Wasurenaide
Kau
menghilang tanpa meninggalkan apapun. Aku benci sifatmu yang seperti itu.
Tapi,
kalau kau meninggalkan kenangan, sampai kapan pun aku tidak pernah bisa
melangkah ke depan. Kau pasti tahu sifatku yang seperti itu.
Terima
kasih, Yunho. Aku suka sifatmu yang seperti itu.
* * *
a YUNJAE fanfiction
Wasurenaide © Kristalicia Rizki
Disclaimer : They’re belongs to God. The
idea belongs to Tite Kubo.
This fanfiction belongs to me.
Rate : T
Warn : YAOI, Shounen-ai, BL, OOC, Typo(s),
Sad ending.
* * *
Jaejoong’s POV
Mataku
menatap lurus ke depan, ke arah seseorang yang belakangan ini sering muncul
dalam hidupku, sementara kereta bawah tanah yang sedang kunaiki terus bergerak.
Tangan kananku memegang sebuah pegangan yang menggantung di atas kepalaku, sementara
tangan kiriku masuk ke dalam saku jaketku.
Sedetik
berikutnya, orang yang sejak tadi kuperhatikan tampaknya mulai menyadari
kehadiranku. Matanya yang sipit dengan pandangan tajam bak musang balas menatap
ke arahku. Seolah tertarik masuk ke dalam dimensinya, aku tak bisa mengalihkan
pandanganku darinya bahkan untuk sedetik. Tatapannya begitu hangat, dan tampak
tak asing bagiku. Tak berapa lama kemudian, seulas senyum mulai mengembang di
wajahnya. Senyum yang mampu mendatangkan getaran lain dalam diriku.
“Hei, Yun,” seorang pria menepuk
pelan pundak pria bermata tajam itu, membuat kontak mata kami terputus begitu
saja.
Pria
berpotongan rambut pendek dengan suara husky yang tadi menepuk pundak pria yang
sedang kutatap, ganti menatap ke arahku. Bisa kulihat dahinya berkerut samar
ketika pandangan kami bertemu. Lalu pria itu ganti menatap pria bermata tajam,
dan detik berikutnya pria itu memandangku lagi, kemudian menoleh lagi pada pria
bermata tajam. Kali ini pria itu memandang pria bermata tajam cukup lama,
seolah menuntut sebuah jawaban. Sebaliknya, pria bermata tajam itu malah
tersenyum ke arahnya.
Tidak.
Senyumnya kali ini berbeda dengan senyum yang tadi kulihat. Meski bibirnya
tertarik ke atas, membentuk sebuah senyum menawan yang mampu membuat wanita
mana pun terpesona, aku dapat menangkap kepedihan yang mendalam di sana .
Kenapa? Ada apa sebenarnya?
* * *
“Hei, Jae.”
Kutolehkan
kepalaku, mencari sumber suara yang tadi memanggil namaku. Mataku menangkap
sesosok pria yang tingginya tak jauh beda denganku, sedang berlari-lari kecil
ke arahku. Tangannya melambai pelan ke arahku. Siapa dia?
“Pagi yang dingin, ya,” kata pria
itu yang kini telah berdiri di sampingku. Aku menatapnya ragu, sementara pria
itu hanya tersenyum ke arahku. Setelah diamku yang cukup lama, pria itu menepuk
dahinya, seperti baru teringat sesuatu.
“Ini aku Junsu,” katanya lagi, kali
ini sambil menepuk-nepuk dadanya. Dahiku berkerut, mencoba mengingat siapa pria
ini.
Junsu
membiarkanku berpikir sebentar, sebelum kemudian tangannya sibuk mencari
sesuatu dalam tas selempangnya. Dia mengeluarkan sebuah dompet, kemudian
menunjukkan sebuah foto yang tersemat dalam dompet itu.
“Lihat ini, ini aku dan ini kau.
Musim dingin 2 tahun lalu kita pergi ke Tokyo
bersama. Apa kau ingat?”
Aku
menatap foto itu lekat. Salju. Jepang. Tokyo Tower .
Aku dan pria bersuara bak lumba-lumba, Junsu. Junsu. . . Kim Junsu?
“Kim Junsu si duckbutt, bagaimana
bisa aku melupakanmu,” tandasku cepat begitu aku menemukannya dalam memori
otakku. Junsu tersenyum lebar ke arahku.
Kami
kemudian berjalan bersama, menyusuri jalanan Seoul yang sebagian tertutup oleh salju.
Memang, sekarang sedang musim dingin. Obrolan kami terus berjalan, ada saja
yang bisa kami bicarakan. Junsu dan aku memang teman dekat sejak sekolah dasar.
“Lain kali mampirlah ke rumah, umma
pasti senang melihatmu,” kataku sembari menggosokkan kedua tanganku, mencoba
mengusir dingin. Salahku karena lupa tak memakai sarung tangan.
Junsu tampak sedikit terperangah,
namun kemudian segera menganggukkan kepalanya, “Lain kali kalau ada waktu aku
akan ke rumahmu, Jae.”
Kami
tiba di sebuah persimpangan. Beberapa orang tampak sedang berdiri di pinggir
jalan, dekat traffic light, menunggu
kesempatan untuk menyeberang.
“Baiklah, mungkin sampai sini saja,
Jae, aku harus pergi menemui seorang klien,” ujar Junsu. Langkahnya terhenti tepat
di persimpangan jalan itu.
“Ah, baiklah kalau begitu,
Junsu-ah. Sampai jumpa,” sahutku sembari melambaikan tangan padanya, kemudian
melanjutkan langkahku, meninggalkan Junsu yang sedang berdiri di persimpangan
jalan itu.
Junsu
tersenyum pahit menatap punggung Jaejoong yang semakin menjauh. Tak berapa
lama, lampu hijau menyala, membuat orang-orang yang sebelumnya hanya berdiri di
persimpangan jalan, mulai berjalan. Junsu menengok sekilas ke arah Jaejoong
yang hampir menghilang dari pandangannya sebelum mulai melangkah.
“Cepatlah sembuh dan ingat kami, Jae,”
bisiknya lirih, sehingga hanya telinganya saja yang bisa menangkap suara
harapan itu.
* * *
“Apa penyakitnya tidak bisa
disembuhkan, hyung?”
Pria yang ditanyai itu hanya
mengulum seulas senyum yang tak jelas artinya. Matanya hanya menatap lurus ke
depan, dan kakinya terus melangkah.
“Aku harap bisa,” jawab pria yang
ditanyai itu kemudian, setelah sebelumnya menghela napas berat. Setiap kali
mengingat penyakit yang diderita kekasihnya, rasanya dadanya menjadi sesak.
Park
Yoochun, pria yang mengajukan pertanyaan tadi, hanya bisa memberikan sebuah
tepukan pelan di pundak seorang yang sudah dia anggap hyung-nya sendiri, Jung
Yunho. Yunho menoleh sekilas, dan kembali mengulum senyum. Tapi Yoochun tahu.
Dia bisa menangkap kepedihan yang terpancar dari sorot mata Yunho.
“Dia akan mengingat semuanya
hyung,” ucap Yoochun lagi, “Termasuk kau.”
“Aku…” Yunho menggantungkan
kalimatnya bersamaan dengan langkah kakinya yang terhenti, sementara matanya
kini menatap langit biru yang menggantung di atas mereka, “Aku tak keberatan
jika Jaejoong menghapusku dari memorinya. Asalkan dia bahagia, maka aku pun
bisa bahagia dengan kebahagiaannya. Aku hanya mendoakan kesehatannya, aku tak
berharap yang lain,” lanjutnya dengan suara parau.
Semilir
angin berhembus, melewati tubuh 2 orang pria yang sedang berdiri terpaku itu.
Yoochun segera mengeratkan syal yang melingkar di lehernya, sementara Yunho
tampak acuh. Tubuh dan jiwanya terasa kebas, tak ada yang dia rasakan, kecuali
rasa sesak dan pedih yang menyerangnya tiap kali pikirannya melayang ke arah
sosok Kim Jaejoong, kekasihnya.
* * *
Normal POV
Kim
Jaejoong menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Tubuhnya terlentang,
kedua tangannya terentang lebar, dan matanya menatap langit-langit kamarnya.
Diliriknya sekilas jam dinding yang tergantung di atas pintu. Jam 11 malam.
Jaejoong
memejamkan matanya sejenak, berusaha mengusir letih yang menggelayuti tubuhnya.
Seharian ini banyak hal yang dilakukannya, dan aktivitas-aktivitas itu
membuatnya ingin langsung tidur saja begitu sampai di rumah. Dengan malas
Jaejoong bangun dan bergerak untuk mematikan lampu kamarnya. Tubuhnya kembali
dia hempaskan ke atas kasur.
Baru
saja Jaejoong akan bergelung di bawah selimut, kedua doe eyesnya menangkap
sesuatu yang tak biasa, membuat kelopak matanya kembali terbuka dengan penuh
kewaspadaan.
Dahinya
berkerut dalam ketika melihat bintang-bintang kecil bertebaran di langit-langit
kamarnya. Bintang-bintang itu bersinar, hanya dalam gelap. ‘Aku tidak menyadari
hal ini sebelumnya,’ pikir Jaejoong sembari terus mengamati bintang-bintang
kecil itu.
“Aku
tidak suka tidur di kegelapan,” sebuah suara terngiang di telinga Jaejoong.
Suara ini tidak asing?
“Bukankah
aku bintang yang selalu menerangi malammu, apalagi yang perlu kau khawatirkan?”
suara lain terngiang lagi di telinganya. Siapa?
Pendar-pendar
cahaya dari bintang itu membuat Jaejoong merasa ada memori khusus yang
terlupakan olehnya. Apa itu? Kenapa ia tak bisa mengingatnya?
* * *
“Jaejoong-ah, ayo cepat turun!
Junsu sudah menunggumu.”
“Ne, umma.”
Kim
Jaejoong melangkah menuruni anak tangga dengan sedikit terburu-buru, sambil
merapikan rambutnya. Gara-gara bangun telambat, Jaejoong jadi terlambat juga
untuk bersiap pergi hari ini. Sebenarnya dia sendiri juga heran, kenapa dia
bisa terlambat bangun ya? Ini bukan hal yang biasa dilakukan olehnya. Memang
apa yang dikerjakannya semalam? Jaejoong sibuk dengan pikirannya sendiri
sembari kakinya terus melangkah.
Hari
ini dia dan Junsu berencana pergi menghabiskan akhir pekan bersama. Sekadar
jalan-jalan mungkin, dan juga makan di tempat-tempat baru yang belum pernah
dicobanya, atau mungkin bermain ke taman ria. Untuk seorang pria berusia 20
tahun-an, pergi ke taman ria masih cocok, bukan?
Jaejoong
melangkah menuju ruang tengah. Kata-kata yang akan keluar dari mulutnya
tersendat begitu melihat sosok 2 orang namja selain Kin Junsu duduk disana.
Dahinya berkerut, berpikir dan mencoba menerka siapa 2 orang yang tampak asing
dimatanya itu.
“Hei, Jae,” Junsu langsung angkat
bicara melihat Jaejoong yang sedang berdiri terpaku itu. Matanya melirik
sekilas ke arah 2 pria lain yang bersamanya. “Kau sudah siap? Apa kita
berangkat sekarang?”
Jaejoong masih terdiam, matanya
menatap lurus ke arah 2 namja asing itu. Yang seorang, pria berambut pendek.
Dan yang seorang lagi, pria bermata sipit. Tunggu, pria bermata sipit itu
sepertinya tidak asing baginya?
“Ini Park Yoochun, Jae, kau ingat?
Dia kekasihku yang kukenalkan beberapa hari lalu padamu saat kita makan siang
bersama,” kata Junsu yang seolah mengerti arti tatapan Jaejoong. Pria berambut
pendek itu mengangguk singkat dan tersenyum pada Jaejoong, dan memberikan salam
padanya.
Park
Yoochun. Rambut pendek. Kekasih Junsu. Restoran Jepang.
“Ah iya, Yoochun-sshi. Bagaimana
mungkin aku bisa melupakanmu?” tandas Jaejoong cepat begitu memorinya kembali
mengingat kejadian perkenalannya dengan kekasih sahabatnya itu. “Kalau begitu,
apa aku juga mengenalmu?” tanya Jaejoong, kali ini sambil menatap pria dengan
tatapan tajam yang berdiri di samping Yoochun.
Pria itu menatap Jaejoong, dalam.
Pandangan matanya yang entah kenapa membawa perasaan hangat di diri Jaejoong,
membuatnya merasa seolah pria ini tidak asing baginya.
“Ini Jung Yunho, Jae-ah, dia teman
Yoochun. Tidak apa-apa ‘kan
kalau aku mengajaknya juga? Kurasa akan lebih seru jika ramai daripada hanya
berdua saja,” sahut Junsu.
“Apa kita pernah bertemu
sebelumnya?” tanya Jaejoong, mengabaikan kata-kata Junsu tadi.
Yunho hanya tersenyum, pandangan
matanya tidak lepas dari Jaejoong, “Sepertinya tidak, Jaejoong-sshi,” jawabnya
kemudian.
“Benarkah? Tapi rasanya kau tidak
asing bagiku?” gumam Jaejoong. Yunho kembali menanggapi dengan senyuman. Senyum
tipis yang membawa sedikit getaran pada diri Jaejoong.
“Sudahlah, ayo kita berangkat
sekarang,” ujar Junsu, lalu berjalan menghampiri Jaejoong dan mengapit
lengannya, kemudian mengajak namja itu berjalan keluar menuju mobil merah yang
terparkir di depan rumahnya.
Sepintas
tadi, melalui ekor matanya, Jaejoong melihat Yoochun menepuk bahu Yunho,
sementara Yunho hanya tersenyum pahit.
* * *
Suasana
di dalam mobil terasa agak berbeda, sekalipun Junsu terus mencoba mencairkan
suasana dengan mengangkat topik-topik yang sekenanya dapat menjadi bahan
pembicaraan. Junsu duduk di kursi depan, di samping Yoochun yang mengendarai
mobil. Sementara di belakang, Jaejoong dengan canggung duduk di sebelah Yunho.
Sedari tadi 2 orang ini tidak saling tegur sapa, apalagi mengobrol. Jaejoong hanya
sibuk mengedarkan pandangannya keluar jendela, sementara Yunho juga tampak
sibuk dengan pikirannya sendiri. Junsu yang sedari tadi mengawasi kedua orang
itu lewat kaca mobil hanya berdecak heran.
“Ah iya Jae, apa kau ingat dulu
kita pernah terpisah di taman bermain, lalu kau mencariku lewat bagian anak
hilang?” tanya Junsu, kembali mencoba memulai obrolan.
Jaejoong yang ditanyai oleh Junsu
hanya mengerutkan dahinya, berusaha mencari memori itu. Junsu. Hilang. Taman bermain. “Aniya, aku bahkan tidak ingat kapan
terakhir kali pergi ke taman bermain,” ujar Jaejoong pelan.
“Begitukah? Tahun lalu saat hari
ulang tahunmu, kita pergi ke taman bermain bersama,” sahut Junsu, matanya
melirik sekilas ke belakang.
“Ah aku lupa, Su-ie.”
Mendengar
jawaban singkat dari Jaejoong, Yunho hanya menarik napas berat. Kenangan yang
dibicarakan oleh Junsu tadi masih sangat jelas dalam ingatannya. Ketika tahun
lalu mereka—Yunho, Jaejoong, Junsu, Yoochun, dan Changmin, sahabatnya yang
bertubuh tinggi— pergi menghabiskan waktu seharian di taman bermain untuk
merayakan ulang tahun Jaejoong dengan main sepuasnya disana. Dan yang paling
diingatnya adalah ketika dia memberikan sebuah syal rajutan sebagai hadiah
darinya untuk Jaejoong, saat mereka naik bianglala berdua. Yunho mengalihkan
pandangannya ke samping. Dia tersenyum samar ketika melihat syal pemberiannya
melingkar di leher Jaejoong sekarang.
Karena
terlarut dalam pikirannya, Yunho sampai tidak menyadari sedari tadi Jaejoong
menatapnya bingung. Yunho baru kembali ke alam sadarnya ketika Jaejoong
memanggilnya.
“Yunho-sshi,” panggil Jaejoong
sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan Yunho. Yunho yang baru
tersadar, tergagap dan tersenyum canggung sembari menggaruk bagian belakang
kepalanya.
“Ah, maaf,” ujarnya cepat sambil
buru-buru mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Jaejoong
yang melihat reaksi kaget Yunho hanya terkikik geli. Suara tawa itu, suara yang
tak asing di telinga Yunho, membuat pria ini kembali menatap Jaejoong. Jaejoong,
masih dengan sisa-sisa tawanya, balik menatap Yunho dan bertanya, “Apa ada yang
aneh di wajahku?”
“Tidak,” jawab Yunho cepat, membuat
Jaejoong menahan tawanya. Rasanya lucu sekali melihat reaksi Yunho yang menurut
Jaejoong sangat spontan itu.
“Lalu kenapa tadi menatapku seperti
itu?” tanya Jaejoong lagi.
Yunho hanya terdiam, berusaha
mencari jawaban yang tepat. Masa iya dia harus bilang kalau tadi dia menatap
Jaejoong sembari mengingat kenangan di antara mereka. Yunho ‘kan tadi mengatakan kalau mereka belum
pernah bertemu sebelumnya. Lalu apa yang harus dikatakan?
“Kau terlihat cocok sekali memakai
syal itu, Jaejoong-sshi.”
‘Dasar bodoh kau Jung Yunho!’ Yunho
langsung mengumpat dalam hati dan menyesali apa yang dikatakannya barusan. Oke,
mungkin setelah ini Jaejoong akan menganggapnya orang-asing-aneh-yang-ternyata-diam-diam-memperhatikannya.
Jaejoong yang mendengar jawaban
dari Yunho, melirik sekilas syal yang melingkar di lehernya. “Gomawo,
Yunho-sshi,” ujar Jaejoong sembari tersenyum, “Aku memang suka memakai syal
ini. Rasanya hangat dan nyaman.”
Yunho
tersenyum. Dalam hati dia sangat senang mendengar jawaban Jaejoong. Meski alam
sadar Jaejoong memaksa menghapuskan memori tentang Yunho dari pikiran Jaejoong,
setidaknya ada kenangan yang tertinggal dalam hati Jaejoong. Setidaknya sosok
Yunho tidak benar-benar lenyap dari hati Jaejoong.
“Yah kalian berdua, berhenti
memanggil dengan panggilan formal seperti itu. Rasanya aneh aku mendengarnya,”
celetuk Junsu, membuyarkan lamunan Yunho.
“Apa tidak apa-apa bila seperti
itu?” tanya Jaejoong, menindak lanjut perkataan Junsu barusan.
“Aku tidak masalah, asal kau tidak
merasa terganggu,” ucap Yunho ringan.
“Baiklah, Yunnie,” sahut Jaejoong
riang. Entah darimana asalnya panggilan itu, rasanya Jaejoong spontan saja
mengatakannya.
Sementara
Yunho hanya terdiam. Mendengar Jaejoong memanggilnya dengan panggilan itu,
melihat Jaejoong memanggilnya sambil menatapnya dengan sebuah senyuman, membawa
rasa hangat dalam dirinya. Rasanya dia seolah melihat Jaejoong yang dulu.
Jaejoong yang belum melupakannya. Jaejoong yang akrab dengannya.
“Ah, mian, apa kau terganggu dengan
panggilanku?”
Yunho lagi-lagi tersentak dari
lamunannya. Dilihatnya Jaejoong yang menatapnya dengan pandangan khawatir,
takut-takut kalau Yunho tidak nyaman dengan panggilannya. “Aniya, Jae, aku
tidak merasa terganggu. Sebaliknya, aku menyukai nama panggilan itu,” kata
Yunho cepat, membuat ekspresi Jaejoong berubah menjadi lega.
“Syukurlah kalau begitu,” tandas
Jaejoong.
Yoochun
dan Junsu, yang sedari tadi memperhatikan kedua sahabat mereka itu lewat kaca
spion, tersenyum tipis. Mereka senang dapat melihat Jaejoong bisa bersikap
lebih dekat dari Yunho. Dan mereka makin merasa lega, karena dapat melihat kembali
senyum Yunho yang telah lama hilang.
* * *
Yunho’s POV
Melihatnya
tersenyum dan tertawa, membuatku merasa lega. Setidaknya, dia bisa bahagia
meski tanpaku.
Asalkan
aku bisa melihatnya hidup bahagia, asalkan aku bisa membuatnya hidup lebih
lama, aku rela kehilangan diriku. Aku rela memberikan napasku untuknya.
Apapun
akan aku lakukan untuknya. Untuk Kim Jaejoong, kekasihku.
Tuhan,
biarkanlah aku, kali ini saja, memberikan sisa waktuku untuk Kim Jaejoong.
* * *
‘Aku tak tahu kalau doaku mungkin
akan dikabulkan oleh Tuhan secepat ini.’
Semuanya
terjadi begitu cepat, bahkan aku tak sempat mengerjapkan mataku untuk
memperjelas apa yang kulihat. Jantungku mulai berdegup kencang saat kulihat
sebuah bus yang ada di depanku, di depan kami, bergerak ke arah mobil Yoochun
yang sedang kami naiki ini. Aku tak tahu apa yang terjadi.
Suara
pekikan Junsu dan suara umpatan Yoochun yang menyadarkanku. Berikutnya suara
rem dan suara roda-roda yang bergesekkan dengan jalan mulai membuatku sadar
akan apa yang sedang terjadi. Kulihat Yoochun yang sedang mengemudi,
menggenggam stir mobil erat hingga buku-buku jarinya memutih dan dengan cepat
dibantingnya stir itu ke kanan.
Mobil
lantas oleng ke kanan. Dan bus itu semakin mendekat ke arah kami, sekalipun si
supir bus berusaha menghentikan laju busnya dengan menginjak pedal rem
kuat-kuat. Sepertinya Yoochun mulai kehilangan kendali atas mobilnya. Kulihat
sekilas wajahnya yang tegang dan kata-kata yang tak dirangkai dengan baik
keluar dari mulutnya. Mobil bergerak dengan liar, membuatku yang duduk di sisi
kanan menabrak pintu mobil dengan keras. Tubuhku kebas, merasakan sakit yang
mulai menjalar. Kulindungi kepalaku semampuku dengan kedua tangan, setidaknya
mengurangi efek benturan dengan kaca mobil.
Aku
mendengar suara jeritan yang berasal dari samping. Mataku yang sempat terpejam
karena efek benturan tadi langsung terbuka begitu menyadari Jaejoonglah yang
tadi menjerit. Aku menoleh ke kiriku dengan cepat, dan kulihat Jaejoong tengah
berusaha melindungi dirinya sendiri dengan meringkukkan badan.
Napasku
tertahan melihat bus yang dalam beberapa kejapan mata siap menghantam mobil
Yoochun. Dan aku yakin dengan posisi mobil yang seperti ini, bagian kiri mobil
akan terlebih dahulu menghantam bus.
Tunggu!
Bagian kiri? Jaejoong duduk di sampingku, di sebelah kiriku. Apa itu berarti
Jaejoong akan meregang nyawa lebih dulu dariku?
Saraf-saraf
di tubuhku bereaksi dengan apa yang tadi melintas dalam pikiranku dengan cepat.
Sepersekian detik sebelum bus menabrak kami, kutarik tubuh Jaejoong yang masih
meringkuk. Dengan cepat aku membawa tubuhnya yang bergetar hebat ke dalam
lenganku, menariknya kuat, dan kubalikkan tubuhku ke kanan dengan Jaejoong yang
ada dalam pelukanku. Kuhadapkan punggungku ke arah bus yang makin mendekat,
yang mungkin akan mengambil nyawa kami sekarang.
Aku
tak tahu lagi apa yang terlintas dalam otakku. Yang kupikirkan sekarang hanya
satu, aku harus melindungi Kim Jaejoong. Aku tidak peduli dengan diriku
sendiri. Yang kuinginkan hanyalah melindungi Jaejoong, menyelamatkannya, dan
kalau bisa membuatnya hidup lebih lama. Aku tak peduli pada apapun selain itu. Aku
rela melakukan apapun, bahkan memberikan nyawaku, asal aku bisa membuatnya
hidup lebih lama.
Suara
benturan keras yang memekakkan telinga membuat mataku terpejam erat. Kueratkan
kedua lenganku yang melingkar di tubuh Jaejoong. Aku merasakannya, merasakan
sakit yang luar biasa pada sekujur tubuhku. Kepalaku pusing. Aku tak bisa lagi
berpikir jernih. Kemudian aku merasakan mobil berguncang hebat dan terbalik.
Kepalaku membentur atap mobil dengan keras. Kulindungi kepala Jaejoong dari
benturan dengan telapak tangan kananku. Kurasakan mobil terbalik lagi, dan
tubuhku terhempas lagi dengan keras.
Samar-samar
kudengar suara rintihan kesakitan. Kucoba untuk membuka mataku. Pandanganku
buram. Napasku pendek-pendek, dan jantungku berdetak semakin cepat. Aku bisa
merasakan sesuatu mengalir di pelipisku. Dan begitu kulihat tetesan merah
kental pada punggung tanganku yang masih melindungi kepala Jaejoong, aku
menyadari kalau itu darah.
Aku
berusaha keras menjaga kesadaranku yang makin menipis. Kuarahkan pandanganku ke
depan, berusaha mengetahui bagaimana kondisi Yoochun dan juga Junsu. Napasku
tercekat begitu kulihat tubuh Yoochun yang bersimbah darah. Matanya terpejam
erat, membuatku berusaha keras menghilangkan kemungkinan buruk yang muncul
dalam benakku. Kubuka mulutku, berniat untuk memanggil Yoochun, tapi tak satu
pun kata yang sanggup keluar dari kerongkonganku.
Di
saat aku mencoba menguatkan diri, kurasakan tubuh dalam dekapanku bergerak
pelan. Jaejoong mendongakkan kepalanya, membuat mata kami saling menatap. Mata
doe-nya berkaca-kaca, dan air mata mengalir dari sudutnya, membuat hatiku
terasa sesak. Aku tidak bisa melihatnya menangis. Bukankah aku sendiri pernah
berjanji tidak akan membuatnya menangis lagi?
“Yun,” suaranya lirih memanggilku.
Tidak ada yang bisa kukatakan untuk meresponnya. Tubuhku mati rasa. Lidahku pun
kelu.
“Kenapa…?” Aku berusaha memaksakan
seulas senyum, sembari masih menatapnya lekat.
Ingin
sekali kujawab pertanyaannya yang tak terucapkan seutuhnya tapi tersampaikan
padaku itu, namun tenagaku tak lagi ada. Ingin sekali kukatakan padanya, untuk
tetap bertahan karena sebentar lagi pasti akan ada bantuan.
Ingin
kukatakan padanya terima kasih atas semua kenangan yang dia buat dalam hidupku.
Ingin kukatakan maaf, karena tak ada yang berarti yang bisa kuperbuat untuknya.
Aku ingin mengatakan bahwa dia harus hidup lebih lama dan bahagia.
Dan
untuk yang terakhir kalinya, yang paling ingin kusampaikan padanya adalah
perasaan cintaku padanya yang tak akan pernah berkurang sampai kapan pun.
‘Tuhan, terima kasih karena telah
memberiku kesempatan, sehingga aku tak menyesali kepergianku ini.’
* * *
Jaejoong’s POV
Aku
menatap kosong ke arah orang-orang yang berdiri di sekeliling sebuah makam.
Orang-orang itu tak ku kenal semuanya, tapi disana ada umma, appa, Junsu dan
kalau tak salah pacarnya. Siapa namanya? Park Yoochun? Lalu ada seorang wanita
paruh baya, mungkin seumuran dengan umma, dan juga seorang pria, yang umurnya
kurasa tak jauh berbeda dengan appa. Ada
seorang namja bertubuh tinggi juga disana. Dan ada seorang wanita berumur 20-an
yang sedang memeluk wanita sebaya umma itu. Semuanya menangis. Meski beberapa
namja disana hanya berkaca-kaca, namun kesedihan terpancar kuat dari tiap
mereka. Tak terkecuali umma. Air mata umma mengalir lumayan deras, meski tak
sederas wanita paruh baya itu.
Aku
mengerjapkan mataku beberapa kali. ‘Kenapa aku ada disini?’ pikirku sembari
menatap ke sekeliling. Cuaca hari ini cerah, meski sedikit berawan. Beberapa
saat lalu, disini sempat ramai, mengantarkan seseorang yang kini sudah
dimakamkan itu. Tinggal mereka, termasuk aku, yang masih tinggal disini.
Aku
menatap makam itu lagi. Beberapa bunga krisan diletakkan dekat nisan. Dan
taburan bunga masih ada di atas makam. Kutatap nisan yang ada disana.
‘Jung Yunho?’ batinku saat membaca
nama yang tertera di nisan itu. Jantungku berdesir pelan kemudian, dan tanpa
sadar aku melangkah maju, mendekat ke arah makam.
Kulirik
sekilas Junsu yang berdiri di sebelahku sekarang. Kulihat matanya merah, dan
berkali-kali dia berusaha menyeka air matanya. Umma, yang berdiri di
seberangku, tampak berusaha menghentikan air matanya dengan appa yang menepuk
pundak umma. Wanita paruh baya itu masih menangis histeris sambil memeluk
nisan, sementara pria paruh baya yang semula berdiri di belakangnya kini
berusaha mengajak wanita itu untuk berdiri. Semua orang disini terlihat sangat
sedih, seperti mereka baru saja mengalami sebuah kehilangan yang besar.
Kutatap
lagi nisan itu, kali ini lebih lekat. Kubaca lagi nama Jung Yunho yang tertera
disana, sambil berusaha mencarinya di memori otakku. Nama ini sepertinya tak
asing bagiku.
Mataku
terbelalak lebar. Napasku tercekat dan darah mengalir cepat melalui setiap
pembuluh darah membuat jantungku berdetak kencang. Bayangan-bayangan berkelebatan
secara acak dan cepat dalam pikiranku, membawaku ke dalam ingatan lain yang
lama terlupakan oleh alam sadarku. Dan kecelakaan beberapa hari lalu membuat
tenggorokanku yang kering dipaksa untuk menelan sebuah realita pahit yang
menyesakkan dadaku.
Tanpa
sadar air mata mulai turun membasahi wajahku. Pandanganku masih belum terlepas
dari nisan itu, dan nama Jung Yunho terus terngiang dalam telingaku. Batinku
mulai menjerit, berusaha mencari keadilan Tuhan. Kakiku mulai lemas, dan
tubuhku jatuh ke tanah sekian detik kemudian. Dadaku semakin sesak, membuat
napasku pendek-pendek. Pandanganku pun mulai buram, sementara air mata masih
terus mengalir dan makin deras.
“Jung Yunho,” gumamku pelan.
* * *
On the path we’d always walk, I felt your
presence
Silently, I close my eyes and pray that it’ll never disappear
Silently, I close my eyes and pray that it’ll never disappear
I’m right here, don’t forget me.
- TAMAT -
P.S
Ini FF terakhir sebelum UN. Dan setelah ini aku akan hiatus, entah sampai kapan, karena minggu depan udah mulai ujian.
Doakan ya, semoga ujiannya lancar dan hasilnya baik. Amin. :)
See you later, minna-san~~
0 komentar:
Posting Komentar