28 Februari 2014

SKANDAL - Chapter 9

SKANDAL
Chapter 9

-xxx-

Junsu berkali-kali menatap gelisah ke arah jam tangannya. Sesekali pula menatap gelisah ke sekelilingnya.
            Junsu sedang berada dalam mobil van hitam yang biasa dia pakai untuk mengantar Jaejoong kemana-mana. Meski sekarang baru jam 6 pagi, tapi Junsu sudah stand by di depan tempat tinggal Jaejoong untuk menjemput namja itu. Hari ini Jaejoong ada jadwal syuting, jadi Junsu sudah menjemputnya pagi-pagi agar tidak terlambat dan tidak terjebak kemacetan.
            Tapi sekarang sudah lewat 15 menit dari waktu yang mereka janjikan. Junsu sudah berkali-kali menghubungi ponsel Jaejoong, tapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya Junsu putuskan untuk menunggu saja.
            Namun kesabaran Junsu hanya bertahan selama 15 menit saja. Sekarang Junsu sudah gelisah menunggu. Selain takut terlambat yang ujung-ujungnya bisa membuat jadwal Jaejoong hari ini berantakan, Junsu juga khawatir terjadi sesuatu pada Jaejoong. Maka dari itulah, manajer Jaejoong ini akhirnya memutuskan untuk menjemput Jaejoong langsung di rumahnya.
            Setelah memasukkan ponsel ke saku dan meraih tas gendongnya, Junsu melangkah keluar dari mobil. Dia segera berjalan menuju kediaman Jaejoong setelah menyalakan alaram mobil. Junsu melangkah cepat dan terburu-buru.
            Tak berapa lama kemudian, Junsu sampai di depan pintu apartemen Jaejoong. Sebelum menekan bel, Junsu sekali lagi berusaha menelepon Jaejoong. 5 detik, 15 detik, 30 detik… tidak ada jawaban. Junsu menarik napas sejenak, lalu menekan bel di samping pintu.
            Suara bel yang menggema di dalam rumah dapat ditangkap oleh telinga Junsu. Junsu menunggu di depan pintu, tapi hingga 3 menit kemudian, Jaejoong tak kunjung membukakan pintu. Junsu menekan bel lagi, bukan hanya sekali tapi 3 kali berturut-turut. Lama Junsu menunggu, tapi tampaknya si penghuni tak memberikan tanda-tanda akan membukakan pintu.
            ‘Apa Jaejoong tidak di rumah?’ pikir Junsu.
            Junsu menekan bel lagi, sebelum kemudian menyerah. Junsu yang sudah tak sabar dan mulai khawatir akhirnya memilih untuk langsung masuk saja ke dalam rumah Jaejoong. Junsu menekan beberapa kombinasi angka, lalu meraih gagang pintu dan masuk ke dalam.
            Junsu segera mengganti sepatunya dengan sandal rumah, lalu masuk ke dalam. Rumah Jaejoong sekarang terlihat lebih rapi dan bersih dari yang terakhir kali Junsu lihat ketika datang kemari.
            “Jaejoong-ah,” panggil Junsu.
            Sunyi. Tidak ada suara Jaejoong yang menyahut. Junsu jadi makin khawatir. Matanya dengan sigap menatap ke sekeliling apartemen Jaejoong. Jangan-jangan ada perampok yang masuk ke apartemen Jaejoong?
            ‘Tidak, tidak, tidak,’ batin Junsu. Kepalanya menggeleng, berusaha mengusir kemungkinan buruk yang muncul di benaknya.
            “Jaejoong,” panggil Junsu lebih keras, “Ini aku,” imbuh Junsu.
            Masih sunyi. Junsu segera mempercepat langkahnya menuju ke kamar Jaejoong. Baru saja Junsu hendak meraih gagang pintu kamar Jaejoong, pintu itu mengayun terbuka. Jaejoong yang sepertinya baru bangun tidur berdiri di sana, dan langsung saja Junsu menarik napas lega. Untung tidak terjadi sesuatu pada Jaejoong, sepertinya namja itu hanya terlambat bangun saja.
            “Hyung, kau di sini?” tanya Jaejoong sembari menggosok-gosok sebelah matanya dengan punggung tangan.
            “Yah Kim Jaejoong!” hardik Junsu, membuat Jaejoong terlonjak kaget.

            Junsu berusaha mengendalikan napasnya sebelum kemudian memarahi Jaejoong, “Kau ini. ‘Kan sudah kubilang akan kujemput jam 6, kenapa sekarang baru bangun, huh? Kau ini membuatku khawatir, Kim Jaejoong,” kata Junsu cepat, membuat Jaejoong yang masih setengah sadar karena baru bangun dari tidur hanya bisa melongo.
            Baru setelah beberapa menit, kesadaran Jaejoong mulai pulih sepenuhnya. Dan langsung saja dia terperanjat kaget begitu melihat jam dinding, “Eh?! Sudah jam segini?!” serunya.
            Jaejoong menatap Junsu yang tengah melipat tangan di depan dada sambil memasang muka seram, lalu tertawa canggung sembari menggaruk tengkuknya. Sementara Junsu mendengus kesal melihat Jaejoong yang berusaha tampak tidak bersalah ini.
            “Hehe, mianhe, hyung. Semalam aku tidak bisa tidur, jadi bangun kesiangan. Aku sudah pasang jam weker kok, sungguh, tapi mungkin tidak mempan, hehehe,” kata Jaejoong, berusaha memberikan alasan agar Junsu mengerti.
            “Dari tadi aku meneleponmu, apa tidak dengar juga?” tandas Junsu cepat, membuat Jaejoong jadi gugup karena disudutkan seperti itu.
            “Ah i-itu… sepertinya semalam aku mematikan dering ponselnya, hyung. Maksudnya biar tidak ada yang menggangguku, supaya aku bisa cepat tidur,” jawab Jaejoong dengan sedikit terbata. Junsu yang sedang marah ini terlihat sangat menakutkan di mata Jaejoong.
            “Dasar kau,” desis Junsu kesal sambil menggelengkan kepala, “Ya sudah sana cepat mandi dan bersiap, nanti kita terlambat!” teriak Junsu tanpa ampun, membuat Jaejoong langsung melesat ke dalam kamarnya.
-xxx-
            Dengan menggigit sepotong roti di mulutnya, Jaejoong dengan cepat memasukkan barang-barang apa saja yang perlu dibawanya ke dalam tas dan segera menggendong tasnya di bahu lalu melesat keluar dari kamarnya.
            Junsu tengah berdiri di depan pintu dengan kedua tangan terlipat di dada. Mukanya masam, sepertinya mood Junsu kurang baik hari ini. Membuat Jaejoong menutup mulutnya rapat-rapat, tidak ingin salah bicara yang mungkin akan membuat Junsu marah-marah lagi kepadanya.
            Jaejoong segera meraih sepatu yang ada di rak, mengambilnya secara acak. Sekarang bukan waktu yang tepat dan memang tidak ada waktu untuk memilih apa yang matching dengan pakaiannya hari ini. Toh nanti stylish-nya juga yang akan mengurusnya, jadi Jaejoong tak terlalu ambil pusing.
            Setelah memakai sepatunya dengan agak asal karena terburu-buru, Jaejoong beru teringat kalau MP3-player biru miliknya tertinggal di meja di ruang tengah. Baru saja Jaejoong berbalik dan melangkah beberapa meter hendak mengambilnya, Junsu langsung bertanya dengan nada yang keras, membuat langkah Jaejoong seketika terhenti. Jaejoong menengok, menatap horror ke arah Junsu yang sekarang memandangnya dengan efek api sebagai latar belakang, seperti di komik-komik.
            “Mau kemana?” tanya Junsu.
            “I-itu… MP3-player-ku tertinggal di meja, hyung. Aku mau mengambilnya sebentar,” jawab Jaejoong dengan sedikit terbata.
            Junsu yang tidak sabar lagi berusaha mengendalikan emosinya dengan menggenggam tangan kuat-kuat, “Yah! Sudah tidak ada waktu lagi! Kita harus berangkat… sekarang!” ucap Junsu dengan penuh penekanan.
            “Ba-baiklah, hyung,” sahut Jaejoong.
            Jaejoong langsung mengurungkan niatnya untuk mengambil MP3-player kesayangannya yang biasa menemaninya kemana dan dimana saja. Junsu yang sudah lebih dulu berjalan keluar, membuat Jaejoong setengah berlari mengejar manajer-nya.
            “Haah~” desah Jaejoong.
            Hari ini mungkin akan jadi hari yang panjang.
-xxx-
            Jaejoong mengenakan seat-belt­-nya, segera setelah duduk di dalam van. Junsu duduk di belakang kemudi, sementara Jaejoong duduk di belakang. Tanpa basa-basi lagi, Junsu menyalakan mesin mobil dan mulai menginjak pedal gas. Jaejoong agak tersentak ke belakang dengan gerakan Junsu yang mendadak itu. Sepertinya Junsu berniat ngebut pagi ini.
            Merasa Junsu sedang tidak dalam mood yang baik untuk diajak mengobrol, Jaejoong lebih memilih untuk bungkam. Diambilnya ponsel dari dalam tasnya, dan beberapa detik kemudian Jaejoong mulai tenggelam dalam dunianya sendiri.
            Junsu yang meskipun sedang sibuk menyetir dan berkonsentrasi dengan jalan raya, sesekali melirik Jaejoong yang ada di kursi belakang melalui kaca spion, memperhatikan namja itu lekat. Dilihatnya Jaejoong yang tengah asyik bermain dengan ponsel pintarnya.
            Junsu berpikir sejenak, masih dengan konsentrasi menyetir. Dia merasa Jaejoong agak berbeda hari ini. Tapi meskipun begitu, Junsu sendiri tidak tahu apa yang berbeda. Bukan soal gaya berpakaian Jaejoong hari ini. Seperti biasa, Jaejoong lebih suka dengan gaya casual. Bukan juga soal bangun terlambat. Meski jarang, Jaejoong memang terkadang suka bangun terlambat yang membuat Junsu kerepotan.
            Tanpa sadar Junsu mengerutkan dahinya, tampak sedang berpikir keras. Sekalinya Junsu sudah penasaran dan belum menemukan jawabannya, maka dia akan terus memikirkannya untuk seharian itu.
            Sementara Junsu sibuk dengan pikirannya, Jaejoong yang mulai bosan bermain dengan ponselnya akhirnya memilih untuk menatap ke luar, ke arah jalanan Seoul pagi ini yang sudah ramai. Jaejoong mengedarkan pandangannya, menatap bangunan-bangunan yang ada di pinggir jalan. Kadang Jaejoong melemparkan pandangannya ke atas, memandang langit yang pagi yang cerah berwarna biru dengan sedikit awan yang berarak. Iseng, Jaejoong menurunkan kaca jendelanya dan membiarkan angin berhembus masuk mengenai wajah dan membuat rambutnya sedikit berantakan.
            “Jaejoong~” tegur Junsu begitu melihat Jaejoong mulai menjulurkan kepalanya sedikit keluar jendela.
            Mendengar Junsu menegurnya, Jaejoong kembali memasukkan kepalanya dan segera menutup kaca jendela, tanpa erangan protes yang biasa dikeluarkannya meski bibirnya agak mengerucut kesal karena kesenangannya terganggu.
            Mencoba mencari aktivitas lain, Jaejoong mengambil sebuah majalah yang tergeletak di kursi sampingnya dan mulai membuka-buka halamannya. Jaejoong berdecak kesal begitu mendapati bahwa itu adalah majalah lama. Tapi tetap saja Jaejoong melanjutkan kegiatan membolak-balik halaman majalah itu, toh kenyataannya tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya sekarang.
            Tidak ada yang menarik, begitu pikir Jaejoong. Dia hanya membaca sekilas artikel-artikel yang ada di sana. Tangannya yang akan membalik halaman baru terhenti ketika sepasang matanya menangkap sosok aktris muda yang ada di halaman itu. Aktris muda berambut pendek yang se-agensi dengannya, Wang Jihye.
            “Ah iya,” gumam Jaejoong. Melihat wajah Wang Jihye membuat Jaejoong teringat sesuatu yang sudah dipikirkannya semalaman tadi, yang berhasil membuatnya bangun terlambat.
            Jaejoong berdeham sejenak sembari menegakkan posisi duduknya. Jaejoong berusaha melihat Junsu melalui kaca spion yang ada di depan. Dilihatnya Junsu yang sedang memasang ekspresi serius dan dengan pandangan lurus ke depan. Jaejoong berdeham lagi, kali ini lebih pelan dari sebelumnya. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam, berusaha memantapkan hati. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk mengatakannya pada Junsu.
            ‘Lakukan sekarang, Kim Jaejoong,’ batin Jaejoong, sambil menghela napas pelan.
Jaejoong menatap ke arah spion, lalu memanggil Junsu pelan, “Hyung.”
            Junsu tidak mengalihkan pandangannya dari jalan dan hanya menggumam sebagai respon, “Hng?”
            Jaejoong menarik napas lagi, ‘Ayo katakan, Kim Jaejoong. Kau sudah memikirkannya baik-baik semalaman. Semuanya pasti akan berjalan lancar,’ kata Jaejoong dalam hati.
            Tidak mendapat respon lagi dari Jaejoong membuat Junsu melirik ke arah spion dan menatap Jaejoong, “Ada apa?” tanya Junsu datar.
            “Eum… begini hyung, ada yang ingin kukatakan,” kata Jaejoong. Matanya balas menatap Junsu melalui kaca spion.
            “Katakan saja,” sahut Junsu, masih dengan nada datar dan biasa.
            “Besok aku ingin mengadakan sebuah konferensi pers. Tolong hyung siapkan semuanya,” kata Jaejoong. Dari nada suaranya, terdengar penuh antisipasi, antisipasi terhadap respon yang akan diberikan Junsu.
            “Konferensi pers?” tanya Junsu, dahinya berkerut makin dalam dan kepalanya agak memiring bingung, “Untuk apa?” imbuh Junsu yang masih tidak mengerti maksud Jaejoong.
            “Aku… akan mundur dari panggung sandiwara ini, hyung. Aku akan mengakhirinya.”
‘Ccckkiiiiitttt!’
            Junsu refleks menginjak pedal rem kuat-kuat, membuat mobil yang mereka kendarai berhenti mendadak dan keduanya agak terlontar ke depan. Untung ditahan oleh seat-belt yang melingkar di tubuh mereka sehingga keduanya terhindar dari benturan.
            Jantung Jaejoong yang berdetak kencang, bereaksi cepat karena kejadian rem mendadak barusan, membuat Jaejoong mengelus dadanya pelan. Sementara Junsu membelalakkan matanya, kaget sekaligus syok mendengar kata-kata Jaejoong barusan.
            Junsu segera menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Jaejoong tajam, “A-apa maksudmu, Jaejoong-ah?” tanyanya.
            Jaejoong balas menatap Junsu dengan tatapan penuh keyakinan. Ya, semalam dia sudah menyiapkan diri untuk mengatakan hal ini pada Junsu. Dia sudah memikirkannya baik-baik dan matang-matang. Maka dari itulah sekarang tidak ada waktu lagi untuk ragu, dia harus yakin dan memantapkan hati dengan keputusannya ini.
            “Aku…”
‘Tiinn! Tiinn! Tiinn! Tiinn!’
            Belum sempat Jaejoong menyelesaikan kata-katanya, suara klakson mobil yang terdengar dari arah belakang mereka begitu memekakkan telinga, membuat keduanya tersadar kalau mobil yang mereka naiki ini sekarang sedang dalam posisi diam di tengah jalan.
            Junsu yang menyadari hal itu, dengan sigap memegang stir mobil kembali dan mulai menginjak pedal gas. Tidak ingin menimbulkan kemacetan apalagi sampai mengundang keributan, Junsu segera menjalankan mobilnya. Van hitam mereka pun mulai berjalan kembali.
            Junsu terdiam, fokusnya masih pada mobil dan jalan. Lagipula Junsu juga butuh waktu untuk menyerap dengan baik perkataan Jaejoong tadi. Sesekali Junsu menarik napas dalam, berusaha mengatur volume udara di paru-parunya.
            ‘Kau tidak boleh panik, Kim Junsu. Jangan gegabah. Pikirkan dengan kepala dingin. Jangan memberi respon berlebihan,’ rapal Junsu dalam hati.
            Jaejoong yang sudah berhasil mengatur detak jantungnya kembali normal sejak kejadian tadi, kini pun hanya diam. Tidak ada sepatah kata yang keluar. Jaejoong sendiri bingung harus memulai lagi pembicaraan dari mana.
            10 menit berlalu, kedua namja ini masih saja tenggelam dalam keheningan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mobil masih berjalan, perjalanan mereka kali ini memang cukup memakan waktu karena jarak yang bisa dibilang cukup jauh.
            Junsu beberapa kali menatap Jaejoong melalui kaca spion. Sementara Jaejoong, hanya sedang menundukkan kepalanya. Junsu menghela napas kemudian. Kata-kata Jaejoong tadi masih terngiang jelas di telinganya, membuat keningnya berkerut dalam memikirkan apa yang sebenarnya ada di dalam benak seorang Kim Jaejoong.
            “Jae,” Junsu mulai angkat bicara. Jaejoong mendongakkan kepalanya dan matanya bertemu pandang dengan Junsu melalui kaca spion.
            “Iya, hyung,” sahut Jaejoong, lirih saja.
            “Kenapa mendadak sekali? Apa kau yakin dengan keputusan yang kau ambil itu?” tanya Junsu. Nada suaranya rendah dan terdengar hati-hati, namun juga penuh rasa ingin tahu.
            Jaejoong menghela napas sembari kepalanya tertunduk sedikit, “Mianhe, hyung, aku mengambil keputusan mendadak secara sepihak begitu saja,” kata Jaejoong.
            Matanya kini menatap keluar jendela, memandang langit biru yang menggantung di atas mereka, sebelum kemudian melanjutkan kata-katanya, “Aku sudah mempertimbangkan dan memikirkannya dengan baik, hyung. Aku yakin dengan keputusan yang kuambil ini.”
            Suara Jaejoong pelan, tapi terdengar mantap dan penuh keyakinan serta kepercayaan, membuat Junsu tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, dia mendukung semua yang Jaejoong lakukan. Toh itu kembali untuk kebaikan Jaejoong sendiri. Akan tetapi di sisi yang lain, Junsu juga tidak setuju, dengan alasan bahwa keputusan yang Jaejoong ambil ini bisa saja salah dan mungkin tidak benar-benar membawa hasil yang positif seutuhnya. Junsu juga tidak ingin Jaejoong sampai salah langkah yang akhirnya akan membuat Jaejoong sendiri juga menderita.
            “Tapi, Jae, bagaimana kalau…”
            “Aku tahu, hyung,” sela Jaejoong sebelum Junsu menyelesaikan kalimatnya, “Aku paham atas semua risiko yang mungkin terjadi. Aku yang akan menanggung semuanya.”
            Junsu terdiam untuk beberapa menit, “Terserah kau saja,” desis Junsu kemudian, segera setelah mengambil napas berat, “Kau sudah membicarakannya dengan Presdir Baek?” imbuhnya.
            “Belum. Aku melakukan ini atas dasar kemauanku sendiri tanpa sepengetahuannya.”
            “Mwo?!” pekik Junsu.
            Hampir saja untuk yang kedua kalinya Junsu mengerem mendadak, tapi beruntung kali ini dia bisa lebih mengendalikan dirinya. Meski kaget setengah mati mendengar penuturan Jaejoong yang terdengar datar padahal menurutnya ini masalah serius, namun Junsu bisa menahan gejolak emosinya dan mengendarai mobil dengan lancar tanpa perlu menginjak pedal rem secara tiba-tiba seperti tadi karena kekagetannya.
            Junsu menghembuskan napas kuat-kuat sebelum kemudian berkata, “Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu, Jae? Kenapa tiba-tiba sekali? Ditambah lagi, kau mengambil keputusan sendiri. Keputusanmu ini terkesan terburu-buru.”
            “Tidak, hyung. Aku sudah memikirkannya dengan matang,” sahut Jaejoong mantap.
            “Tapi Jae, yang kau lakukan ini bisa saja salah. Eum… maksudku… bisa saja keputusanmu ini kurang tepat. Kita bisa memikirkannya berdua, mencari jalan terbaik yang bisa kita lakukan,” kata Junsu, berusaha memberikan solusi yang menurutnya lebih rasional.
            Yang lebih rasional? Itu artinya keputusan Jaejoong tidak rasional?
            Tentu saja. Menurut Junsu, tindakan yang diambil Jaejoong tanpa sepengetahuan Presdir Baek itu sama saja dengan nekat bunuh diri. Ini jelas melanggar kontrak. Dan efeknya tidak bisa disepelekan begitu saja. Berbagai kemungkinan terburuk bisa saja sudah menunggu Jaejoong di ambang pintu.
            “Aniya, hyung. Aku sudah mantap dengan keputusanku ini.”
            “Tapi Jaejoong-ah,” sela Junsu, “ini bisa saja berbahaya. Kau tahu maksudku, ‘kan?”
            “Aku paham maksudmu, hyung,” kata Jaejoong pelan namun juga terdengar yakin, “Tapi aku tidak akan mengubah pendirianku sekarang. Aku yakin dengan langkah yang kuambil ini, hyung.”
            Junsu melirik Jaejoong lagi lewat kaca spion. Ditatapnya mata Jaejoong yang sedang menatap lurus ke depan. Hanya butuh waktu kurang dari 5 detik bagi Junsu untuk menyadari apa yang berbeda dari Jaejoong hari ini. Ya, Junsu sudah menemukannya.
            Yang berbeda bukan soal fashion atau pun kebiasaan, melainkan sorot mata Jaejoong. Junsu baru menyadarinya sesaat setelah tadi Junsu menatap ke dalam iris Jaejoong. Junsu menatapnya dalam, seolah mencari sesuatu, dan benar saja, Junsu menemukan sorot mata Jaejoong kali ini terlihat lebih hidup.
            Sejak kasus skandal ini mencuat ke permukaan, bukan hanya sikap Jaejoong yang agak berubah, melainkan juga aura serta sorot matanya. Jaejoong yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih tertutup dengan aura yang tak lagi secerah dulu dan sorot mata yang kelam. Junsu menyadari hal itu. Dia sudah lama mengenal Jaejoong. Bila ada perubahan meski sedikit pada diri Jaejoong, Junsu pasti menyadarinya.
            Dan kali ini Junsu mendapati bahwa sorot mata Jaejoong yang tadinya kelam dan tidak bersemangat, kini mulai berubah kembali seperti dulu. Sorot mata yang hidup dan selalu penuh dengan harapan. Sorot mata yang memancarkan pendar keceriaan, yang sanggup membuat siapa pun ikut tersenyum bila melihat Jaejoong tersenyum.
            Junsu tersenyum samar, seolah senang karena berhasil menemukan sesuatu yang telah lama dicarinya. Diarahkannya van mereka ke pinggir dan berhenti di tepi jalan. Tanpa mematikan mesin mobil, Junsu melepas seat-belt yang dikenakannya kemudian memutar badannya ke belakang agar lebih leluasa menatap Jaejoong. Jaejoong yang tidak mengerti kenapa Junsu tiba-tiba menghentikan mobil, hanya menatap Junsu dengan pandangan penuh tanya.
            Junsu menarik napas kuat-kuat, memenuhi rongga paru-parunya, sembari menatap ke dalam mata Jaejoong. Junsu semakin yakin kalau sorot mata Jaejoong yang dulu telah kembali, dan tanpa sadar sebuah senyum tipis tersungging di bibir Junsu.
            “Baiklah kalau begitu,” kata Junsu, dia sudah menyerah berdebat dengan Jaejoong yang tetap kukuh pada pendiriannya.
            Jaejoong tersenyum ke arah Junsu. Rasa lega bercampur senang memenuhi hatinya. Sekarang dia sudah selangkah lebih maju untuk mencapai keinginan terbesarnya.
            “Aku menyerahkan segalanya padamu,” ujar Junsu, “Tapi kau juga harus ingat, aku selalu ada di belakangmu untuk mendukungmu,” tambah Junsu, masih dengan senyuman di wajahnya
            “Terima kasih banyak, hyung,” ucap Jaejoong. Senyum di wajahnya semakin lebar, memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi.
            “Aku percaya padamu, Kim Jaejoong.”
-xxx-

-to be continued-

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

ABOUT ME

Foto saya
Im a HUMANOIDS, not A-N-D-R-O-I-D~! I ♥ TVXQ. Fan of Lee Min Ho. Support VR46. Love watching SHINHWA Broadcast. :) me YUNJAE-shipper. not really into KPOP, but interest in JPOP esp ARASHI. member of GARUDA SIPIL 2013. ALWAYS KEEP THE FAITH!