SKANDAL
Chapter 8
-xxx-
Sepasang ibu dan anak ini
masih duduk berdampingan di sofa. Meski malam semakin larut, tapi sepertinya
keduanya masih enggan untuk mengakhiri momen keluarga yang memang lama tidak
mereka lakukan ini, walaupun keduanya sekarang hanya terdiam. Menciptakan
keheningan malam yang diterangi cahaya keperakan rembulan.
Jaejoong duduk di samping ummanya. Matanya menatap lurus ke depan,
sementara berbagai pikiran masih berkelebatan di benaknya. Sesekali dia
menyandarkan dagunya ke lutut, sesekali yang lain dia meluruskan kakinya dan
menyandarkan tengkuknya ke sofa, membuatnya menatap langit-langit rumah.
Sementara Nyonya Kim tidak
banyak bergerak dari posisi duduknya. Matanya yang teduh menatap ke depan,
sesekali saja melirik anaknya yang duduk di sebelahnya. Meskipun mungkin ini
terlihat aneh, tapi dia menyukai momen ini. Meski tak ada kata yang keluar,
tapi keheningan ini sanggup membawa perasaan hangat dan nyaman.
Jaejoong menarik napas
dalam, sebelum kemudian menengokkan kepalanya dan menatap Nyonya Kim.
“Umma,” panggilnya, setelah hanya ada diam di antara mereka selama
beberapa menit.
“Ya?”
“Soal skandal itu…” Jaejoong
belum melanjutkan kalimatnya, dia menunggu reaksi yang akan dikeluarkan Nyonya
Kim.
Nyonya Kim seolah
tersadar, mengerjap beberapa kali, kemudian menoleh dan menatap anaknya. Tidak
ada respon lain di wajahnya selain pandangan mata penuh tanya yang ditujukan ke
arah Jaejoong.
“Umma sudah tahu,” sahut Nyonya Kim kemudian, membuat Jaejoong
terkejut.
“Eh? Maksud umma…?”
Nyonya Kim menggeser
duduknya agak menyerong, menghadap Jaejoong, lalu menatap dalam ke iris mata
Jaejoong sambil berkata, “Itu tidak benar, ‘kan?”
Jaejoong terkesiap kaget.
Tanpa sadar dia menahan napasnya untuk beberapa detik. Suara Nyonya Kim
terdengar padat dan tegas, seolah sangat yakin dengan kata-katanya.
Jaejoong tidak mengerti.
Dia tidak pernah membicarakan tentang skandal dengan Wang Jihye ini kepada ummanya. Lalu apa yang bisa membuat
Nyonya Kim seyakin itu, kalau skandalnya ini hanya sandiwara belaka?
“Eum… i-itu…” Jaejoong
bingung harus menjawab apa.
Jaejoong tahu benar kalau
skandal itu memang tidak benar. Tapi entah kenapa dia tidak bisa dengan mudah
menyangkalnya. Dia ingin memberitahu kebenaran yang sesungguhnya pada ummanya, tetapi entah mengapa Jaejoong
sendiri bingung bagaimana harus mengatakannya dan memulainya dari mana.
Nyonya Kim hanya tersenyum
samar melihat anaknya yang tampak bingung dan tidak melanjutkan kalimatnya. “Umma sudah tahu tanpa kau perlu
mengatakannya pada umma, Joongie-ah,” katanya sambil menepuk-nepuk kepala
Jaejoong pelan.
Jaejoong hanya menatap
dengan pandangan bingung ke arah Nyonya Kim.
“Hm… bagaimana
mengatakannya ya?” gumam Nyonya Kim sembari menggaruk-garuk dagunya, matanya
menatap ke atas seolah mencari sesuatu di langit-langit apartemen, “Ah iya
benar! Feeling seorang ibu. Ya,
begitu,” tandas Nyonya Kim begitu menemukan kata-kata yang tepat.
“Eh?” Sementara Jaejoong
masih belum mengerti juga.
“Umma mengenal anak umma
dengan baik, maka dari itulah umma
bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi pada anak umma,” kata Nyonya Kim, telapak tangannya menepuk bahu Jaejoong
pelan.
“Begitu ya…” gumam
Jaejoong, kepalanya sedikit tertunduk dan matanya menekuri lantai, “Apa orang
lain juga bisa mengerti seperti umma~”
Nyonya Kim menatap anaknya
yang terlihat termenung. Wanita ini tahu benar apa yang sekarang sedang
dipikirkan Jaejoong. Lagi-lagi feeling
seorang ibu yang memberitahunya.
Nyonya Kim menghela napas
pelan sembari membenarkan posisi duduknya. Punggungnya disandarkan ke sofa dan
matanya menatap ke depan.
Jaejoong seketika
mengangkat kepalanya dan menatap Nyonya Kim dengan pandangan antara terkejut
dan penuh ingin tahu. “Yunho… ke rumah?” tanyanya ragu, memastikan apa yang
baru saja didengarnya.
Nyonya Kim memandang
Jaejoong sekilas sebelum kemudian menganggukkan kepalanya, “Iya, Yunho ke rumah
beberapa waktu lalu. Sepertinya tidak lama setelah kasus skandalmu itu muncul.”
Jaejoong termenung. Yunho
pergi ke rumahnya? Untuk apa? Apa ini menyangkut dirinya?
“Waktu itu, pagi-pagi
sudah ada yang mengetuk pintu. Umma
pikir siapa yang sudah bertamu pagi-pagi begitu. Setelah dibukakan pintunya,
ternyata Yunho yang datang.”
“Lalu… Yunho ada perlu apa
datang ke rumah, umma?” tanya
Jaejoong.
“Dia bilang hanya ingin
datang berkunjung dan menemui umma.
Katanya di sudah lama tidak bertemu, jadinya memutuskan untuk kemari.”
Jaejoong tampak berpikir
sejenak, “Memangnya… Yunho tidak mengajar di sekolah?”
“Iya, umma juga berpikir begitu. Waktu umma tanya, Yunho bilang pagi itu dia tidak ada kelas mengajar,
hanya ada 2 kelas yang diajar, itu pun saat siang. Maka dari itu dia pergi ke
rumah pagi-pagi mumpung dia sedang senggang. Begitu katanya,” jawab Nyonya Kim
sambil mengingat-ingat pertemuannya dengan Yunho waktu itu.
Jaejoong kembali termenung
dan larut dalam lamunannya. Yunho ingin menemui ummanya? Ada keperluan apa dia dengan ummanya? Berbagai pertanyaan terus berkelebat dalam benak Jaejoong.
Jaejoong yang hanya diam
membuat Nyonya Kim mengalihkan pandangannya ke arah anaknya. Sepasang matanya
menangkap sosok Jaejoong yang terlihat tengah melamun dengan dahi berkerut.
Nyonya Kim berdeham pelan sebelum kemudian melanjutkan pembicaraan.
“Jae,” panggil Nyonya Kim,
mencoba menarik perhatian anaknya.
Jaejoong menoleh dan
berkata, “Ya, umma?”
“Kamu pasti bertanya-tanya
apa yang dibicarakan Yunho dengan umma,
‘kan?”
Jaejoong menelan ludahnya
gugup. ‘Kenapa feeling seorang ibu
bisa sekuat ini?’ batinnya.
“I-iya, umma,” sahut Jaejoong. “Ta-tapi kalau
itu privasi, umma tidak perlu
memberitahukannya padaku. Tidak apa kok,” imbuh Jaejoong buru-buru. Rasanya
tidak sopan juga mengurusi urusan orang lain sekalipun orang lain itu adalah
orang terdekatnya.
Nyonya Kim tersenyum
singkat, sebelum kemudian mengelus puncak kepala Jaejoong. Sementara Jaejoong
hanya menatap bingung.
“Yunho datang untuk
membicarakan soal skandalmu itu,” kata Nyonya Kim.
Napas Jaejoong tercekat
mendengarnya. Skandalnya? Apa yang dikatakan Yunho pada umma mengenai skandalnya? Atau Yunho justru bermaksud untuk…
memutuskan hubungannya karena skandal itu?
Mata Jaejoong sedikit
membelalak memikirkan kemungkinan terakhir yang melintas di benaknya.
Jantungnya berdegup lebih cepat saat membayangkan Yunho benar-benar mengatakan
hal itu pada umma. Tidak! Jaejoong
tidak menginginkan hal itu terjadi. Tapi apa dayanya?
“Ketika itu, pemberitaan
tentangmu sedang hangat-hangatnya di televisi. Umma akui, waktu itu umma
sempat bingung bercampur khawatir memikirkanmu. Apalagi kamu tidak memberitahu
apa pun, juga tidak menghubungi umma.
Tapi seiring berjalannya waktu, semakin dipikirkan dalam-dalam, umma bisa sedikit banyak memperkirakan
dan mengerti keadaanmu, jadi umma tak
terlalu ambil pusing dan khawatir berlebihan.”
Jaejoong masih diam dan
menyimak cerita Nyonya Kim sambil mempertajam pendengaran agar tidak ada bagian
yang terlewatkan.
“Nah, saat umma sedang bingung itu, Yunho datang.
Dan umma kaget juga mendengar
kata-katanya waktu itu,” ucap Nyonya Kim. Kata-kata Yunho waktu itu sepintas
terngiang dengan jelas di telinganya.
“Apa?” Jaejoong refleks bertanya.
Dia ingin tahu apa yang dikatakan oleh Yunho, meskipun mungkin tubuh dan
jiwanya belum siap mengantisipasi segala kemungkinan yang mungkin terjadi.
Nyonya Kim menatap
Jaejoong sembari tersenyum, “Yunho bilang, umma
tidak perlu khawatir soal pemberitaan itu. Katanya, itu semua bohong,” kata
Nyonya Kim kalem.
“Eh?!” Jaejoong terkejut
mendengarnya.
Benarkah begitu? Apa
telinganya tidak salah dengar? Tapi… dari mana Yunho bisa menyimpulkan seperti
itu? Jaejoong tidak pernah memberitahu soal skandal itu pada Yunho.
“Iya Yunho bilang umma tidak perlu cemas. Katanya, kau
baik-baik saja,” sahut Nyonya Kim, sembari tangannya menggenggam tangan
Jaejoong, “Lalu umma tanya, apa
Jaejoong sudah menghubungi Yunho, dan Yunho jawab belum.”
“A-aku… tidak mengerti,”
gumam Jaejoong. Apa maksud semua ini?
“Umma juga tidak mengerti. ‘Kalau Jaejoong belum menghubungimu, lalu
dari mana kamu bisa tahu dan seyakin itu?’ umma
langsung bertanya seperti itu pada Yunho. Dan Yunho menjawab dengan nada tenang
tapi juga penuh keyakinan.”
“Aku
percaya pada Jaejoong. Dia tidak bilang apa-apa padaku, bahkan pada umma. Jadi
aku pikir itu semua rekayasa belaka. Kalau skandal itu benar, Jaejoong pasti
mengatakan sesuatu, ‘kan? Mungkin keadaannya sedang rumit sekarang, jadi
Jaejoong tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku percaya, Jaejoong tidak mungkin
melakukan itu. Umma juga percaya ‘kan?”
Jaejoong tanpa sadar
menahan napasnya mendengar Nyonya Kim mengatakan kata-kata Yunho waktu itu
dengan persis sama. Jantungnya berdegup makin cepat, hingga Jaejoong bisa
merasakan aliran darah dalam pembuluhnya begitu cepat, menciptakan butterflies-effect di perutnya. Perasaan senang, bercampur lega, kaget, dan
bingung memenuhi hati Jaejoong. Dia tidak tahu harus bereaksi apa sekarang.
“Yunho percaya padamu,
Joongie-ah. Walaupun kau tidak
mengatakan apa-apa, tapi dia tetap percaya padamu. Dia tahu, yang harus dia
percaya adalah kata-kata yang langsung keluar dari mulutmu, bukan dari media
massa.”
Yunho… masih
mempercayainya? Benarkah? Meskipun dia sudah menyakitinya?
“Ta-tapi… umma, aku harus bagaimana?” suara
Jaejoong kembali bergetar. Perasaannya lebih lega sekarang, beban semakin
banyak terangkat dari kepalanya, tapi masih ada yang mengganggu pikirannya.
Sekalipun Yunho masih
percaya dan setia padanya, tapi masalah tidak selesai sampai di situ saja. Soal
skandal itu, bagaimana Jaejoong harus mengatasinya?
“Jadilah dirimu sendiri,”
jawab Nyonya Kim mantap. Tangannya meremas telapak tangan kiri Jaejoong yang
berada dalam genggamannya dengan kuat.
“Kalau kau tidak bisa
menemukan jalan keluarnya, ubahlah dirimu, ubah cara pandangmu. Bukan menjadi
Kim Jaejoong yang seorang penyanyi terkenal, tapi jadilah Kim Jaejoong sebelum
mengenal dunia keartisan. Jadilah Kim Jaejoong yang rakyat biasa, jadilah dirimu
sendiri, Joongie. Bukankah lebih mudah menjadi diri sendiri daripada hidup
menjadi orang lain?”
Jaejoong terdiam. Matanya
memandang ke dalam mata Nyonya Kim, seolah sedang mencari kebenaran di sana. Pandangan
mata Nyonya Kim yang begitu yakin, membawa keyakinan itu merasuk perlahan ke
dalam diri Jaejoong, membuat asanya menguap ke permukaan. Tubuhnya terasa lebih
ringan. Dan sebuah senyum hangat yang menghiasi wajah Nyonya Kim, membuat
perasaan Jaejoong lebih tenang.
Jaejoong ikut tersenyum
beberapa detik kemudian. Ya, dia telah menemukannya. Dia tahu apa yang harus
dilakukannya. Dia tahu langkah apa yang akan dia ambil. Dan dia tahu benar,
nantinya akan jadi seperti apa.
“Terima kasih, umma,” kata Jaejoong.
Tangan kanannya yang
bebas, diletakkan di atas tangan Nyonya Kim yang tengah menggenggam tangan
kirinya. Dipegangnya erat tangan ummanya,
sambil tersenyum. Dn Nyonya Kim balas tersenyum ke arah anaknya, lalu meraih
tubuh Jaejoong ke dalam pelukannya.
“Percaya. Dan jadilah
dirimu sendiri, Joongie-ya.”
* * *
Kim Jaejoong sedang berada
di dalam mobilnya sekarang. Matanya dengan gelisah beberapa kali menatap jam
tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jemarinya sibuk
mengetuk-ngetuk stir mobil di hadapannya. Sesekali dia memejamkan matanya,
berusaha menenangkan diri. Sementara otaknya terus berputar, berpikir dan
mempertimbangkan langkah besar yang akan diambilnya setelah ini.
Cukup lama Jaejoong
berdiam di dalam mobil, sebelum kemudian dia menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya dengan kuat. Kedua tangannya menggenggam stir mobil dengan
kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.
Ya, Jaejoong sudah
mengambil keputusan. Dia akan melakukannya. Sekarang atau tidak sama sekali.
Dieratkannya mantel
berwarna coklat tua yang membalut tubuhnya, sebelum kemudian Jaejoong membuka
pintu mobil dan melangkah keluar. Suasana di sekitarnya sepi. Tentu saja,
karena ini sudah hampir tengah malam. Langit malam yang menggantung di atasnya
pun terlihat mendung. Tak ada bintang apalagi bulan yang terlihat. Angin malam
yang berhembus kali ini pun terasa kuat.
Jaejoong melangkahkan
kakinya menuju salah satu apartemen yang ada di kawasan elit di Seoul ini.
Langkahnya cepat dan pendek-pendek, namun mantap. Lankahnya cepat bukan karena
menghindari sesuatu atau seseorang, melainkan karena Jaejoong memang ingin
cepat-cepat menyelesaikan ini, maka dari ituah dia berjalan cepat.
Dan lagi, Jaejoong sudah
membuang jauh-jauh yang namanya menghindar dari wartawan dan fans. Terbukti dari penampilannya
sekarang yang tanpa masker, kacamata hitam, atau pun topi. Jaejoong tidak
peduli lagi dengan semua barang itu sekarang. Ketahuan oleh wartawan pun
Jaejoong sudah tidak mau ambil pusing, dia memilih untuk auh saja. Sudah cukup
bermain kucing-kucingannya, dia tidak akan lari lagi, begitu pikir Jaejoong.
Kakinya berhenti ketika
dirinya tiba di depan sebuah pintu. Jaejoong menghembuskan napas pelan, sebelum
kemudian menekan bel yang ada di samping pintu. Sekali, dua kali, Jaejoong
menekan bel lalu menunggu respon dari si pemilik apartemen yang ditujunya ini.
Kakinya mengetuk-ngetuk, berusaha mengusir kegelisahannya.
“Ya?” sebuah suara
terdenar dari interphone yang ada di
samping pintu.
“Jihye-sshi, ini aku, Kim Jaejoong,” sahut
Jaejoong cepat, begitu mengenali suara tersebut.
“Jaejoong oppa?”
“Ya.”
Hening beberapa saat.
Jaejoong sendiri bingung kenapa yeoja
yang mengenalnya ini mendadak terdiam. Apa kedatangannya kemari bukan di waktu
yang tepat?
“Tunggu sebentar, oppa, akan kubukakan pintu,” sahut yeoja itu kemudian. Diam-daim Jaejoong
menarik napas lega. Setidaknya kedatangannya kemari tidak ditolak begitu saja.
Tak sampai 3 menit, pintu
apartemen yang ada di hadapan Jaejoong mengayun terbuka. Tampak seorang yeoja berambut pendek yang mengenakan
sebuah kaos putih dan celana pendek di atas lutut, tengah berdiri di sana.
Jaejoong tersenyum kecil menatap yeoja
bernama Wang Jihye, ‘rekan’ skandalnya itu.
Wang Jihye tampak cukup
terkejut dengan kedatangan Jaejoong yang tiba-tiba ke apartemennya, membuatnya
hanya bisa tersenyum canggung ke arah Jaejoong. Tangannya bergerak menggaruk
tengkuknya yang tidak terasa gatal. Entah kenapa dia jadi merasa gugup.
Sepertinya ada sesuatu yang mendesak sekarang.
“Ada perlu apa, oppa? Tumben mendadak kemari,” kata
Jihye dengan sedikit gugup.
Jaejoong yang sebenarnya
juga agak gugup, berusaha mengendalikan kegugupannya dengan menarik napas
dalam, sebelum menjawab, “Itu… sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu,
Jihye-sshi,” kata Jaejoong. Kedua
tangannya yang berada di balik saku mantel tergenggam erat.
Jihye tampak berpikir
sejenak. Apa ini tentang skandal mereka?
“Ah kalau begitu, ayo,
silahkan masuk, oppa,” ujar Jihye
sambil menyingkir sedikit dari pintu, memberikan ruang untuk Jaejoong masuk,
“Kita bicarakan di dalam,” imbuh Jihye.
Jaejoong mengangguk samar,
kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen Jihye. Begitu Jaejoong
masuk, Jihye segera menutup pintu dan berniat langsung bergegas masuk ke dalam.
Namun langkah Jihye terhenti ketika dirinya mendapati Jaejoong hanya berdiri
diam membelangkangi pintu yang berjarak kurang lebih 1 meter dari posisi
Jaejoong sekarang. Jaejoong berdiri di sana, tidak melepas sepatu dan tidak
masuk ke dalam. Dahi Jihye berkerut, bingung melihat Jaejoong terpaku di
tempatnya.
Jihye melangkah
menghampiri Jaejoong dan berdiri di depan Jaejoong, “Kenapa berdiri di situ
saja, oppa? Ayo masuk saja ke dalam,
tidak usah sungkan,” ajak Jihye.
Jihye merasa suasana di
antara mereka menjadi canggung, apalagi dengan raut serius yang tersirat dari wajah
Jaejoong. Apa mereka akan membicarakan sesuatu yang serius?
“Tidak usah, Jihye-sshi. Aku juga hanya perlu waktu
sebentar kok,” ujar Jaejoong. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis.
“Ah begitu,” gumam Jihye.
Kedua tangannya terlipat ke belakang dan meremas-remas gelisah. “Eum… lalu ini
tentang apa, oppa?” tanyanya
kemudian.
Jaejoong tampak menarik
napas dalam-dalam sebelum kemudian berkata, “Jihye-sshi, kurasa sekarang saatnya kita mengakhiri sandiwara ini,” kata
Jaejoong dengan nada rendah dan tegas yang membuat Jaejoong tampak benar-benar
serius dengan ucapannya.
“Eh? Ma-maksud, oppa?” tanya Jihye spontan. Yeoja yang bergelut di dunia akting ini
tampak kaget mendengar penuturan Jaejoong yang tiba-tiba itu. Dia benar-benar
tidak menyangka kalau inilah yang akan mereka bicarakan.
Jaejoong berdeham sejenak,
berusaha mengusir kering dari tenggorokannya, “Sebaiknya skandal ini sampai di
sini saja. Kita tidak perlu melanjutkan sandiwara ini, kita tidak perlu
berpura-pura kencan di depan publik, kita tidak perlu menghindar lagi dari
kejaran wartawan. Kurasa semuanya sudah cukup sampai di sini saja.”
Jihye mengerjapkan matanya
beberapa kali, antara percaya dengan tidak dengan perkataan Jaejoong barusan.
Kenapa semuanya terkesan tiba-tiba? Kenapa mendadak Jaejoong memutuskan untuk
menghentikan skandal ini?
“Aku tahu ini mendadak.
Maafkan aku, Jihye-sshi, atas
keputusan sepihak yang tiba-tiba ini. Tapi…” Jaejoong menggantungkan kalimatnya
sejenak dan menatap Jihye lekat-lekat, berharap yeoja di hadapannya ini bisa mengerti apa yang dipikirkan sekaligus
dirasakan Jaejoong, “aku sudah tidak bisa melanjutkannya. Aku sudah muak dan
batasku hanya sampai di sini. Aku sudah terlalu banyak menyakiti orang lain,
aku sudah banyak mengecewakan orang lain. Aku bahkan sudah sangat merepotkanmu,
Jihye-sshi. Maafkan aku,” kata
Jaejoong lalu membungkukkan badannya dalam.
“Jangan begitu, oppa,” ujar Jihye cepat sambil
mengangkat bahu Jaejoong agar namja
itu berhenti membungkukkan badan kepadanya, “Aku tidak apa-apa, oppa, sungguh. Aku justru
mengkhawatirkan Jaejoong oppa.”
Jaejoong menatap Jihye
dalam diam, menunggu Jihye melanjutkan kata-katanya.
“Sejak kasus skandal itu, Jaejoong oppa
terlihat berbeda. Oppa terlihat lebih
murung, tidak seperti sebelumnya yang selalu ceria dan bersemangat. Dan
sepertinya oppa terlihat banyak
pikiran. Aku tidak tahu oppa
menyadarinya atau tidak, tapi belakangan oppa
sering sekali menghela napas. Aku jadi khawatir dengan keadaan oppa. Kurasa oppa banyak menderita karena masalah ini,” kata Jihye pelan dan
hati-hati. Dia tidak ingin Jaejoong sampai salah sangka karena pendapatnya ini.
Jaejoong sedikit tertunduk,
matanya menekuri lantai dan berbagai pikiran berkelebatan di benaknya. Benarkah
selama ini dia terlihat se-menyedihkan itu? Jaejoong memang sering kali
mendapati Junsu sedang menatapnya diam-diam. Tapi waktu itu Jaejoong tidak
menyadari arti tatapan Junsu. Baru sekarang setelah mendengar kata-kata Jihye,
Jaejoong tahu sebenarnya Junsu sedang menatapnya dengan pandangan khawatir.
“Oppa,” panggil Jihye, melihat Jaejoong yang hanya diam. Matanya
menatap Jaejoong dengan pandangan khawatir.
Jaejoong segera mengangkat
kepalanya. Matanya bertemu pandang dengan Jihye. Benar, sorot kekhawatiran itu
terlihat jelas dari kedua mata Jihye. Jaejoong bisa merasakannya.
Sembari tersenyum,
Jaejoong berkata, “Gomawo, Jihye-sshi,” katanya lirih, “Terima kasih,
karena sudah mengkhawatirkanku. Terima kasih pula untuk semua kerja keras dan
kesediaanmu untuk membantuku. Terima kasih banyak. Maaf sudah banyak
merepotkanmu.”
Melihat senyum lembut di
wajah Jaejoong, Jihye ikut tersenyum. Sorot mata Jaejoong kali ini berbeda,
Jihye bisa merasakannya. Sorot mata itu lebih hidup, membuat Jihye menarik
napas lega.
Sepertinya Jaejoong memang
sudah mengambil keputusan yang tepat. Pria itu terlihat yakin dengan langkah
yang diambilnya ini. Maka dari itulah, Jihye pun merasa yakin kalau memang ini
yang harus mereka lakukan,
“Eum,” gumam Jihye sambil
mengangguk cepat, “Terima kasih juga untuk kerja keras oppa selama ini. Maaf juga kalau aku tidak bisa membantu banyak,”
ujar Jihye lalu menunduk dalam, membuat Jaejoong pun refleks membungkukkan
badannya.
Setelah keduanya
menegakkan badan kembali, begitu kedua mata mereka bertumbukkan, tanpa disadari
keduanya langsung tertawa lepas. Spontan saja, mereka sendiri tidak tahu kenapa
tawa mereka bisa pecah seperti itu. Sepertinya mereka berdua telah melepaskan
beban dari pundak, membuat mereka bisa tertawa lepas lagi, tanpa beban batin
dan pikiran.
Baru setelah tawa mereka mereda,
Jaejoong mengulurkan tangannya unuk menjabat tangan Jihye. Meski sempat
bingung, namun akhirnya Jihye menyambutnya. Keduanya saling berjabat tangan dan
menggenggam erat satu sama lain. Tak lupa dengan senyum lebar di wajah Jaejoong
serta Jihye.
“Mari, kita akhiri
sandiwara ini.”
* * *
-to be continued-
P.S
Komen yaa~~ :3
0 komentar:
Posting Komentar