“Cuma di Indonesia yang punya
kebiasaan “tidur siang”. Ternyata pembiasaan kemalasan sudah dimulai sejak
dini,” kata Pak Purwodianto, seorang guru sejarah yang suka mengutarakan
pemikiran-pemikiran kritisnya di saat pelajaran dalam kelas.
Siang
hari itu, jam sejarah yang menjadi pelajaran terakhir sebelum bel pulang
berbunyi. Berhubung kondisi anak-anak yang berada di antara ngantuk, lapar, dan
malas, membuat suasana kelas di sekitar jam 1-an itu agak suram. Tapi tampaknya
Park Purwodianto tidak habis akal untuk membuat kami -aku dan teman-temanku-
tetap konsentrasi selama pelajaran, yaitu dengan kebiasaan suka menunjuk anak
secara acak dan menanyai mereka, atau dengan mengangkat topik hangat yang
sedang ramai dibicarakan, tentu saja masih ada kaitannya dengan materi (meski
cuma sedikit).
Dan
siang itu, kata-kata Pak Purwo membuatku tersadar dan berpikir. Benar juga!
Cuma
Indonesia
yang punya kebiasaan tidur siang. Cuba kita menengok negara-negara
seperti Amerika Serikat, Jepang, dan lainnya. Lalu perhatikan kehidupan
orang-orang yang tinggal di negara itu. Apa saat siang hari mereka beristirahat
di rumah? Kebanyakan (atau sebagian besar) dari mereka bekerja sampai malam,
dan baru tidur setelah itu. Pelajar pun belajar di sekolah sampai sore hari.
Jadi mereka tidak ada waktu untuk tidur siang.
Tidur
siang itu tidak buruk. Khasiatnya pun baik, karena dengan tidur siang itu
berarti kita mengistirahatkan tubuh sejenak, dan bisa mengembalikan energi
kita. Beberapa organ tubuh pun bisa meningkatkan kinerjanya saat kita tidur
siang.
Tapi,
bukankah tidak ada salahnya bagi kita, orang Indonesia , untuk mencoba mengubah mind-set kita tentang tidur siang?
Marilah kita coba untuk melakukan sesuatu yang lain saat kita punya waktu luang
di saing hari. Lakukan saja hal-hal yang ringan tapi berguna, misalnya membaca
buku, atau bersih-bersih kamar.
Waktu akan terus berjalan dan tidak
akan bisa kembali, bukan?