SKANDAL
Chapter 9
-xxx-
Junsu berkali-kali menatap gelisah ke arah jam
tangannya. Sesekali pula menatap gelisah ke sekelilingnya.
Junsu sedang berada dalam
mobil van hitam yang biasa dia pakai
untuk mengantar Jaejoong kemana-mana. Meski sekarang baru jam 6 pagi, tapi
Junsu sudah stand by di depan tempat
tinggal Jaejoong untuk menjemput namja
itu. Hari ini Jaejoong ada jadwal syuting, jadi Junsu sudah menjemputnya pagi-pagi
agar tidak terlambat dan tidak terjebak kemacetan.
Tapi sekarang sudah lewat
15 menit dari waktu yang mereka janjikan. Junsu sudah berkali-kali menghubungi
ponsel Jaejoong, tapi tidak mendapat jawaban. Akhirnya Junsu putuskan untuk
menunggu saja.
Namun kesabaran Junsu
hanya bertahan selama 15 menit saja. Sekarang Junsu sudah gelisah menunggu.
Selain takut terlambat yang ujung-ujungnya bisa membuat jadwal Jaejoong hari
ini berantakan, Junsu juga khawatir terjadi sesuatu pada Jaejoong. Maka dari
itulah, manajer Jaejoong ini akhirnya memutuskan untuk menjemput Jaejoong
langsung di rumahnya.
Setelah memasukkan ponsel
ke saku dan meraih tas gendongnya, Junsu melangkah keluar dari mobil. Dia
segera berjalan menuju kediaman Jaejoong setelah menyalakan alaram mobil. Junsu
melangkah cepat dan terburu-buru.
Tak berapa lama kemudian,
Junsu sampai di depan pintu apartemen Jaejoong. Sebelum menekan bel, Junsu
sekali lagi berusaha menelepon Jaejoong. 5 detik, 15 detik, 30 detik… tidak ada
jawaban. Junsu menarik napas sejenak, lalu menekan bel di samping pintu.
Suara bel yang menggema di
dalam rumah dapat ditangkap oleh telinga Junsu. Junsu menunggu di depan pintu,
tapi hingga 3 menit kemudian, Jaejoong tak kunjung membukakan pintu. Junsu
menekan bel lagi, bukan hanya sekali tapi 3 kali berturut-turut. Lama Junsu
menunggu, tapi tampaknya si penghuni tak memberikan tanda-tanda akan membukakan
pintu.
‘Apa Jaejoong tidak di
rumah?’ pikir Junsu.
Junsu menekan bel lagi,
sebelum kemudian menyerah. Junsu yang sudah tak sabar dan mulai khawatir
akhirnya memilih untuk langsung masuk saja ke dalam rumah Jaejoong. Junsu
menekan beberapa kombinasi angka, lalu meraih gagang pintu dan masuk ke dalam.
Junsu segera mengganti
sepatunya dengan sandal rumah, lalu masuk ke dalam. Rumah Jaejoong sekarang
terlihat lebih rapi dan bersih dari yang terakhir kali Junsu lihat ketika
datang kemari.
“Jaejoong-ah,” panggil Junsu.
Sunyi. Tidak ada suara
Jaejoong yang menyahut. Junsu jadi makin khawatir. Matanya dengan sigap menatap
ke sekeliling apartemen Jaejoong. Jangan-jangan ada perampok yang masuk ke
apartemen Jaejoong?
‘Tidak, tidak, tidak,’
batin Junsu. Kepalanya menggeleng, berusaha mengusir kemungkinan buruk yang
muncul di benaknya.
“Jaejoong,” panggil Junsu
lebih keras, “Ini aku,” imbuh Junsu.
Masih sunyi. Junsu segera
mempercepat langkahnya menuju ke kamar Jaejoong. Baru saja Junsu hendak meraih
gagang pintu kamar Jaejoong, pintu itu mengayun terbuka. Jaejoong yang
sepertinya baru bangun tidur berdiri di sana, dan langsung saja Junsu menarik
napas lega. Untung tidak terjadi sesuatu pada Jaejoong, sepertinya namja itu hanya terlambat bangun saja.
“Hyung, kau di sini?” tanya Jaejoong sembari menggosok-gosok sebelah
matanya dengan punggung tangan.
“Yah Kim Jaejoong!” hardik Junsu, membuat Jaejoong terlonjak kaget.
Junsu berusaha
mengendalikan napasnya sebelum kemudian memarahi Jaejoong, “Kau ini. ‘Kan sudah
kubilang akan kujemput jam 6, kenapa sekarang baru bangun, huh? Kau ini
membuatku khawatir, Kim Jaejoong,” kata Junsu cepat, membuat Jaejoong yang
masih setengah sadar karena baru bangun dari tidur hanya bisa melongo.
Baru setelah beberapa
menit, kesadaran Jaejoong mulai pulih sepenuhnya. Dan langsung saja dia
terperanjat kaget begitu melihat jam dinding, “Eh?! Sudah jam segini?!”
serunya.
Jaejoong menatap Junsu
yang tengah melipat tangan di depan dada sambil memasang muka seram, lalu
tertawa canggung sembari menggaruk tengkuknya. Sementara Junsu mendengus kesal
melihat Jaejoong yang berusaha tampak tidak bersalah ini.
“Hehe, mianhe, hyung. Semalam aku tidak bisa tidur, jadi bangun kesiangan. Aku
sudah pasang jam weker kok, sungguh, tapi mungkin tidak mempan, hehehe,” kata
Jaejoong, berusaha memberikan alasan agar Junsu mengerti.
“Dari tadi aku
meneleponmu, apa tidak dengar juga?” tandas Junsu cepat, membuat Jaejoong jadi
gugup karena disudutkan seperti itu.
“Ah i-itu… sepertinya
semalam aku mematikan dering ponselnya, hyung.
Maksudnya biar tidak ada yang menggangguku, supaya aku bisa cepat tidur,” jawab
Jaejoong dengan sedikit terbata. Junsu yang sedang marah ini terlihat sangat
menakutkan di mata Jaejoong.
“Dasar kau,” desis Junsu
kesal sambil menggelengkan kepala, “Ya sudah sana cepat mandi dan bersiap,
nanti kita terlambat!” teriak Junsu tanpa ampun, membuat Jaejoong langsung
melesat ke dalam kamarnya.
-xxx-
Dengan menggigit sepotong
roti di mulutnya, Jaejoong dengan cepat memasukkan barang-barang apa saja yang
perlu dibawanya ke dalam tas dan segera menggendong tasnya di bahu lalu melesat
keluar dari kamarnya.
Junsu tengah berdiri di
depan pintu dengan kedua tangan terlipat di dada. Mukanya masam, sepertinya mood Junsu kurang baik hari ini. Membuat
Jaejoong menutup mulutnya rapat-rapat, tidak ingin salah bicara yang mungkin
akan membuat Junsu marah-marah lagi kepadanya.
Jaejoong segera meraih
sepatu yang ada di rak, mengambilnya secara acak. Sekarang bukan waktu yang
tepat dan memang tidak ada waktu untuk memilih apa yang matching dengan pakaiannya hari ini. Toh nanti stylish-nya juga yang akan mengurusnya, jadi Jaejoong tak terlalu
ambil pusing.
Setelah memakai sepatunya
dengan agak asal karena terburu-buru, Jaejoong beru teringat kalau MP3-player biru miliknya tertinggal di meja
di ruang tengah. Baru saja Jaejoong berbalik dan melangkah beberapa meter
hendak mengambilnya, Junsu langsung bertanya dengan nada yang keras, membuat
langkah Jaejoong seketika terhenti. Jaejoong menengok, menatap horror ke arah Junsu yang sekarang
memandangnya dengan efek api sebagai latar belakang, seperti di komik-komik.
“Mau kemana?” tanya Junsu.
“I-itu… MP3-player-ku tertinggal di meja, hyung. Aku mau mengambilnya sebentar,”
jawab Jaejoong dengan sedikit terbata.
Junsu yang tidak sabar
lagi berusaha mengendalikan emosinya dengan menggenggam tangan kuat-kuat, “Yah! Sudah tidak ada waktu lagi! Kita
harus berangkat… sekarang!” ucap Junsu dengan penuh penekanan.
“Ba-baiklah, hyung,” sahut Jaejoong.
Jaejoong langsung
mengurungkan niatnya untuk mengambil MP3-player
kesayangannya yang biasa menemaninya kemana dan dimana saja. Junsu yang sudah
lebih dulu berjalan keluar, membuat Jaejoong setengah berlari mengejar
manajer-nya.
“Haah~” desah Jaejoong.
Hari ini mungkin akan jadi
hari yang panjang.
-xxx-
Jaejoong mengenakan seat-belt-nya,
segera setelah duduk di dalam van.
Junsu duduk di belakang kemudi, sementara Jaejoong duduk di belakang. Tanpa
basa-basi lagi, Junsu menyalakan mesin mobil dan mulai menginjak pedal gas.
Jaejoong agak tersentak ke belakang dengan gerakan Junsu yang mendadak itu.
Sepertinya Junsu berniat ngebut pagi
ini.
Merasa Junsu sedang tidak
dalam mood yang baik untuk diajak
mengobrol, Jaejoong lebih memilih untuk bungkam. Diambilnya ponsel dari dalam
tasnya, dan beberapa detik kemudian Jaejoong mulai tenggelam dalam dunianya
sendiri.
Junsu yang meskipun sedang
sibuk menyetir dan berkonsentrasi dengan jalan raya, sesekali melirik Jaejoong
yang ada di kursi belakang melalui kaca spion, memperhatikan namja itu lekat. Dilihatnya Jaejoong
yang tengah asyik bermain dengan ponsel pintarnya.
Junsu berpikir sejenak,
masih dengan konsentrasi menyetir. Dia merasa Jaejoong agak berbeda hari ini.
Tapi meskipun begitu, Junsu sendiri tidak tahu apa yang berbeda. Bukan soal
gaya berpakaian Jaejoong hari ini. Seperti biasa, Jaejoong lebih suka dengan
gaya casual. Bukan juga soal bangun
terlambat. Meski jarang, Jaejoong memang terkadang suka bangun terlambat yang
membuat Junsu kerepotan.
Tanpa sadar Junsu
mengerutkan dahinya, tampak sedang berpikir keras. Sekalinya Junsu sudah
penasaran dan belum menemukan jawabannya, maka dia akan terus memikirkannya
untuk seharian itu.
Sementara Junsu sibuk
dengan pikirannya, Jaejoong yang mulai bosan bermain dengan ponselnya akhirnya
memilih untuk menatap ke luar, ke arah jalanan Seoul pagi ini yang sudah ramai.
Jaejoong mengedarkan pandangannya, menatap bangunan-bangunan yang ada di
pinggir jalan. Kadang Jaejoong melemparkan pandangannya ke atas, memandang
langit yang pagi yang cerah berwarna biru dengan sedikit awan yang berarak.
Iseng, Jaejoong menurunkan kaca jendelanya dan membiarkan angin berhembus masuk
mengenai wajah dan membuat rambutnya sedikit berantakan.
“Jaejoong~” tegur Junsu
begitu melihat Jaejoong mulai menjulurkan kepalanya sedikit keluar jendela.
Mendengar Junsu
menegurnya, Jaejoong kembali memasukkan kepalanya dan segera menutup kaca
jendela, tanpa erangan protes yang biasa dikeluarkannya meski bibirnya agak
mengerucut kesal karena kesenangannya terganggu.
Mencoba mencari aktivitas
lain, Jaejoong mengambil sebuah majalah yang tergeletak di kursi sampingnya dan
mulai membuka-buka halamannya. Jaejoong berdecak kesal begitu mendapati bahwa
itu adalah majalah lama. Tapi tetap saja Jaejoong melanjutkan kegiatan
membolak-balik halaman majalah itu, toh kenyataannya tidak ada hal lain yang
bisa dilakukannya sekarang.
Tidak ada yang menarik,
begitu pikir Jaejoong. Dia hanya membaca sekilas artikel-artikel yang ada di
sana. Tangannya yang akan membalik halaman baru terhenti ketika sepasang
matanya menangkap sosok aktris muda yang ada di halaman itu. Aktris muda
berambut pendek yang se-agensi dengannya, Wang Jihye.
“Ah iya,” gumam Jaejoong.
Melihat wajah Wang Jihye membuat Jaejoong teringat sesuatu yang sudah
dipikirkannya semalaman tadi, yang berhasil membuatnya bangun terlambat.
Jaejoong berdeham sejenak
sembari menegakkan posisi duduknya. Jaejoong berusaha melihat Junsu melalui
kaca spion yang ada di depan. Dilihatnya Junsu yang sedang memasang ekspresi
serius dan dengan pandangan lurus ke depan. Jaejoong berdeham lagi, kali ini
lebih pelan dari sebelumnya. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam, berusaha
memantapkan hati. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk mengatakannya pada
Junsu.
‘Lakukan sekarang, Kim
Jaejoong,’ batin Jaejoong, sambil menghela napas pelan.
Jaejoong menatap ke arah spion, lalu memanggil Junsu pelan, “Hyung.”
Junsu tidak mengalihkan
pandangannya dari jalan dan hanya menggumam sebagai respon, “Hng?”
Jaejoong menarik napas
lagi, ‘Ayo katakan, Kim Jaejoong. Kau sudah memikirkannya baik-baik semalaman.
Semuanya pasti akan berjalan lancar,’ kata Jaejoong dalam hati.
Tidak mendapat respon lagi
dari Jaejoong membuat Junsu melirik ke arah spion dan menatap Jaejoong, “Ada
apa?” tanya Junsu datar.
“Eum… begini hyung, ada yang ingin kukatakan,” kata
Jaejoong. Matanya balas menatap Junsu melalui kaca spion.
“Katakan saja,” sahut
Junsu, masih dengan nada datar dan biasa.
“Besok aku ingin
mengadakan sebuah konferensi pers. Tolong hyung
siapkan semuanya,” kata Jaejoong. Dari nada suaranya, terdengar penuh
antisipasi, antisipasi terhadap respon yang akan diberikan Junsu.
“Konferensi pers?” tanya
Junsu, dahinya berkerut makin dalam dan kepalanya agak memiring bingung, “Untuk
apa?” imbuh Junsu yang masih tidak mengerti maksud Jaejoong.
“Aku… akan mundur dari
panggung sandiwara ini, hyung. Aku
akan mengakhirinya.”
‘Ccckkiiiiitttt!’
Junsu refleks menginjak
pedal rem kuat-kuat, membuat mobil yang mereka kendarai berhenti mendadak dan
keduanya agak terlontar ke depan. Untung ditahan oleh seat-belt yang melingkar
di tubuh mereka sehingga keduanya terhindar dari benturan.
Jantung Jaejoong yang
berdetak kencang, bereaksi cepat karena kejadian rem mendadak barusan, membuat
Jaejoong mengelus dadanya pelan. Sementara Junsu membelalakkan matanya, kaget
sekaligus syok mendengar kata-kata Jaejoong barusan.
Junsu segera menolehkan kepalanya
ke belakang dan menatap Jaejoong tajam, “A-apa maksudmu, Jaejoong-ah?” tanyanya.
Jaejoong balas menatap
Junsu dengan tatapan penuh keyakinan. Ya, semalam dia sudah menyiapkan diri
untuk mengatakan hal ini pada Junsu. Dia sudah memikirkannya baik-baik dan
matang-matang. Maka dari itulah sekarang tidak ada waktu lagi untuk ragu, dia
harus yakin dan memantapkan hati dengan keputusannya ini.
“Aku…”
‘Tiinn! Tiinn! Tiinn! Tiinn!’
Belum sempat Jaejoong
menyelesaikan kata-katanya, suara klakson mobil yang terdengar dari arah
belakang mereka begitu memekakkan telinga, membuat keduanya tersadar kalau
mobil yang mereka naiki ini sekarang sedang dalam posisi diam di tengah jalan.
Junsu yang menyadari hal
itu, dengan sigap memegang stir mobil kembali dan mulai menginjak pedal gas.
Tidak ingin menimbulkan kemacetan apalagi sampai mengundang keributan, Junsu
segera menjalankan mobilnya. Van
hitam mereka pun mulai berjalan kembali.
Junsu terdiam, fokusnya
masih pada mobil dan jalan. Lagipula Junsu juga butuh waktu untuk menyerap
dengan baik perkataan Jaejoong tadi. Sesekali Junsu menarik napas dalam,
berusaha mengatur volume udara di paru-parunya.
‘Kau tidak boleh panik,
Kim Junsu. Jangan gegabah. Pikirkan dengan kepala dingin. Jangan memberi respon
berlebihan,’ rapal Junsu dalam hati.
Jaejoong yang sudah
berhasil mengatur detak jantungnya kembali normal sejak kejadian tadi, kini pun
hanya diam. Tidak ada sepatah kata yang keluar. Jaejoong sendiri bingung harus
memulai lagi pembicaraan dari mana.
10 menit berlalu, kedua namja ini masih saja tenggelam dalam
keheningan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mobil masih berjalan,
perjalanan mereka kali ini memang cukup memakan waktu karena jarak yang bisa
dibilang cukup jauh.
Junsu beberapa kali menatap
Jaejoong melalui kaca spion. Sementara Jaejoong, hanya sedang menundukkan
kepalanya. Junsu menghela napas kemudian. Kata-kata Jaejoong tadi masih
terngiang jelas di telinganya, membuat keningnya berkerut dalam memikirkan apa
yang sebenarnya ada di dalam benak seorang Kim Jaejoong.
“Jae,” Junsu mulai angkat
bicara. Jaejoong mendongakkan kepalanya dan matanya bertemu pandang dengan
Junsu melalui kaca spion.
“Iya, hyung,” sahut Jaejoong, lirih saja.
“Kenapa mendadak sekali?
Apa kau yakin dengan keputusan yang kau ambil itu?” tanya Junsu. Nada suaranya
rendah dan terdengar hati-hati, namun juga penuh rasa ingin tahu.
Jaejoong menghela napas
sembari kepalanya tertunduk sedikit, “Mianhe,
hyung, aku mengambil keputusan
mendadak secara sepihak begitu saja,” kata Jaejoong.
Matanya kini menatap
keluar jendela, memandang langit biru yang menggantung di atas mereka, sebelum
kemudian melanjutkan kata-katanya, “Aku sudah mempertimbangkan dan
memikirkannya dengan baik, hyung. Aku
yakin dengan keputusan yang kuambil ini.”
Suara Jaejoong pelan, tapi
terdengar mantap dan penuh keyakinan serta kepercayaan, membuat Junsu tidak
tahu harus berkata apa. Di satu sisi, dia mendukung semua yang Jaejoong
lakukan. Toh itu kembali untuk kebaikan Jaejoong sendiri. Akan tetapi di sisi
yang lain, Junsu juga tidak setuju, dengan alasan bahwa keputusan yang Jaejoong
ambil ini bisa saja salah dan mungkin tidak benar-benar membawa hasil yang
positif seutuhnya. Junsu juga tidak ingin Jaejoong sampai salah langkah yang
akhirnya akan membuat Jaejoong sendiri juga menderita.
“Tapi, Jae, bagaimana
kalau…”
“Aku tahu, hyung,” sela Jaejoong sebelum Junsu
menyelesaikan kalimatnya, “Aku paham atas semua risiko yang mungkin terjadi.
Aku yang akan menanggung semuanya.”
Junsu terdiam untuk
beberapa menit, “Terserah kau saja,” desis Junsu kemudian, segera setelah
mengambil napas berat, “Kau sudah membicarakannya dengan Presdir Baek?”
imbuhnya.
“Belum. Aku melakukan ini
atas dasar kemauanku sendiri tanpa sepengetahuannya.”
“Mwo?!” pekik Junsu.
Hampir saja untuk yang
kedua kalinya Junsu mengerem mendadak, tapi beruntung kali ini dia bisa lebih
mengendalikan dirinya. Meski kaget setengah mati mendengar penuturan Jaejoong
yang terdengar datar padahal menurutnya ini masalah serius, namun Junsu bisa menahan
gejolak emosinya dan mengendarai mobil dengan lancar tanpa perlu menginjak
pedal rem secara tiba-tiba seperti tadi karena kekagetannya.
Junsu menghembuskan napas
kuat-kuat sebelum kemudian berkata, “Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu, Jae?
Kenapa tiba-tiba sekali? Ditambah lagi, kau mengambil keputusan sendiri.
Keputusanmu ini terkesan terburu-buru.”
“Tidak, hyung. Aku sudah memikirkannya dengan
matang,” sahut Jaejoong mantap.
“Tapi Jae, yang kau
lakukan ini bisa saja salah. Eum… maksudku… bisa saja keputusanmu ini kurang
tepat. Kita bisa memikirkannya berdua, mencari jalan terbaik yang bisa kita
lakukan,” kata Junsu, berusaha memberikan solusi yang menurutnya lebih
rasional.
Yang lebih rasional? Itu
artinya keputusan Jaejoong tidak rasional?
Tentu saja. Menurut Junsu,
tindakan yang diambil Jaejoong tanpa sepengetahuan Presdir Baek itu sama saja
dengan nekat bunuh diri. Ini jelas melanggar kontrak. Dan efeknya tidak bisa
disepelekan begitu saja. Berbagai kemungkinan terburuk bisa saja sudah menunggu
Jaejoong di ambang pintu.
“Aniya, hyung. Aku sudah
mantap dengan keputusanku ini.”
“Tapi Jaejoong-ah,” sela Junsu, “ini bisa saja
berbahaya. Kau tahu maksudku, ‘kan?”
“Aku paham maksudmu, hyung,” kata Jaejoong pelan namun juga
terdengar yakin, “Tapi aku tidak akan mengubah pendirianku sekarang. Aku yakin
dengan langkah yang kuambil ini, hyung.”
Junsu melirik Jaejoong
lagi lewat kaca spion. Ditatapnya mata Jaejoong yang sedang menatap lurus ke
depan. Hanya butuh waktu kurang dari 5 detik bagi Junsu untuk menyadari apa
yang berbeda dari Jaejoong hari ini. Ya, Junsu sudah menemukannya.
Yang berbeda bukan soal fashion atau pun kebiasaan, melainkan
sorot mata Jaejoong. Junsu baru menyadarinya sesaat setelah tadi Junsu menatap
ke dalam iris Jaejoong. Junsu menatapnya dalam, seolah mencari sesuatu, dan
benar saja, Junsu menemukan sorot mata Jaejoong kali ini terlihat lebih hidup.
Sejak kasus skandal ini
mencuat ke permukaan, bukan hanya sikap Jaejoong yang agak berubah, melainkan
juga aura serta sorot matanya. Jaejoong yang biasanya ceria, berubah menjadi
lebih tertutup dengan aura yang tak lagi secerah dulu dan sorot mata yang
kelam. Junsu menyadari hal itu. Dia sudah lama mengenal Jaejoong. Bila ada
perubahan meski sedikit pada diri Jaejoong, Junsu pasti menyadarinya.
Dan kali ini Junsu
mendapati bahwa sorot mata Jaejoong yang tadinya kelam dan tidak bersemangat,
kini mulai berubah kembali seperti dulu. Sorot mata yang hidup dan selalu penuh
dengan harapan. Sorot mata yang memancarkan pendar keceriaan, yang sanggup
membuat siapa pun ikut tersenyum bila melihat Jaejoong tersenyum.
Junsu tersenyum samar,
seolah senang karena berhasil menemukan sesuatu yang telah lama dicarinya.
Diarahkannya van mereka ke pinggir
dan berhenti di tepi jalan. Tanpa mematikan mesin mobil, Junsu melepas seat-belt
yang dikenakannya kemudian memutar badannya ke belakang agar lebih leluasa
menatap Jaejoong. Jaejoong yang tidak mengerti kenapa Junsu tiba-tiba
menghentikan mobil, hanya menatap Junsu dengan pandangan penuh tanya.
Junsu menarik napas
kuat-kuat, memenuhi rongga paru-parunya, sembari menatap ke dalam mata
Jaejoong. Junsu semakin yakin kalau sorot mata Jaejoong yang dulu telah
kembali, dan tanpa sadar sebuah senyum tipis tersungging di bibir Junsu.
“Baiklah kalau begitu,”
kata Junsu, dia sudah menyerah berdebat dengan Jaejoong yang tetap kukuh pada
pendiriannya.
Jaejoong tersenyum ke arah
Junsu. Rasa lega bercampur senang memenuhi hatinya. Sekarang dia sudah selangkah
lebih maju untuk mencapai keinginan terbesarnya.
“Aku menyerahkan segalanya
padamu,” ujar Junsu, “Tapi kau juga harus ingat, aku selalu ada di belakangmu
untuk mendukungmu,” tambah Junsu, masih dengan senyuman di wajahnya
“Terima kasih banyak, hyung,” ucap Jaejoong. Senyum di
wajahnya semakin lebar, memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi.
“Aku percaya padamu, Kim
Jaejoong.”
-xxx-
-to be continued-
0 komentar:
Posting Komentar