Meningkatnya
kasus kecelakaan, terutama yang melibatkan pengendara sepeda motor, semakin
hari semakin meningkat saja. Dan semakin meningkat pula keseriusan akibat dari
kecelakaan itu.
Tidak
hanya lingkup kota kecil bernama Purbalingga ini
saja, di berbagai daerah di seluruh Indonesia pun angka kecelakaan
semakin meningkat, dan tak sedikit yang
melibatkan kendaraan roda 2 juga. Sebenarnya apa penyebabnya?
Yang
utama menurut saya adalah bertambahnya
jumlah kendaraan bermotor. Saya yakin, semakin hari ada saja orang yang
memiliki kendaraan bermotor baru, minimal adalah sepeda motor. Bahkan hal
seperti memiliki lebih dari 1 sepeda motor adalah hal biasa bagi masyarakat
yang semakin konsumtif ini. Bukti nyata jumlah kendaraan bermotor semakin
meningkat ialah, sering kali saya mengalami yang namanya tidak bisa menyeberang jalan. Setiap
saya turun dari angkot dan akan menyeberang jalan menuju ke rumah, waktu yang
dibutuhkan bisa mencapai 5 menit padahal
jarak yang ditempuh kurang dari 10
meter. Saat satu sisi jalan sepi, sisi jalan yang lain ramai oleh truk atau bus
yang lewat. Saat truk atau bus jarang, sepeda motor yang dikendarai murid SMA
bersliweran. Bukankah terdengar menggelikan kalau untuk level sebuah jalan di
desa Bukateja tarafnya mulai bisa disamakan dengan jalanan ibukota?
Yang
kedua ialah masih lemahnya praktek
penegakan hukum di lapangan. Sering saya melihat anak-anak, dibawah umur 18
tahun yang masih duduk di bangku SMP bahkan SD, mengendarai sepeda motor dengan
santainya tanpa menggunakan helm. Oke, mungkin mereka hanya berkeliling di
sekitar kompleks rumah mereka, tapi bukankah hal buruk bisa terjadi kapan saja,
dimana saja, dan menimpa siapa saja? Mungkin juga anak-anak kecil itu tidak
menjadi korban langsung sebuah kecelakaan, tapi bagaimana kalau mereka menjadi
penyebab yang mencelakakan orang lain? Justru hal itu lebih berat hukumannya, ‘kan ? Mami pernah menjadi
korban dari anak-anak kecil yang mengendarai sepeda motor seenak jidat mereka.
Beruntung hanya sepeda motornya yang lecet dan rusak sana-sini, tidak sampai
menyebabkan luka parah.
Rendahnya kepedulian
masyarakat Indonesia
terhadap angkutan umum menyebabkan keinginan tiap individu untuk memiliki
kendaraan pribadi semakin tinggi. Saya sebagai pengguna setia angkutan umum
tiap kali berangkat dan pulang sekolah acap kali mendengar curahan hati para
supir angkutan umum yang mengeluhkan semakin banyaknya angkutan umum yang
beroperasi tapi tidak diiringi dengan meningkatnya jumlah penumpang. Tentu saja
para supir angkutan umum itu patut resah, karena di tengah semakin tingginya
taraf hidup manusia dan semakin tingginya persaingan untuk bertahan hidup,
masyarakat umum justru lebih suka kredit motor daripada harus bolak-balik naik
angkutan umum. Kalau Anda termasuk yang sering melihat drama Korea , Anda bisa dengan mudah
menemukan fakta bahwa angkutan umum seperti bus disana terlihat sangat nyaman
dan masyarakat pun akan berpikir 2 kali untuk memiliki kendaraan pribadi. Padahal, jika Anda lebih memilih untuk naik
angkutan umum daripada membawa kendaraan sendiri, Anda sudah berperan banyak
dalam meminimalisir polusi gas, ditambah pula Anda membantu para supir angkutan
umum itu mendapatkan nafkah hidup.
Di
tahun 2013 ini saya merasa kesabaran
menjadi hal langka yang sulit ditemukan. Menunggu sebentar saja sudah
mengeluh. Melihat antrean panjang, langsung mengeluh. Melihat lampu lalu lintas
menunjukkan warna kuning, bukannya memperlambat laju kendaraan tapi malah
memacu kendaraan, bahkan jika sudah muncul warna merah, tanpa ragu diterobosnya
aturan yang menyuruh untuk berhenti itu. Itu adalah contoh nyata dari
ketidaksabaran seseorang dalam berkendara. Apa sulitnya menunggu beberapa detik
sampai lampu hijau menyala? Bukankah bayarannya lebih mahal jika sesuatu yang
buruk terjadi saat kita melewati lampu merah itu? Beberapa hari lalu seorang
teman bercerita, bahwa di pagi hari saat dia sedang dalam perjalanan ke
sekolah, dia melihat kecelakaan terjadi dan penyebabnya adalah seorang
pengendara yang ngebut menerobos
lampu lalu lintas. Meski tidak terjadi hal yang serius, tetap saja hal tersebut
berbahaya dan beresiko tinggi.
Lantas apa
yang patut kita lakukan?
Orang
sering mengatakan, perubahan
yang besar dimulai dari perubahan yang kecil yang berasal dari tiap pribadi manusia. Ada baiknya, sebelum
pemerintah mulai membenahi praktek penegakan hukum, kita memulai terlebih
dahulu dengan mendisiplinkan diri sendiri. Peraturan yang ada, khususnya dalam
hal ini yaitu peraturan lalu lintas, ada bukan untuk dilanggar tetapi untuk
dipatuhi. Perlambat laju kendaraan saat lampu lalu lintas menunjukkan warna
kuning, dan berhentilah saat lampu merah. Jangan mengendarai kendaraan bermotor
sebelum memiliki surat
izin dan usia yang cukup. Marilah kita mulai perubahan yang besar, dimulai dari
diri kita sendiri. Toh kita sendiri juga yang nanti akan menuai hasil dari
kedisiplinan diri kita.
Sebuah
adegan dalam manga Detektif Conan
karya Aoyama Gosho, jilid 51, menjadi bagian yang pas untuk menutup tema yang
saya angkat ini. Digambarkan, Profesor Agasa, Conan dan teman-temannya pergi ke
pantai untuk mencari kerang. Genta, seorang teman Conan, bersemangat untuk
mengambil banyak kerang. Namun Profesor Agasa mengingatkan sebuah peraturan
bahwa setiap orang hanya boleh mengambil kerang paling banyak 2 kg. Genta yang
kesal berkata, “… apa orang-orang mematuhinya?” Dengan bijak Profesor Agasa
menjawab, “Yang penting sikap orang masing-masing. Kalau kamu terlalu banyak
mengambil belut, terus jumlah belutnya berkurang, kamu juga yang akan repot
kalau tak bisa makan belut lagi, ‘kan ?”
0 komentar:
Posting Komentar