannya merogoh saku
celananya dan mengeluarkan ponsel layar sentuhnya. Jemarinya mulai bergerak
lincah di atas layar ponselnya.
“Apa kita tidak bisa melakukan
sesuatu, hyung? Konferensi pers atau
apa lah. Supaya para wartawan itu berhenti mengejarku.”
Junsu menghentikan jemarinya dan
terdiam sejenak. Dia tolehkan kepalanya ke samping dan menatap Jaejoong. “Tidak
ada yang bisa kita lakukan selain menunggu, Jaejoong-ah.”
Jaejoong balas menatap Junsu dengan
tatapan tajam. Diraihnya sebuah majalah yang tergeletak di jok belakang mobil,
dan dengan kasar dia banting majalah itu hingga jatuh tepat di depan kaki
Junsu. “Aku sudah lelah dengan ini semua, hyung!”
erang Jaejoong sambil memasang ekspresi jengah.
Junsu menatap majalah dengan cover
Kim Jaejoong dan Wang Jihye itu. Dia mendesah pelan, kemudian meraih majalah
itu dan kembali meletakkannya di jok belakang. “Aku juga tidak bisa berbuat
apa-apa, Jaejoong-ah. Kau tahu ‘kan , Presdir Baek yang
menyuruh kita melakukan ini?” kata Junsu pelan sebelum kemudian kembali sibuk
berkutat dengan ponselnya.
“Si tua sialan itu,” desis Jaejoong
sembari membuang mukanya dan menatap keluar jendela mobil.
“Jaejoong, jaga ucapanmu,” hardik
Junsu tepat setelah Jaejoong melampiaskan kekesalannya dengan mengumpat Presdir
Baek, CEO dari agensi ternama tempat
Jaejoong bernaung.
Jaejoong hanya berdecak kesal, mengabaikan
peringatan Junsu tadi. Dia benar-benar sudah muak dengan semua ini, dengan
semua hal yang berkaitan dengan skandal, yang memang hanya rekayasa belaka.
Meski begitu, tak ada yang bisa Jaejoong dan Junsu perbuat saat ini.
Skandal ini hanyalah sebuah skenario
picisan yang dikarang oleh Presdir Baek. Dengan alasan untuk mendongkrak
penjualan album, Presdir Baek yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu
memaksa Kim Jaejoong untuk melakukan drama klise yang mudah ditebak. Awalnya
Jaejoong ingin menolaknya. Dia tidak ingin membuat imej-nya runtuh dan
mengecewakan fans yang sangat dicintainya. Namun ganjaran yang akan dia terima
bila tidak mematuhi keinginan Presdir Baek terlalu besar, tidak setimpal dengan
apa yang sudah Jaejoong perbuat demi agensinya ini.
“Lakukan itu, Kim
Jaejoong. Bila tidak, aku tidak akan segan untuk memutuskan kontrak denganmu
dan membuat karir yang telah kau bangun selama ini hancur dalam sekejap,” kata-kata Presdir Baek terus saja terngiang di telinga Jaejoong,
membuat namja bermarga Kim ini hanya
bisa diam sembari menggertakan gigi, berusaha menahan amarah.
Jaejoong tahu benar dimana dan
bagaimana posisinya sekarang. Terdesak dan tersudut. Kontrak yang
ditandatanganinya beberapa tahun lalu pun masih jelas dalam ingatan Jaejoong.
Tak ada yang bisa Jaejoong perbuat meski agensinya itu memutuskan kontrak
tiba-tiba, dia hanya bisa menerimanya. Keseluruhan isi kontrak mungkin bisa
dibilang sebagian besar hanya menguntungkan pihak agensinya. Hanya saja
Jaejoong tidak memikirkan apa yang akan terjadi beberapa tahun ke depan bisa
menjadi buruk, saat dia menerima kontrak itu. Ambisi dan keinginan untuk
menjadi penyanyi dan melakukan debut membuatnya dengan mudah mengambil
keputusan pada saat itu.
Sekarang nasi telah menjadi bubur. Tak
ada yang bisa Jaejoong lakukan selain menjadi artis yang harus terus terkenal untuk
menghasilkan pundi-pundi uang bagi agensinya.
“Malam ini istirahatlah, Jaejoong-ah. Mungkin syuting iklan besok memakan
banyak waktu dan energi,” ujar Junsu. Kini tangannya beralih dari ponsel dan
sedang membolak-balik halaman di notes yang sering dia gunakan untuk mencatat
jadwal Jaejoong.
“Besok mau kujemput di rumah atau di
kantor? Atau kau mau berangkat sendiri?” tanya Junsu, sembari mulai sibuk
menggoreskan tinta di notes bersampul biru tua itu.
“Jemput di rumah saja, hyung,” jawab Jaejoong lirih. Tubuhnya
bergerak mencari posisi duduk yang nyaman, kemudian dia sandarkan kepalanya dan
kedua matanya mulai terpejam.
“Baiklah, kalau begitu akan kujemput
jam 7. Jangan bangun kesiangan, ne?”
Jaejoong tidak menyahut. Dia sibuk
menenangkan pikirannya yang terasa penat. Mendadak wajah kekasihnya muncul
dalam pikirannya. Jaejoong sangat merindukan Jung Yunho, kekasihnya yang sudah
3 hari ini tidak dia temui.
Bukan karena Jaejoong sibuk sehingga
dia tidak bisa bertemu dengan Yunho, melainkan perannya dalam skenario karya
Presdir Baek membuatnya tidak bisa bertemu dengan namja bermata sipit itu.
Jaejoong harus memutuskan komunikasi dengan Yunho untuk beberapa waktu, entah
berapa lama. Mungkin setidaknya sampai skenario ini tamat dan semuanya kembali
seperti semula. Saat tak ada lagi wartawan yang sibuk mengejarnya, saat penjualan
albumnya tak lagi mengusik Presdir Baek.
Jaejoong membuka matanya dan menatap
keluar jendela. Cuaca hari ini cukup cerah meski sedikit berawan. Jalanan kota Seoul
pun tampak ramai seperti biasa. Memikirkan Yunho membuat Jaejoong menghela
napas berat. Beberapa hari ini Jaejoong berusaha keras mengabaikan pesan dan
panggilan dari Yunho, meski itu berarti melawan keinginan hatinya.
Tidak memberitahukan tentang skandal
ini sebelumnya pada Yunho membuat Jaejoong merasa bersalah dan menyesal.
Seharusnya dia memberitahukan dahulu mengenai skandal ini sebelum Yunho
mendengarnya dari televisi atau media massa
lain. Seharusnya dia bisa menjelaskan realita dibalik semua ini pada Yunho dan
memberi pengertian padanya. Tapi itu semua tak bisa terwujud. Alasannya pun
hanya satu, karena Presdir Baek.
Presdir Baek yang mengekangnya
melakukan banyak hal. Presdir Baek yang mengarang semua berita bohong itu.
Presdir Baek yang sudah bertindak berlebihan hanya demi uang. Namun Presdir
Baek juga lah yang telah membuat seorang Kim Jaejoong berhasil melakukan debut
hingaa setenar sekarang. Entah Jaejoong harus berterima kasih pada orang itu
atau harus menyalahkan orang itu, Jaejoong tidak tahu.
Yang dia tahu sekarang hanya satu. Dirinya,
Kim Jaejoong, hanya mencintai Jung Yunho.
* * *
“Aku mau pulang, hyung, aku lelah. Tolong antarkan aku
pulang,” ucap Jaejoong dengan nada malas tanpa menatap Junsu sama sekali.
“Aku akan mengantarmu pulang, tapi
kita mampir dulu ke kantor, ne?”
sahut Junsu.
Alis Jaejoong berkerut ketika
mendengar jawaban dari manajernya. “Ada
perlu apa? Aku malas kesana,” ujar Jaejoong ketus.
“Aku ada urusan sebentar disana.”
“Kalau begitu aku tunggu di mobil
saja.”
“Mungkin aku akan lama, Jae-ah. Bagaimana kalau kau ke studio saja
sembari menungguku? Setidaknya agar kau tidak bosan,” kata Junsu sembari sibuk
merapikan benda-benda yang berserakan di dalam mobil.
Jaejoong terdiam, tampak berpikir
sejenak. “Kalau begitu aku pulang sendiri saja.”
“Jangan!” tandas Junsu cepat,
membuat Jaejoong menatapnya heran, “Bagaimana kalau wartawan sedang menunggu di
apartemenmu? Kau akan sulit mengelak kalau sendirian.”
“Tapi aku lelah, hyung,” ujar Jaejoong, kemudian
memalingkan wajahnya kesal.
“Sebentar saja, oke?”
Jaejoong menghela napas pelan, “Um,
ya, baiklah,” ujarnya menyerah.
Beberapa menit kemudian, van hitam Jaejoong berhenti di depan
lobi kantor agensinya. Jaejoong segera mengenakan topi beserta kacamata
hitamnya, kemudian keluar dari mobil. Dengan langkah cepat dan panjang,
Jaejoong masuk ke dalam gedung berlantai 5 ini, sementara unsu mengekornya di
belakang.
“Tunggu aku di studio saja, nanti
aku akan menyusul kesana,” kata Junsu sambil menyejajari langkah Jaejoong.
Jaejoong hanya mengangguk, matanya beredar ke seluruh ruangan, mencoba
mengantisipasi siapa tahu ada wartawan disini.
“Baiklah, kalau begitu aku pergi
dulu,” lanjut Junsu, lalu berjalan ke arah berlawanan dengan Jaejoong. Jaejoong
menghentikan langkahnya sejenak dan menatap punggung Junsu yang pergi menjauh.
Jaejoong berdecak pelan, kemudian
melanjutkan langkahnya, sembari merapikan rambutnya yang dirasa agak
berantakan. Kaki jenjangnya membawa namja kelahiran 16 Februari ini menuju ke
sebuah lift. Jemarinya bergerak
menekan tombol yang ada di samping lift
begitu dia sampai di depan pintu lift
yang masih tertutup.
Pintu lift terbuka beberapa detik kemudian dan Jaejoong segera masuk. Jarinya
menekan sebuah tombol di dalam lift. Lift mulai bergerak ke atas begitu
pintunya tertutup. Jaejoong sibuk dengan pikirannya sembari menunggu lift ini mengantarnya ke lantai 3.
‘Ting!’
Pintu lift kembali terbuka di lantai 2. Jaejoong yang sedari tadi menekuri
lantai, mendongakkan kepalanya dan menatap lurus ke depan.
“Jaejoong hyung,” sebuah suara menyapa Jaejoong, menerbitkan sebuah senyum di
wajah Jaejoong.
“Oh, Changmin-ah, kau disini?” tanya Jaejoong. Dia menggeser tubuhnya sedikit,
memberikan tempat untuk namja tinggi
yang baru saja masuk ke dalam lift
itu.
Namja yang dipanggil Changmin itu berdiri di samping Jaejoong. “Ne, hyung,
aku ada jadwal latihan hari ini,” jawabnya.
“Oh begitu,” gumam Jaejoong sembari
mengangguk samar.
“Hyung
ada perlu disini? Belakangan ini aku jarang melihat hyung disini.”
“Manajerku ada kepentingan disini,
jadi mampir dulu kemari,” sahut Jaejoong, matanya menatap Changmin sekilas.
“Daripada bosan menunggu di dalam mobil, aku jalan-jalan saja ke studio.”
“Eum,” gumam namja bernama lengkap Shim Changmin.
Kedua namja ini saling terdiam, tak ada pembicaraan lagi di antara
mereka, membuat suasana hening yang canggung memenuhi lift.
“Oh ya, hyung,” panggil Changmin.
Jaejoong menoleh menatap Changmin,
“Hm?”
“Soal berita skandalmu itu…”
Changmin menggantung kalimatnya, lalu menatap Jaejoong ragu. “Itu tidak benar ‘kan ?” tanyanya dengan
nada pelan.
Jaejoong tersenyum ketir. Matanya
kembali menatap lurus ke depan. “Kalau menurutmu begitu, Changmin-ah,” sahutnya lirih.
Changmin menghela napas pelan,
merasa bodoh karena telah menanyakan hal sensitif itu langsung pada Jaejoong, hyung sekaligus sunbae-nya. “Mianhe, hyung,” ujar Changmin.
“Untuk apa? Kau tidak perlu minta
maaf, memang seperti ini adanya,” tandas Jaejoong. Tangannya menepuk pundak
Changmin pelan. “Aku baik-baik saja.”
Changmin kembali menatap Jaejoong.
Di mata Changmin, Jaejoong yang sekarang berbeda dengan Jaejoong yang dulu. Meski
baru setahun terakhir ini kenal dengan Jaejoong, namun hubungan keduanya cukup
dekat. Dulu Jaejoong sering membantunya berlatih sebelum memulai debut. Dan
setelah Changmin mulai debut, Jaejoonglah orang yang sangat mendukungnya.
Kedekatan mereka itulah yang membuat Changmin cukup mengenal Jaejoong.
Menurutnya, sekarang Jaejoong
terlihat lebih murung, tak seperti biasanya. Meski Jaejoong tetap ramah dan
selalu tersenyum tiap kali menyapanya, Changmin merasa kalau Jaejoong tak jujur
dengan dirinya sendiri.
“Kudengar single Jepang-mu berhasil masuk Oricon,
Changmin-ah,” kata Jaejoong, berusaha
merubah suasana dan pembicaraan yang sempat canggung.
“Ne,
hyung,” sahut Changmin.
“Chukkae,
ne,” ujar Jaejoong, kemudian menatap
Changmin dengan senyuman lebar di wajahnya. Changmin balas tersenyum pada
Jaejoong.
“Gomawo,
hyung.”
‘Ting!’
Pintu lift terbuka saat lift
sampai di lantai 3. Jaejoong menatap keluar sekilas, kemudian menatap Changmin
lagi.
“Aku pamit dulu, Changmin-ah. Aku mau mampir ke studio dulu,” ucap
Jaejoong.
“Ne,
sampai jumpa, hyung,” ujar Changmin.
Jaejoong tersenyum, kakinya lalu melangkah keluar dari lift.
Jaejoong melambaikan tangannya
sekilas, tepat sebelum pintu lift
tertutup. Dia terdiam sesaat dan menghela napas berat. Kakinya yang baru
melangkah beberapa meter dari lift
terhenti ketika seorang yeoja
menyapanya.
“Oppa,”
panggil yeoja yang berdiri beberapa
langkah di depan Jaejoong. Jaejoong terkesiap kaget begitu melihat sosok yang
menyapanya barusan.
“Jihye-sshi,” sahut Jaejoong. Yeoja
di hadapannya yang ternyata adalah Wang Jihye tersenyum pada Jaejoong.
“Kebetulan sekali bertemu disini,” lanjut Jaejoong sembari tersenyum samar.
“Benar, kebetulan sekali,” kata yeoja berambut pendek sebahu itu. “Eum, oppa, ada yang ingin kubicarakan
denganmu. Apa oppa ada waktu
sekarang?”
* * *
Kim Jaejoong mengedarkan matanya ke
sekeliling. Saat ini dia sedang berada di kafetaria yang ada di gedung
agensinya, bersama seorang yeoja yang
juga sedang hangat menjadi perbincangan masyarakat. Tangan Jaejoong bergerak
meraih secangkir cappuccino hangat
yang ada di meja di hadapannya dan menyesapnya.
“Apa yang ingin kau bicarakan,
Jihye-sshi?” tanya Jaejoong setelah
meletakkan cangkirnya kembali, dan menatap lurus ke arah yeoja bernama Wang Jihye itu.
“Eum, ini tentang berita skandal
kita, oppa,” jawab Jihye pelan.
Jaejoong terdiam beberapa saat, kemudian mengalihkan pandangannya ke samping.
Jihye menatap Jaejoong ragu,
kemudian melanjutkan kalimatnya. “Apa perlu sampai sejauh ini?”
Jaejoong kembali menatap Jihye. Dia
menarik napas dalam-dalam, mencoba menetralisir emosinya sekarang. “Aku juga
tidak tahu, Jihye-sshi. Kurasa kita
memang harus tetap seperti ini sampai Presdir Baek memberi instruksi lain,”
jawab Jaejoong.
“Begitu,” desis Jihye pelan, dengan
nada kecewa. Mata besarnya menekuri lantai sembari terdiam, membuat suasana
menjadi sunyi.
“Mianhe,
Jihye-sshi,” ujar Jaejoong tanpa
melepas tatapannya dari Jihye
Jihye mendongakkan kepalanya dan
menatap Jaejoong. Tatapan Jaejoong begitu dalam, seolah berusaha menyampaikan
seluruh perasaannya sekarang lewat tatapannya.
“Gara-gara aku, image-mu jadi kurang baik di masyarakat. Padahal kau baru saja
mendapat penghargaan pertama sejak kau debut 2 tahun lalu,” lanjut Jaejoong
dengan suara lirih. Dia benar-benar merasa tidak enak hati dengan Jihye yang
harus terlibat juga dalam masalahnya. “Mianhe,
jeongmal mianhe,” imbuh Jaejoong.
“Ani,
gwaenchana, oppa,” sahut Jihye, sambil tersenyum pada Jaejoong. “Kalau ini yang
bisa kulakukan untuk membantu oppa,
maka akan kulakukan.”
Jaejoong berusaha tersenyum sembari
menatap Jihye, meski senyum di wajahnya terasa begitu pahit.
“Oppa,
hwaiting~!” kata Jihye sambil
mengepalkan tangannya, senyum masih setia menghiasi wajahnya yang cantik.
Jaejoong tertawa pelan melihat tingkah Jihye, lalu ikut mengepalkan tangannya
ke udara.
“Hwaiting~!”
seru Jaejoong. Keduanya kemudian tertawa bersama.
“Ah, kalau begitu, sebagai
permintaan maaf, bagaimana kalau kutraktir makan malam, Jihye-sshi?” ujar Jaejoong kemudian.
“Jinjjayo,
oppa?” kata Jihye, kaget dengan
tawaran Jaejoong.
Mereka jarang sekali pergi bersama,
kecuali saat melaksanakan ‘skenario’ Presdir Baek. Biasanya mereka akan pergi
ke luar bersama hanya untuk berita skandal mereka, bukan untuk alasan
pertemanan seperti sekarang.
Jaejoong mengangguk pelan. “Apa
malam ini kau ada waktu?” tanya Jaejoong.
“Kurasa malam ini aku tidak ada
jadwal,” jawab Jihye dengan riang. Sudah lama dia ingin pergi ke luar bersama
Jaejoong, bukan demi skandal mereka, tapi sebagai teman yang menghabiskan waktu
bersama.
“Bagaimana kalau kuundang kau ke
rumahku. Nanti akan kutunjukkan betapa enaknya masakanku.”
“Bolehkah, oppa?”
“Tentu saja. Nanti akan kujemput,
bagaimana?” ujar Jaejoong lagi.
“Baiklah. Jeongmal gomawo, oppa,” sahut
Jihye sembari tersenyum lebar.
Jaejoong balas tersenyum ke arah
Jihye. Tidak ada salahnya juga menghabiskan waktu bersama Wang Jihye, daripada
dia sendirian di rumah yang sepi. Setidaknya, mungkin ini bisa membuatnya sedikit melupakan Jung
Yunho.
* * *
Seorang namja bermarga Jung bergerak gelisah di atas tempat tidurnya.
Berkali-kali dia berusaha mencari posisi yang nyaman untuk tidur, namun
tampaknya namja bernama lengkap Jung
Yunho ini tak kunjung terlelap. Pikirannya terus melayang pada Kim Jaejoong dan
juga skandal yang tengah menimpa kekasihnya itu, membuat kedua matanya masih
tetap terjaga.
“Aish~” desis Yunho kesal, sambil
mengubah posisi tubuhnya menjadi terlentang. Mata bak musangnya menatap
langit-langit kamarnya sementara bayangan Kim Jaejoong terus berkelebat dalam
pikirannya.
Kedua bola matanya kemudian menatap
jam dinding. Meski kamarnya gelap tanpa penerangan lampu, namun sinar bulan
yang masuk lewat jendela kamarnya yang cukup lebar, cukup bagi Yunho untuk
melihat sekeliling kamarnya dalam keremangan. Memang sudah menjadi kebiasaan
bagi Yunho, dia tidak pernah menutup jendelanya dengan korden pada waktu malam.
‘Hampir jam 11,’ batin Yunho. Namja ini kemudian terdiam beberapa
saat, tampak sedang memikirkan sesuatu.
Selang semenit kemudian, Yunho
segera bangkit dari tempat tidur. Tangannya dengan cepat meraih meraih kaus
putih dan celana hitam panjang yang tersampir di kursi dekat meja kerjanya,
lalu mengenakannnya dengan cepat. Lalu, disambarnya jaket yang tergantung di
dekat pintu. Tak lupa, diambilnya kunci mobil dan ponsel yang tergeletak di
meja kerjanya.
Yunho melangkah keluar dari kamarnya
sembari mengenakan jaketnya. Ponselnya sudah dia masukkan ke saku celananya dan
kunci mobil masih tergengggam erat di kepalan tangan kanannya.
‘Aku harus memastikannya sendiri,’
batin Yunho sambil mempercepat langkahnya keluar dari apartemen dan menuju ke
mobilnya.
* * *
Sebuah mobil hitam berhenti tak jauh
dari sebuah rumah yang dari luar tampak cukup mewah. Yunho, yang mengemudikan
mobil itu, melepas sabuk pengamannya setelah sebelumnya mematikan mesin mobil, sambil
mengamati rumah itu lekat-lekat. Tangannya merogoh sakunya dan mengambil ponsel.
Beberapa kali irisnya menatap ponsel
dalam genggamannya dan rumah yang sedang dia amati bergantian. Yunho menghela
napas pelan, kemudian jemarinya mulai bergerak lincah di atas ponselnya.
Ditempelkannya ponsel yang sudah dia pakai 2 tahun belakangan ini ke telinga
kanannya, sementara jemari tangan kirinya bergerak mengetuk-ngetuk stir mobil.
Tut… tut…
Yunho bersabar,
menunggu panggilannya diangkat.
Tut… tut…
30 detik berlalu, tapi panggilannya
tak juga diangkat. Matanya mulai menatap gelisah ke arah rumah itu.
Yunho lantas berdecak kesal ketika
yang menjawab panggilannya malah operator telepon. Tapi Yunho tak menyerah
sampai disini. Dia mencoba menghubungi nomor yang sama, yaitu nomor kekasihnya.
Tentu saja, rumah yang sedari tadi tak lepas dari tatapan Yunho tak lain adalah
rumah milik penyanyi Kim Jaejoong.
Baru setelah 3 kali panggilannya
hanya dijawab oleh operator telepon, Yunho menyerah dan meletakkan ponselnya
dengan kesal ke dashboard mobil. Jemari
tangan kirinya masih setia mengetuk-ngetuk stir mobil, sementara tangan
kanannya menopang dagunya.
‘Benar, aku harus memastikannya
sendiri,’ kata Yunho dalam hati, berusaha meyakinkan keputusan yang diambilnya.
Bola matanya bergerak mengamati
sekeliling rumah Jaejoong. Beberapa kali Yunho melirik kaca spion, memastikan
tidak ada orang yang mencurigakan di dekat rumah Jaejoong. Setelah dirasa tidak
ada siapa pun, termasuk wartawan, dalam radius 100 m dari rumah Jaejoong, Yunho
merapatkan jaketnya dan mengambil ponselnya.
Yunho membuka pintu mobil dan
melangkah keluar. Angin malam yang cukup kencang membuat Yunho mengatupkan
rahangnya kuat-kuat, berusaha menahan dinginnya malam di awal musim gugur.
Kepala Yunho berputar sekali, memastikan keadaan memang benar-benar sepi dan
tidak ada siapa pun kecuali dirinya.
Yunho menghela napas pelan, kemudian
mulai berjalan meninggalkan mobilnya dan menuju rumah Jaejoong. Sebelum
melewati pagar rumah pun, Yunho menyempatkan diri untuk menengok ke sekitar,
sekadar memastikan keadaan. Kaki jenjangnya berhenti melangkah ketika dia
sampai tepat di depan pintu rumah Jaejoong.
Awalnya dia ingin langsung menekan
beberapa tombol yang merupakan kombinasi kode pengaman rumah Jaejoong dan
segera masuk ke dalam menemui kekasihnya, tapi niat itu dia urungkan. Tangannya
ganti bergerak untuk menekan tombol bel yang ada di samping pintu.
‘Ting tong!’
Suara bel terdengar menggema di
dalam rumah. Yunho menunggu beberapa saat sambil menggosokkan kedua tangannya
yang mulai kedinginan.
‘Ting tong!’
Yunho menekan bel sekali lagi
setelah 5 menit berlalu tanpa ada respon dari si pemilik rumah. Setelah itu,
Yunho kembali menekan bel beberapa kali. Namun hasilnya tetap nihil.
Bisa saja Yunho berasumsi kalau
Jaejoong sudah terlelap dan mengabaikan tamu di tengah malam seperti ini, atau
berasumsi bahwa Jaejoong belum pulang ke rumah dan masih terjebak dengan
pekerjaan keartisannya. Tapi namja
bermarga Jung ini mengabaikan semua asumsi atau kemungkinan itu. Perasaannya
yakin, Jaejoong ada di dalam rumah dan dia belum terlelap tidur. Lagipula, Lamborghini milik Jaejoong terparkir di
halaman, jadi asumsi kedua bisa diabaikan.
Yunho tak lagi mencoba memencet bel,
namun mulai mengetuk pintu.
“Kim Jaejoong,” panggil Yunho dari
luar.
Lagi-lagi 5 menit berlalu tanpa
respon dari Jaejoong. Yunho berdecak pelan, kemudian mengepalkan tangannya dan
ganti menggedor-gedor pintu rumah Jaejoong.
“Jae!” panggil Yunho, setengah
berteriak.
Tangannya terus menggedor rumah
Jaejoong. Dia tak peduli misalnya orang-orang sekitar mulai terganggu karena
kegaduhannya. Dia harus bertemu Jaejoong sekarang.
“Jae, ini aku!” seru Yunho.
Beberapa menit berselang, Yunho
mulai berhenti menggedor pintu rumah Jaejoong. Kepalanya menunduk dalam,
sementara tangan kanannya masih bersandar pada pintu rumah.
“Jae, kumohon, bukalah pintunya. Aku
tahu kau ada di dalam. Aku harus bicara denganmu,” ujar Yunho, kali ini nada
suaranya berubah lirih.
Yunho menegakkan kepalanya dan
menatap sendu ke arah pintu. Tangan kanannya yang semula bersandar pada pintu
kini terjatuh begitu saja ke samping tubuhnya. Beberapa kali Yunho menarik
napas dalam-dalam, dadanya terasa sesak sekarang.
Hampir 10 menit dia hanya berdiri
diam di depan pintu rumah Jaejoong. Kepalanya tertunduk dalam, matanya menekuri
lantai. Sesekali dia melirik ke sekitar, mengecek keadaan tetap sunyi tanpa ada
gerak-gerik mencurigakan. Yunho menghela napas lagi sembari mengangkat
kepalanya. Kakinya mundur selangkah demi selangkah secara perlahan, sementara
matanya masih menatap lekat ke arah pintu, berharap ada sedikit harapan.
Sampai di pagar, Yunho menerawang
langit malam tanpa bintang dengan tatapan sendu sekilas, kemudian membalikkan
tubuhnya dan berjalan menuju mobilnya. Tangannya merogoh saku celana dan
mengambil kunci mobil. Jemarinya lekas bergerak meraih gagang pintu dan
membukanya.
‘Aku akan menunggu, Jae. Aku akan
terus menunggu, karena aku percaya kau akan kembali,’ batin Yunho tepat sebelum
masuk ke dalam mobilnya sembari kedua bola matanya menatap lurus ke rumah Jaejoong.
* * *
“Bagaimana pasta buatanku? Enak
bukan?” tanya Jaejoong sembari sibuk mencuci piring. Dia melirik sekilas pada yeoja yang tengah berkeliling di ruang
tengah.
“Eum, lezat sekali, oppa, tidak kalah dengan restoran
Italia,” jawab yeoja bernama lengkap
Wang Jihye itu. Kakinya yang ramping setia mengelilingi ruang tengah apartemen
Jaejoong, sembari sibuk memandangi deretan foto yang dipajang di sana .
Jaejoong tersenyum bangga, kemudian
mengeringkan tangannya.
‘Ting tong!’
Suara bel terdengar menggema di
dalam rumah Jaejoong. Jaejoong yang semula sedang mengambil 2 gelas tinggi,
meletakkan gelas tersebut di meja makan dan berjalan ke arah pintu depan.
“Siapa yang datang malam-malam
begini?” ujar Jaejoong dengan nada rendah. Iris hitamnya melirik sekilas jam
dinding yang ada di ruang tengah.
‘Ting tong!’
Orang yang ada di depan pintu
sepertinya sangat tidak sabar, sehingga memencet bel lagi. Jaejoong menggerutu
pelan dan mempercepat langkahnya.
‘Awas saja kalau itu wartawan, akan
kutendang dia dari sini,’ batin Jaejoong sembari mendekat ke arah pintu.
Matanya kemudian mengintip dari
balik pintu melalui lubang pintu, dia berniat untuk memastikan dulu siapa yang
bertamu di hampir tengah malam ini. Seketika napas Jaejoong tercekat begitu
otaknya dengan cepat mengenali namja
yang berdiri di depan pintu.
“Yunho,” bisik Jaejoong begitu
melihat namja bertubuh tinggi itu.
Kaki Jaejoong terasa lemas dan dia
mundur beberapa langkah dari pintu. Tangannya segera memegang dinding, menahan
tubuhnya agar tidak ambruk. Jantungnya pun kini mulai berdetak lebih cepat.
Beberapa kali Jaejoong menghirup
oksigen dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya yang terasa kosong. Perlahan
Jaejoong berbalik dan berjalan kembali menuju dapur. Dia tidak tahu harus
berbuat apa sekarang. Otaknya serasa kosong.
“Siapa yang datang, oppa?” tanya Jihye yang melihat Jaejoong
berjalan menuju dapur.
Namun Jaejoong yang masih belum bisa
berpikir jernih kembali tidak mendengar kata-kata Jihye. Dia berlalu begitu
saja dan mengabaikan Jihye yang menatapnya bingung.
Tak berapa lama kemudian, Jaejoong berjalan
dari dapur menuju ruang tengah sembari membawa 2 gelas tinggi berserta sebotol wine. Jaejoong menatap Jihye yang tampak
sibuk mengamati apartemennya sekilas, lalu meletakkan gelas itu di meja kaca yang
ada di tengah ruangan. Tangannya kemudian dengan cekatan membuka tutup botol wine itu, dan menuangkannya
masing-masing ke dalam 2 gelas itu.
“Kau suka membaca juga, oppa?” tanya Jihye ketika matanya
menangkap ada rak buku yang cukup tinggi di ruangan itu. Jemarinya menelusuri
tiap judul buku yang tertata rapi di sana .
“Y-ya, aku suka membaca kalau
senggang,” jawab Jaejoong dengan nada sedikit terbata, kemudian duduk di sebuah
sofa dan meraih salah satu gelas yang ada di meja.
“Rumahmu cukup rapi untuk ukuran
seorang namja yang tinggal disini, oppa,” ujar Jihye sambil duduk di sofa
panjang yang ada di samping sofa yang diduduki Jaejoong.
“Begitulah,” sahut Jaejoong singkat,
kemudian menyodorkan gelas berisi wine-nya
ke arah Jihye, “Ayo, bersulang.”
Jihye mengambil gelasnya, lalu
bersulang dengan Jaejoong. Yeoja
berambut pendek ini menyesap wine-nya
perlahan.
‘Tok tok tok!’
Sebuah ketukan di pintu membuat
Jihye mengernyit bingung. Bukankah tadi Jaejoong sudah menemui tamunya?
“Kurasa ada seseorang yang mengetuk
pintu, oppa,” ujar Jihye sambil
meletakkan gelasnya. Kerutan di dahinya kian dalam saat melihat Jaejoong justru
diam dengan kepala menunduk.
“Oppa,”
panggil Jihye lagi.
“Ah, n-ne?” sahut Jaejoong
gugup.
“Siapa yang datang?” tanya Jihye,
matanya menatap lekat ke arah Jaejoong.
“Kim Jaejoong.” Seketika Jaejoong
terkesiap kaget saat seseorang di depan rumahnya memanggil namanya. Jaejoong
mulai menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gugupnya yang mendadak
muncul.
‘Apa yang harus kulakukan?’ batin
Jaejoong, dengan setengah frustasi.
Beberapa menit berselang, suara
ketukan pintu itu berubah menjadi kasar. Sepertinya orang yang tadi memanggil
Jaejoong mulai menggedor-gedor pintu.
Jihye yang terkejut mendengar suara
gaduh ini menatap Jaejoong bingung. Tangannya terulur untuk menyentuh bahu
Jaejoong. Jaejoong yang merasakan seseorang memegang pundaknya terkesiap kaget.
Kening Jihye kembali berkerut ketika dia melihat ekspresi Jaejoong. Jaejoong
tampak sangat kalut dan bingung, dia seperti kehilangan arah.
“Oppa,
gwaenchanayo?” tanya Jihye yang
khawatir melihat Jaejoong. Sementara Jaejoong berusaha mengendalikan dirinya
dan memaksakan seulas senyum.
“N-ne,” jawabnya sedikit terbata, “Aku akan
melihat keluar dulu,” lanjutnya sembari beranjak dari tempat duduknya dan
berjalan menuju pintu.
Jaejoong berhenti beberapa langkah
dari pintu. Tangannya mulai bergetar, dan keringat dingin membasahi telapak
tangannya. Jaejoong bingung harus bagaimana. Dia juga bingung kenapa tubuhnya
bereaksi sampai seperti ini saat melihat Yunho. Di satu sisi, dia ingin bertemu
kekasihnya itu. Tapi di sisi lain hatinya melarangnya untuk menemui Yunho.
“Jae!” suara bass milik Yunho
kembali memenuhi telinganya. Jaejoong mengepalkan tangannya kuat, membuat buku-buku
jarinya memutih.
“Jae, ini aku!” seru Yunho lagi.
Jaejoong mengatupkan rahangnya kuat-kuat, berusaha mengendalikan emosinya.
Memikirkan Yunho sedang berdiri di
balik pintu itu membuat rasa rindu yang Jaejoong pendam beberapa hari ini mulai
menguap ke permukaan. Amarah dan rasa muaknya terhadap skandal ini bercampur
dengan rasa rindunya pada Yunho yang sudah sampai pada batasnya. Dia sudah
tidak tahan lagi. Masa bodoh dengan skandal itu.
Dengan cepat kaki Jaejoong melangkah
menuju pintu. Namun mendadak gerakan tangannya yang terulur hendak membuka
pintu terhenti ketika wajah Presdir Baek melintas di benaknya. Perkataan
Presdir Baek yang mengatakan bahwa Jaejoong tidak boleh menemui siapa pun di
luar pekerjaannya terngiang kembali di telinganya. Seketika tangan Jaejoong
terjatuh dengan lemas.
“Jae, kumohon, bukalah pintunya. Aku
tahu kau ada di dalam. Aku harus bicara denganmu.” Suara Yunho yang mulai
melirih membuat Jaejoong terpaku. Meski dia tidak bisa melihat wajah Yunho,
tapi dari suaranya dia bisa menangkap kepedihan yang dalam.
Jaejoong membalikkan tubuhnya. Punggung serta kepalanya
dia sandarkan ke pintu. Matanya terpejam erat, mencoba mengendalikan semua
emosinya yang meluap saat ini.
Jaejoong terdiam di sana
cukup lama, sampai akhirnya dia menyadari sebuah suara langkah kaki yang kian
menjauh, dan tak lama setelah itu, tergantikan oleh suara deru mobil yang kian
makin lama makin sayup-sayup terdengar. Jaejoong menghela napas berat. Kelopak
matanya terbuka, dia mulai menegakkan tubuhnya lagi. Jaejoong menolehkan kepala
ke belakang, menatap pintu rumahnya dengan tatapan sendu. Jaejoong tahu benar
kalau dia sudah kehilangan kesempatan yang tak mungkin datang dua kali.
“Oppa,”
panggil Jihye. Jaejoong segera mengalihakn pandangannya dan menatap Jihye yang
tengah berdiri di depannya. Jihye tampak tersenyum samar.
“Ini sudah larut malam, sebaiknya
aku pamit pulang,” ujar Jihye, kemudian membungkukkan tubuhnya. “Gomawo atas makan malamnya, oppa,” lanjutnya sembari tersenyum ke
arah Jaejoong.
Jihye tahu, seseorang yang tadi
datang bukanlah orang asing yang tidak Jaejoong kenal, melainkan seseorang yang
sangat ingin Jaejoong temui. Jihye bisa menebak dari ekspresi Jaejoong
sekarang.
Jaejoong balas tersenyum pada Jihye.
“Kuantarkan pulang, Jihye-sshi,”
katanya sambil bergegas masuk ke dalam untuk mengambil kunci mobilnya.
“Aniya,
tidak usah repot-repot, oppa.”
“Tidak, ini sudah larut. Sebaiknya
aku mengantarmu pulang,” tandas Jaejoong sambil melirik Jihye sekilas.
‘Semuanya akan baik-baik saja. Ya,
semuanya akan baik-baik saja,’ kata Jaejoong berkali-kali dalam hati.
* * *
-to be continued-
0 komentar:
Posting Komentar