LAUT
To me, the sea is like a person —
like a child that I’ve known a long time.
It sounds crazy, I know, but when I
swim in the sea I talk to it.
I never feel alone when I’m out
there. - Gertrude Ederle
* * *
a Shingeki no Kyojin fanfiction
with RivaEre Relationship
Laut © Kristalicia Rizki
Disclaimer : I do not own the cast. Shingeki no Kyojin belong to Isayama
Hajime-sensei. This fanfiction
belongs to me. This is a non-profitable fanwork.
Rate : T
Warning : BL, semi-canon, typo(s), agak OOC, latar
tempatnya dunia SnK, latar waktunya masa depan setelah kemenangan umat manusia.
Inspirasi dari chapter 72.
* * *
Biru. Laut, tempat jutaan meter kubik
air berada, berwarna biru pekat. Mungkin airnya berwarna biru. Tapi
sepengetahuan umat manusia yang ratusan tahun hidup di dalam dinding, air tidak
berwarna. Bening. Transparan. Netral.
Gelombang
air yang datang dan pergi bersentuhan kasar dengan ribuan butir pasir berwarna
putih dengan efek kuning keemasan akibat sinar matahari, menciptakan bunyi berdesir
pelan yang menghanyutkan. Seorang pria berambut raven berdiri di sana, membiarkan air asin itu menyentuh jari-jari
kakinya hingga menenggelamkan telapak kakinya hingga semata kaki. Sedetik, dua
detik, air itu surut dan membuat pijakannya merosot. Air laut menggerus
pasir-pasir di bawah kaki pria itu, sebagai ganti karena tidak bisa menarik
telapak itu ke dunia yang bukan daratan.
“Uwaaaaaaaah,
ternyata laut seluas ini!” seru seorang wanita dengan ikatan rambut kuncir
kuda.
Wanita
itu dengan santai melepas kacamata dan membuangnya ke atas pasir, sementara
sepasang sepatu boot-nya dilempar ke
belakang setelah dilepas asal-asalan. Dengan langkah kaki panjang dan lebar,
wanita itu menerjang gelombang pasang air laut dan tanpa sungkan membuat
dirinya basah kuyup dengan menjatuhkan diri ke atas air. Tawanya terdengar
begitu lepas, hingga membuat si pria raven
melirik ke arahnya.
“Kau
harus coba ini, Levi, airnya benar-benar asin!” serunya bersemangat sembari
sibuk menjulurkan lidah, merasa keasinan setelah air laut itu tanpa sengaja
terminum.
Levi
menatap datar. Bibirnya pun datar, terkatup rapat, tidak ingin menyahuti
omongan rekannya. Pandangannya menerawang ke kejauhan, membiarkan otot matanya
rileks dengan pemandangan biru yang menenangkan. Semilir angin berhembus.
Dingin menerpa wajahnya.
“Erwin!
Erwin! Cepat kemari!” seru Hanji Zoe, wanita itu, yang kini sibuk
melambai-lambaikan tangan dengan penuh semangat.
Levi berdiri diam di tempatnya.
Tidak bergerak. Seruan bersemangat orang-orang di belakangnya mulai mendekat,
bersamaan dengan suara langkah kaki yang tak seragam dan saling mendahului.
“Makanya yang pertama... ayo kita
lihat laut! Sampai ke cakrawala... Pasti di sana ada ikan yang tidak ada di
sini!”
“...”
“Eren, kau masih tidak percaya ya?
Semua itu pasti ada, lihat saja nanti!”
“... Kalau begitu... ayo kita lihat.”
“Janji
ya! Tidak boleh bohong!”
Alis
Levi berkerut ketika terngiang di telinganya percakapan malam itu. Percakapan antara
bocah-bocah Shiganshina—Armin
Arlert, Mikasa Ackerman, dan bocah kesayangannya.
Pandangan
Levi menerawang ke langit biru cerah tanpa awan. Angin kembali berhembus
menerpa tubuhnya. Dingin, meski matahari bersinar terang. Suara riuh anggota
pasukan pengintai berada begitu dekat di telinganya, bercampur dengan suara
kecipak air yang pecah karena tubuh yang saling tumpang tindih. Sesekali
cipratan air itu mengenai wajahnya, beberapa kali mengenai jubahnya yang ikut
berkibar karena angin.
“Ouwoooooh,
ada ikan besar! Ada ikan besar yang melompat di atas air!” pekik Sasha Brauss
girang.
“Lihat
ini! Aku menemukan hewan aneh!” seru Connie Springer tak kalah kerasnya, “Makhluk
itu sepertinya punya capit. Huaa hentikan, Jean. Jauhkan itu dariku!”
“Kyaaaa,
turunkan aku, Ymir!”
Levi berdecak kesal. Fokusnya pecah.
Ketenangan yang dirasakannya menghilang sudah bersama dengan pasir-pasir di
bawah kakinya yang makin menyusut, dibawa pergi oleh air laut dan tak kembali.
Pekik girang dan jeritan senang mengalahkan suara desir gelombang yang makin
tinggi. Namun keramaian itu tidak bisa menghilangkan sepi dari dirinya.
Semuanya tetap sama. Hampa dan kosong. Setelah kepergian bocah itu...
“Kapten. Tempat apa di luar dinding
yang ingin Kapten kunjungi setelah ini?”
“... Hm... Entahlah.”
“Kata Armin, di luar sana ada tempat
yang isinya air banyak sekali. Laut.”
“Hm...”
“Ayo kita kesana, Kapten.”
Levi memandang bocah titan yang
duduk di sampingnya dengan pandangan bertanya.
Bocah titan itu mengangguk-angguk
semangat, “Aku ingin melihat matahari terbenam di sana bersama dengan Kapten.
Kata Armin, langitnya bisa berubah warna jadi oranye lalu mataharinya
lama-kelamaan tenggelam hingga tidak terlihat sama sekali. Pasti indah.”
Levi diam. Matanya tidak lepas
menatap bocah titan itu. Iris kelabunya terfokus memandang senyum lebar si
bocah Jaeger, sembari berharap dia bisa terus melihat senyum itu.
“Kapten mau pergi ke laut bersamaku,
kan?”
Levi diam semenit sebelum kemudian
menyanggupi keinginan bocah kesayangannya itu, “Baiklah. Asal kau masih hidup
dan tidak keburu dimakan oleh titan-titan jelek itu saat ekspedisi besok,
bocah.”
Bocah
itu menggaruk tengkuknya, “Hehehe...” kekehnya pelan. Dan tanpa sadar, tangan
Levi bergerak mengacak rambut Eren Jaeger.
Angin
berhembus lagi, makin kencang dan makin dingin. Levi membuka matanya, yang
tanpa sadar terpejam seiring dengan memori-memori yang muncul kembali dalam
benaknya. Pandangannya memburam entah kenapa. Telapak tangannya terangkat dan
diusapnya matanya itu dengan punggung tangan kanan. Gerakan tangannya terhenti
ketika sikunya menyentuh lengan atas seseorang yang berdiri di sampingnya.
Levi
tidak menoleh. Sayup-sayup di antara gelak tawa senang anggota pasukan
pengintai, daun telinganya dapat menangkap suara isak tangis tertahan dan
tarikan napas pendek-pendek tidak teratur. Kelebatan syal merah yang berkibar
sekilas di sampingnya dan rambut pirang teracak-acak oleh angin yang tertangkap
melalui sudut matanya sudah cukup memberinya jawaban.
Ada
Mikasa Ackerman dan Armin Arlert di sana, yang menangis sebagai ganti air
matanya yang mungkin sudah mengering.
.
.
.
“Apa
ini?”
Hanji
mendongak. “Ini namanya perahu, Levi. Masa tidak tahu,” jawabnya enteng sembari
sibuk mengelus-elus badan perahu yang terbuat dari kayu.
“Yang
kutanyakan bukan itu, kacamata.”
Hanji
terkekeh-kekeh, tawa misterius yang mencurigakan. Levi sudah biasa melihatnya
dan sudah bisa menebak ide gila yang akan muncul di otak wanita bertubuh lebih
tinggi darinya itu.
“Kau
harus ikut dengan kami, Levi. Aku, Moblit, Arlert, Brauss, dan Ackerman akan
berlayar ke tengah lautan! Kami akan menjelajah dan mencari ikan besar yang
dilihat Brauss kemarin,” sahut Hanji bersemangat. Matanya berbinar-binar penuh
ambisi seperti biasa. Tangannya terkepal dan mengacung ke langit gelap yang
menggantung di atas mereka.
Levi
mendongak, mencari matahari. “Kau mau berlayar besok pagi?”
Hanji
menggeleng, lalu berdiri dan mendekatkan wajahnya pada Levi, “Sekarang Levi,
sekarang!” serunya, “Apalagi sih yang perlu ditunggu?”
Levi
berdecak kesal dan mundur dua langkah menjauh dari wajah berseri Hanji,
sementara wanita itu sudah melompat-lompat girang mengitari perahu sederhana
buatan Moblit. “Kau buta? Matahari sudah tenggelam. Kau pikir bisa menemukan
ikan besar di tengah kegelapan seperti itu?” tanyanya dengan nada sangsi,
sembari telunjuk menunjuk ke arah kegelapan tak berujung di lautan.
Hanji
menyilangkan kedua tangan di depan dada, “Ckckck... Bilang saja kau takut,
kan?” sindirnya dengan sebuah seringaian. “Kalau takut, kau tidak usah
memaksakan dirimu untuk ikut dengan kami, Levi. Tidur saja yang nyenyak di
balik selimutmu.”
Harga
diri Levi terluka. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di atas perahu. Duduk
bersila dengan tenang di anjungan. Kedua mata terpejam, menikmati semilir angin
laut yang dingin beraroma khas kebebasan. Suara ribut-ribut Hanji dan Sasha
Brauss tidak menghentikan Levi menikmati desir air yang terpecah oleh laju
pelan perahu dan sama sekali tidak mengusik ketenangannya.
Aneh.
Hembusan angin dan ombak yang mengiringi perjalanan mereka ini terasa begitu
familiar bagi Levi. Tidak asing, juga tidak menakutkan. Perahu yang terus
bergoyang-goyang karena gelombang ini seolah sedang membawanya ke suatu tempat
yang selalu ingin ditujunya.
“Aku
datang... Eren...”
.
.
.
Nyaris mati dan berada di ambang
kematian adalah hal biasa bagi para anggota pasukan pengintai. Bertahun-tahun
mereka menantang maut di luar dinding. Ratusan kali tubuh mereka hampir jadi
santapan titan. Jutaan kali mereka merasakan adrenalin yang berpacu deras dalam
darah, membuat jantung berdetak cepat, ketar-ketir kalau-kalau mereka
benar-benar akan mati. Mereka paham benar rasanya menghadapi kematian. Akan
tetapi kali ini lain cerita.
Bukan
titan setinggi 10 meter yang mereka hadapi, melainkan ombak besar yang
tingginya hampir 10 meter. Langit makin gelap, diselimuti awan tebal yang
seolah mengabarkan petaka. Angin berhembus kencang, menggoyahkan perahu dan
tubuh keenam orang yang ada di atasnya.
“Se-semenit
yang lalu langitnya masih cerah. Kenapa bisa tiba-tiba berubah begini?” tanya
Hanji, yang sedang sibuk berpegangan pada badan perahu agar tidak jatuh ke air.
Levi
masih di anjungan, berusaha sekeras mungkin mempertahankan tubuhnya agar tetap
berada di atas perahu.
“Bagaimana
ini, Kapten?” seru Moblit pada Hanji di sela-sela deru angin yang makin
kencang.
Hanji
menggeleng lemah. Dan Sasha langsung menjerit heboh, “Aku tidak mau mati
sekarang! Aku belum makan ikan besar itu. Aku tidak mau mati di sini..!!!”
“Kita
harus—huaaaaa...!!!!”
Sekonyong-konyong gelombang besar
datang menghantam perahu kecil mereka. Perahu mereka terombang-ambing dengan
keras.
“Armin!!!” pekik Mikasa.
Levi mengedarkan pandangan di tengah
pekatnya malam itu dan menemukan Mikasa sedang memegangi Armin yang setengah
tubuhnya sudah berada di air. Baru saja Levi berdiri dan akan menghampiri
Mikasa untuk membantu menolong si bocah pirang itu, namun gerakannya terhenti
karena giliran sebuah pusaran angin yang kali ini menghantam perahu mereka
datang dengan membawa hujan lebat.
Perahu berputar lagi, dipermainkan
oleh gelombang air. Badai yang datang ini perlahan mengikis harapan mereka
untuk bisa bertahan hidup di tengah lautan. Suara histeris Hanji dan Sasha
teredam oleh suara air yang jatuh ke permukaan laut bercampur suara deru angin
yang berputar-putar di sekeliling mereka. Namun samar-samar Levi masih bisa
mendengar ketika Hanji berteriak memanggil namanya.
“Tidak...!!! Levi!!!”
Setelah itu Levi tidak mendengar
apa-apa lagi. Kembali sunyi dan sepi. Yang bisa dirasakannya hanya dingin yang
tiba-tiba menyelubungi seluruh tubuhnya. Raganya seolah melayang-layang ringan
di dalam suatu kegelapan yang menyeretnya menjauh dari kesadaran.
“Kapten...”
Alis Levi berkerut makin dalam
ketika mendengar suara seseorang memanggil namanya. Siapa?
“Kapten...
Kapten Levi...”
Suara
ini...
‘Eren?’
batin Levi. Kedua kelopak matanya perlahan mulai membuka dan napasnya tercekat
seketika.
Kunci
ruang bawah tanah milik Eren Jaeger, yang sejak hari itu menggantung sebagai
kalung di lehernya, melayang-layang di depan wajahnya. Pendar keemasannya
terlihat begitu mencolok di antara gelap yang menyelimutinya.
“Kapten...”
Levi
mendengar suara itu lagi dan kali ini ia yakin suara itu adalah milik Eren
Jaeger. Dengan kesadaran dan kekuatan yang minim, Levi berusaha menggerakkan
tangan kanannya yang terasa kebas untuk meraih kunci itu, kemudian digenggamnya
erat dengan sisa-sisa energi yang dimilikinya.
Bayangan
Eren Jaeger muncul sedetik kemudian. Berdiri di sana, di hadapannya. Levi
menatap lurus ke depan, tepat ke dalam iris zamrud favoritnya itu. Eren Jaeger
kemudian tersenyum, sebuah senyum simpul sederhana yang tidak banyak melibatkan
kinerja otot wajah. Tangan Levi melepas genggamannya lalu terulur ke depan,
berusaha menangkup wajah bocah itu dalam telapak tangannya.
Bayangan
Eren Jaeger itu tersenyum lagi, lebih lebar dari sebelumnya. Dan uluran tangan
Levi ternyata mendapat respon lebih. Bayangan putih itu dengan cepat menghambur
ke dalam rengkuhannya. Levi bisa merasakan hangat yang saat itu juga membungkus
badannya. Kelopak mata Levi terpejam, sepenuhnya menikmati bagaimana
halusinasinya ini terasa begitu nyata.
Tangan
kanan Levi melingkari bahu semu Eren, berusaha memeluknya seerat mungkin dan
tidak akan membiarkan bocah itu pergi kemana pun. Bahkan kini Levi bisa
menghirup aroma pinus yang selalu dirindukannya. Halusinasinya semakin mengikis
kemampuan berpikirnya. Terasa begitu hidup, lebih dari sekadar bunga tidur. Mungkin
ini surga.
‘Apa
kau datang untuk menjemputku, bocah? Apa kau akan membawaku pergi bersamamu?’
Kali
ini Levi mendengar kekehan lirih. Suaranya begitu jernih dan hangat, masa kan
ini hanya sebuah halusinasi?
“Aku
datang untuk melindungi, Kapten.” Suara Eren terngiang tepat di telinganya, “... dan... terima kasih, karena selama ini
Kapten sudah terus melindungiku.”
.
.
.
Suara deburan ombak mengusik Levi. Pria
beriris kelabu itu mengerutkan dahinya sebelum kemudian membuka kedua matanya.
Sinar yang masuk melalui pupil membuatnya menyipitkan mata, lalu
mengerjap-ngerjap beberapa kali, berusaha membiasakan matanya dengan cahaya di
sekeliling.
Setelah
sepasang kelopak mata itu sudah benar-benar terbuka, Levi melirik ke bawah,
memperhatikan tubuhnya yang sedang berbaring telentang dengan kedua tangan
terkulai di sisi tubuh. Dari indera-indera peraba di sekujur telapak tangan,
Levi bisa merasakan granula-granula yang ada di bawah tubuhnya—pasir. Menoleh ke samping kanan,
Levi menemukan Mikasa Ackerman dan Armin Arlert sedang berbaring dengan mata
terpejam. Di sisi kiri tubuhnya, ada Hanji, Moblit, dan Brauss yang keadaannya
tidak jauh berbeda dengan Mikasa serta Armin.
Levi menghela napas, kemudian
mendudukkan tubuhnya. Pemandangan laut biru yang tenang dan langit cerah
berhiaskan awan berarak langsung menyambutnya. Suara desir ombak dan gemerisik
dedaunan dari pohon kelapa mengisi keheningan.
Levi mengedarkan pandangan dan tak
menemukan satu orang pun yang sadar seperti dirinya. Kemudian diperhatikannya
tubuhnya lagi—pakaiannya basah sementara tubuhnya sudah kering. Terasa dingin
begitu sepoi angin menerpanya.
Levi berusaha mengumpulkan
ingatannya. Ide gila Hanji. Perahu. Laut. Ombak. Armin Arlert. Angin. Hujan.
Badai. Teriakan Hanji. Gelap. Dan...
Napas Levi tertahan ketika
dilihatnya sesosok bayangan pria berambut coklat dengan tinggi 170 cm tengah
berjalan ke arah laut. Jubah hijau berlambang sayap kebebasan di belakangnya
berkibar diterpa semilir angin.
“Eren...” desis Levi. Bayangan itu
terus melangkah pergi, berjalan di atas lautan dan bergerak meninggalkan bibir
pantai.
Segera Levi berdiri dan berjalan
mengejarnya. Setiap langkahnya terus dipercepat, meski tubuhnya terasa lemas
tak bertenaga. Bayangan itu makin menjauh dan berada di luar jangkauan uluran
tangannya. Gerakan kaki Levi perlahan mulai melambat ketika bayangan itu sudah
berada jauh di tengah laut. Bola matanya tidak lepas memandang sosok pria itu.
Bibirnya yang kering terbuka dan siap memanggil nama bocah kesayangannya itu,
namun suaranya terhenti di pangkal tenggorokan ketika dingin menggerayapi
sepasang kakinya. Fokusnya teralih. Levi menunduk dan melihat sapuan ombak
mengenai jemari kakinya, menenggelamkan telapak kakinya hingga semata kaki
selama 5 detik. Air laut itu lalu surut sambil menggerus pasir-pasir yang ada
di bawah kakinya. Dan ketika Levi mengangkat wajahnya, bayangan itu sudah
menghilang. Dengan panik Levi mengedarkan pandangannya, berusaha mencari jejak
ke arah mana bayangan itu pergi. Ketika kakinya hendak melangkah lebih jauh ke
arah laut, angin seketika berhembus menerpa tubuhnya dari arah berlawanan.
Levi terdiam. Angin yang berhembus
kali ini terasa berbeda. Begitu hangat hingga mampu memulihkan suhu tubuhnya
kembali normal. Aroma pinus yang samar-samar masuk melalui indera penciumannya
membuatnya menengadah, menatap langit dengan seribu satu rasa. Dan saat angin
tersebut kembali membelai wajahnya dengan lembut, Levi tersadar. Sedari tadi
telapak tangan kanannya terus terkepal.
Levi membuka kepalan tangannya dan
menemukannya di sana. Kalung dengan liontin berupa kunci berwarna keemasan.
Angin berhembus lagi, mengacak-acak helai rambut raven-nya. Levi kembali menatap lautan yang membentang luas tak
berujung di depannya, sembari tersenyum tipis.
“Terima kasih, Eren.”
Dan setitik air mata yang jatuh ke
laut dari iris kelabu itu berubah menjadi mutiara hijau yang tidak akan tergerus,
baik oleh air laut maupun oleh waktu.
.
.
We
are tied to the ocean.
And
when we go back to the sea; whether it is to sail or to watch, we are going
back from whence we came. - John F. Kennedy
.
.
.
-
TAMAT -
A/N
Selamat
sore.
Fic
ini adalah hasil dari ke-baper-an(?) saya setelah baca SnK chapter 72. Setelah
baca chapter itu mendadak saya jadi orang yang pesimis dengan hidup. /oke ini
lebay/
Karena,
entah karena sayanya yang maso atau pikirannya yang negatif, saya kok merasa
Levi bakalan beneran dibikin mati sama Hajime Isayama-sensei. Semoga matinya
bukan pas merebut kembali wall Maria ya.
Duh,
saya jadi baper lagi.
Mohon
kritik, saran, dan komentarnya yaa. Arigachu.
13 Agustus 2015
18.12 WIB
Tembalang, Semarang