Cerita dengan tokoh utama aku dan
Papi ga bakal cukup dibuat dwilogi, trologi, atau apa pun itu. Dibandingkan
sama sinetron fenomenal Cinta Fitri juga pasti beda jauh, ini akan melebihi 7
season. Percaya deh, ini serius.
Banyak
kisah sepanjang 16 tahun aku hidup di dunia yang fana ini. Kisah antara aku dan
Papi juga sama banyaknya dengan bulu Hiro dikalikan jumlah kutunya dan ditambah
jumlah giginya, atau mungkin lebih.
Salah
satu kisah yang paling berkesan adalah cerita saat bulan puasa. Eit jangan
salah, cerita ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan rohani, cuma sekadar
cerita biasa.
Jadi,
pada suatu sore di bulan puasa tahun lalu, aku punya rutinitas baru di tiap
hari Minggu dan Selasa, yaitu berangkat les matematika @ Pak Darnuji’s house
pukul 16.00 WIB. Dan sore itu, di awal bulan puasa, aku membuat sebuah rencana
yang akan menjadi hal paling mengasyikan yang akan aku lakukan sepanjang bulan
puasa ini. Rencana itu adalah. . . . .Berangkat les naik sepeda!
Banyak
manfaatnya nih. Menghemat bensin, mengurangi polusi udara, soalnya biasanya kan aku berangkat les
diantar naik sepeda motor. Selain itu juga buat program pengurusan badan. lolz~
Awalnya
aku berangkat naik sepeda, Mami fine-fine saja, Papi juga kayanya oke-oke saja.
Aku sudah siap dengan tas selempang hijau kesayangan -dulu hadiah dari Cici
Lina ^^- dan jaket hitam D’QLLERZ. Yo, berangkat!
Melalui
jalan beraspal, aku mengayuh sepeda di bawah terik matahari senja. Dari rumah
cuma butuh waktu sekitar 5 menit buat sampai di rumahnya Pak Darnuji dengan
sepeda santai.
Sesampainya
disana, kehadiranku dengan sepeda ontel menjadi cukup fenomenal dan sanggup
membuat Pak Darnuji dan teman-teman disana kaget. Kaget yang positif, maksudnya
mereka apresiasi juga ke aku. :)
Nah,
aku langsung bergabung sama anak-anak yang lagi duduk-duduk dulu di depan
bercengkrama dan ngobrol ngalor-ngidul. Semua berjalan aman dan selamat juga
menyenangkan sampai tiba-tiba deru mesin motor memecah keramaian. Sedetik
kemudian muncul motor vario pink beserta pengendaranya pria berkulit hitam yang
kukenal dengan sangat baik. Itu Papi!
Usut
punya usut, ternyata maksud kedatangan Papi adalah untuk memastikan kalau aku
sampai dengan selamat tanpa kekurangan suatu apa pun. Setelah itu Papi langsung
pulang. Aigoo appa~
Untuk beberapa menit kemudian, aku
menjadi olok-olok oleh teman-teman. Hm, mungkin bukan olok-olok tapi sindiran.
Jujur, waktu itu aku agak emosi melihat tindakan Papi. Bukannya ga suka
diperhatikan seperti itu, tapi menurutku yang dilakukan Papi waktu itu sudah
berlebihan. Oh, Dad, come on, I’m 16 years old, and I’m a good enough for ride
my bicycle…alone!
Sampai di rumah aku sempat protes
dan mengeluh sama Mami soal insiden yang cukup bikin aku malu di depan
teman-teman. Tapi Mami menanggapi dari sisi yang sama dengan Papi, jadi itu ga
menghiburku sama sekali.
Hari
demi hari berlalu sejak itu. Meski setelah itu Papi ga lagi menyusulku, tapi
memori itu masih lekat dalam ingatan. Hingga akhirnya aku sadar, kalau Papi
sangat menyayangiku dan selalu ingin menjagaku.
‘I
know. Dad always love me and take care of me. But sometimes, I can’t understand
the way you express your love to me. I’ll try to understand you, Dad. And thank
a lot for your love. I love you, Dad, I love you more than myself.’
0 komentar:
Posting Komentar