AFTER
DEATH
Aku
tidak pernah takut mati.
Kalau
kiamat datang sekarang pun aku tidak khawatir.
Yang
aku takutkan dan khawatirkan hanyalah... aku tidak bisa tinggal di dunia yang
sama denganmu.
* * *
a Shingeki no Kyojin fanfiction
with RivaEre Relationship
After Death © Kristalicia Rizki
Disclaimer : I do not own the cast. The cast
belong to Isayama Hajime-sensei. This
fanfiction belongs to me. This is a non-profitable fanwork.
Rate : T
Warning : BL, OOC, Typo(s).
* * *
Aku pikir arwah yang berdiri mematung
memandangi mayat diri sendiri hanya ada di film-film. Namun ternyata hal itu
bukan sekadar adegan fiktif khayalan sang penulis naskah. Aku, Eren Jaeger,
berdiri di samping mayat diriku yang terbujur kaku dengan wajah pucat di atas
ranjang rumah sakit.
Tak
ubahnya seorang manusia, aku bisa melihat, mendengar, mencium, dan merasakan
dengan jelas segala hal yang ada di salah satu ruang ICU di rumah sakit ini.
Aku melihat Mama yang berlutut di samping ranjang rumah sakit dengan tubuh
bergetar hebat sembari menggoncang-goncang tubuh manusiaku. Aku juga melihat Papa merangkul
Mama dengan erat dalam dekapannya dengan rahang yang mengeras untuk menahan air
mata agar tidak jatuh. Di sisi ranjang yang lain, aku melihat Mikasa Ackerman,
sahabatku sejak kecil, mengucurkan air mata tanpa henti dan tidak mau bersusah payah
berusaha untuk menyekanya.
Aku
mendengar suara parau Mama yang tak henti memanggil namaku dan memohon padaku
agar jangan pergi. Aku mendengar suara Papa yang sama paraunya, berusaha
menenangkan Mama sekaligus berusaha menguatkan diri sendiri. Sementara Mikasa,
wanita berwajah oriental itu, menangis dalam diam dan hanya terdengar isakan
sesekali yang bisa kuhitung jumlahnya dengan jari.
Aku
bisa mencium bau obat-obatan yang kuat khas rumah sakit. Aku bisa mencium
dinginnya suhu pendingin ruangan dengan bulu-bulu halus di dalam lubang
hidungku. Aku bahkan bisa mencium aroma kesesakan yang menghimpit dadaku,
menciptakan rasa nyeri asing yang membuat telapak tangan kananku refleks
meremas dada sebelah kiriku.
Aku
bisa merasakan kesedihan mencekam yang ada di ruang ICU itu. Aku bisa merasakan
kehilangan besar yang membuat batinku terasa kosong. Juga bisa kurasakan
tubuhku yang sekarang ini begitu ringan, begitu dingin tanpa hawa kehidupan,
begitu transparan seperti udara hingga Mama, Papa dan Mikasa tidak bisa
melihatku, dan begitu kesepian.
Tanganku
terulur untuk menyentuh pundak Mama, namun tangan ini menembus tubuh Mama
begitu saja, menguatkan fakta bahwa eksistensiku di dunia ini tidak lagi ada.
Aku hanyalah arwah yang berkeliaran di Bumi, menunggu malaikat atau iblis
datang menjemputku—pergi ke surga atau neraka.
Aku
yakin aku masih punya air mata untuk menangis. Tetapi menangisi diri sendiri
bukan hal yang ingin kulakukan sekarang—aku sudah terlalu sering mengasihani
diriku sendiri dan sekarang saat aku sudah mati, apalagi yang perlu kukasihani?
Aku
berbalik dan berjalan tanpa suara keluar ruang ICU. Gagang pintu yang tidak
bisa kupegang membuatku terhenti beberapa detik dan aku baru tersadar beberapa
saat kemudian. Kujulurkan tanganku dan benar saja, dengan mudah aku menembus
pintu berwarna putih itu. Koridor rumah sakit malam itu lengang, hanya terlihat
beberapa perawat yang berlalu lalang. Aku berdiri terpaku di depan pintu ruang
ICU, tidak tahu harus berbuat apa. Sudah mati begini memangnya apa yang bisa
kulakukan?
Aku
baru saja terpikir untuk pergi ke gereja dan merenung di sana—sembari berdoa
agar malaikat segera membawaku ke surga, ketika seorang pria berambut undercut berjalan menuju ke ruang ICU
tempat tubuh manusiaku terbaring tanpa nyawa. Alisku bertaut ketika aku
mengenali pria bertubuh lebih pendek dariku itu. Levi.
Aku
masih berdiri di tempatku ketika Levi sampai di depan pintu ruang ICU. Mata
hijau kebiruanku menatapnya heran. Untuk
apa dia kemari?
Kepalanya
yang sedari tadi tertunduk dalam kini terangkat, membuat kedua iris mata kami
saling bertatapan. Ah aku lupa kalau dia tidak bisa melihatku. Ketika kami
saling bertatapan—mungkin hanya aku yang menatapnya, aku bisa melihat kesedihan
yang dalam terpancar dari sorot mata tajam itu. Alisku bertaut makin dalam
seiring dengan perasaan aneh yang tiba-tiba menggerayapi tubuh fanaku.
Entah
berapa lama waktu berjalan yang hanya kuhabiskan untuk memandangi Levi yang
berdiri kaku di depan pintu ruang ICU. Pria ini hanya menatap kosong ke arah
pintu, tanpa ada niatan untuk membukanya. Sementara itu, kedua bola mataku
seolah terhisap ke dimensi matanya, membuatku tidak bisa berkedip. Atensiku
tiba-tiba saja terpusat pada pria itu dan gelanyar perasaan aneh kembali
menyerang jantungku ketika kulihat setetes air mata jatuh dari sudut matanya.
“Eren...”
bisiknya lirih.
Seketika
itu juga air mataku ikut jatuh. Ternyata benar, arwah masih bisa menangis.
.
.
.
Angin sepoi pagi ini tak juga sanggup
membawaku terbang ke surga. Sebaliknya, aku bisa duduk bersandar di sebuah
batang pohon dengan nyaman. Helai-helai rambutku berkibar seiring dengan
hembusan angin yang mengenai tubuhku. Sinar mentari yang sesekali mengintip di
balik rimbunnya dedaunan yang menggantung di atasku membuat mataku sesekali
menyipit. Kulihat langit biru hari ini begitu cerah, seolah mengantarkan tubuh
manusiaku ke tempat peristirahatan yang terakhir dengan... ceria?
Kedua
mataku terpejam, menikmati semilir angin yang berhembus lembut. Pemakaman pagi
ini tetap sepi dan sunyi, meski keluarga dan teman-temanku datang beramai-ramai
kemari dengan pakaian serba hitam. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara Mama
yang histeris memanggil-manggil namaku. Aku sudah lelah menyahut dan berkata
“Aku ada di sini, Ma.”. Mama tak akan pernah mendengar suaraku lagi, sekeras
apapun aku berteriak. Samar-samar kudengar juga suara isak tangis yang saling
tumpang tindih dengan suara yang berusaha menenangkan. Armin Arlert dan Jean
Kirstein berusaha menenangkan Mikasa meski mereka juga sama-sama berurai air
mata. Sir Erwin merangkul dan
menepuk-nepuk pundak Miss Hanji yang
tidak berhenti berusaha mengusap air mata di pipinya. Aku sama sekali tidak
menyangka kalau mereka akan menangis sampai seperti itu ketika aku benar-benar
meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Suara
gemerisik dedaunan yang masuk ke dalam gendang telingaku seiring dengan suara
derap langkah kaki yang mendekat perlahan membuat kedua kelopak mataku terbuka.
Aku menoleh dan kudapati seorang pria pendek tengah berdiri tepat di sebelahku.
Levi.
Dia datang lagi.
Aku
memperhatikan pria itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kemeja hitam lengan
panjang yang digulung hingga siku, celana berbahan kain warna hitam, dan sepatu
pantofel mengkilat warna hitam, terlihat begitu pas membalut tubuhnya yang
tergolong kekar. Untuk beberapa detik aku terpesona melihatnya, kuakui itu.
Akan tetapi segera aku tersadar dari lamunanku ketika kulihat wajahnya yang
tampak kacau dan lelah. Bagian bawah matanya semakin menghitam, mengindikasikan
bahwa pria itu kurang tidur selama beberapa hari belakangan. Sorot matanya
begitu sayu, terpancar dari sepasang kristal hitam yang terlihat begitu kosong
dan hampa.
Aku
bangkit berdiri, masih dengan tatapan yang tak lepas dari pria dengan tinggi
160cm itu. Levi tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri sekarang—di
bawah bayang-bayang pohon besar tempatku bersandar tadi, meski aku tahu
tujuannya datang kemari adalah untuk mengantarkanku dan melihatku untuk yang
terakhir kali. Wajah Levi juga tampak pucat, membuatku mendadak jadi khawatir
kalau-kalau pria ini tiba-tiba saja jatuh pingsan. Sungguh tidak ada semangat
hidup yang terpancar darinya, membuatku nyaris merasa kalau yang ada di
hadapanku ini adalah sebuah nyawa bergentayangan sama sepertiku.
Lagi-lagi
dadaku terasa sesak. Bukan karena suara tangis Mama di kejauhan yang tak
kunjung henti, juga bukan karena sedu sedan teman-temanku. Melainkan karena
suara parau nan lirih mirip bisikan yang meluncur keluar dari celah bibir Levi
yang sama pucatnya dengan wajahnya. Suara yang sarat akan kesedihan dan
kehilangan. Suara yang sama sekali tidak kusangka akan berasal dari seorang
pria serampangan yang suka bicara seenak jidatnya. Suara yang terus melafalkan
namaku, seolah itu mantra yang bisa mengembalikan nyawaku kembali ke dalam raga
yang berbaring tenang di dalam peti di bawah tanah.
“Eren...
Eren...”
.
.
.
Aku duduk dengan santai di kursi
penumpang tanpa perlu repot-repot memasang sabuk pengaman. Mobil Toyota Prius
hitam yang kunaiki ini begitu tenang melintas di jalanan, tak terdengar suara
mesin yang mencolok. Hanya ada suara AC
yang sibuk menyirkulasikan udara di dalam mobil dengan udara bersuhu rendah.
Sesekali aku melempar pandangan keluar jendela, meski fokusku lebih banyak
tertuju pada Levi yang tengah menyetir dalam diam di sebelahku.
Mataku
benar-benar tidak bisa lepas darinya. Pria ini mendadak saja jadi medan magnet
bagi tubuh fanaku ini. Aku bahkan tidak ingat bagaimana bisa berakhir di sini—duduk
di dalam mobilnya dan mengikuti kemana dia pergi.
Raut
wajah Levi sama sekali tidak berubah sejak tadi kuperhatikan lekat-lekat. Pria
ini memang terkenal expression-less,
wajahnya begitu datar tanpa perubahan ekspresi yang berarti. Senyumnya begitu
irit, apalagi tawanya yang seolah-olah terlalu mahal untuk ditunjukkan.
Kata-katanya yang to the point dan
terkesan blak-blakan dengan nada datar dan rendah selalu jadi ciri khas
bicaranya tanpa memandang siapa lawan bicaranya.
Asisten
dosen yang satu ini memang terkenal killer,
membuat setiap mahasiswa yang mendapat jatah asistensi dengan dirinya akan
mengalami mental breakdown seketika
itu juga. Bahkan aku nyaris tidak lulus pada mata kuliah Reinforced Concrete gara-gara tidak kunjung menyelesaikan tugas
yang diasistensikan oleh Levi. Untung saja ada Erwin Smith—suami dari bibiku,
Hanji Smith, alumni sipil yang bekerja di bidang sipil juga. Sir Erwin dengan berbaik hati mau
menjadi tempat konsultasiku yang ketika itu hampir gila karena tingkah dan
kemauan Levi yang aneh nan menyusahkan itu.
Lamunan
tentang masa-masa kuliahku pudar ketika mobil hitam ini memasuki basement area. Belum sempat mencermati
lingkungan di sekitarnya, mobil hitam mewah milik Levi sudah lebih dahulu
terparkir dengan manis di dekat pintu lift.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali ketika Levi sudah menanggalkan seat belt-nya dan membuka pintu mobil.
Aku langsung melompat keluar menembus pintu dan berlari kecil mengejar Levi
yang berjalan menuju lift. Tak sampai
1 menit pintu lift di depan mereka
terbuka. Kakiku segera melangkah masuk, mengikuti kemana pun Levi melangkah.
Levi menekan tombol bernomor 25 dan berdiri diam di depan pintu. Aku berdiri di
belakangnya dan memandangi lekat-lekat punggung kekar Levi.
.
.
“Dari
mana kau dapatkan rumus ini?”
Aku
diam seribu bahasa dengan kepala tertunduk. Mataku lebih suka memandangi semut
yang berjalan berputar-putar menabrak ujung sepatuku daripada menatap sepasang
mata yang sarat intimidasi itu.
“Kau
ini arca atau manusia? Tidak bisa bicara? Hei, aku bertanya padamu, Jaeger.”
Aku
mendongak sedikit dan melirik sedikit ke arah manik kelabu yang menatapku
tajam. Aku meneguk saliva dengan susah payah untuk membasahi tenggorokan yang
mendadak terasa kering.
“Etto...” Aku memeras otakku hingga
sepertinya cairan otakku mengering begitu saja, tapi tak membuahkan sebuah
jawaban yang bisa memuaskan keinginan si asisten mahasiswa berwajah sengak di
hadapanku ini.
“Kau
menyalin pekerjaan seniormu kan?”
“Tidak.”
Tidak kusalin semua, hanya sebagian besar
saja.
“Kalau
begitu rumus ini kau dapat dari mana?” cecarnya lagi.
Tolong
ingatkan aku di semester depan untuk banyak berdoa sebelum tugas beserta nama
asisten mahasiswanya turun.
“Rumus
ekuivalensi pembebanannya memang seperti itu, senpai, supaya beban trapesium dan beban segitiganya dapat diubah
menjadi beban merata.” Aku memuji diriku sendiri yang masih punya nyali untuk
menjawab.
Levi
Ackerman, saudara jauh teman sepermainanku yaitu Mikasa Ackerman, sama sekali
tidak melepaskanku dari pandangannya. Aku balas menatapnya dengan takut-takut,
bersiap untuk disembur dengan berbagai cercaan dan penjelasan teoritis dengan
bahasa setingkat dewa yang tidak mampu dimengerti oleh otak standarku ini.
Satu
detik, dua detik, sepuluh detik berlalu, dan hinaan tidak kunjung keluar dari
bibir Levi. Ini bukan adegan romansa dimana kedua tokoh utamanya saling jatuh
cinta pada pandangan pertama. Ini adalah adegan berdarah antara hidup dan mati
seorang mahasiswa teknik di tangan asistennya. Maka ketika aku berusaha
menyelamatkan diri dari tebing ketidaklulusan dengan sebuah argumen yang sudah
berada di ujung lidah, si pria pendek itu sudah terlebih dahulu menghentikan
kata-kataku.
“Belajarlah
dulu. Baca buku karangan ikan di perpustakaan. Besok aku ada di sini setelah
jam makan siang kalau kau mau asistensi lagi.”
Kiamat
mungkin sudah dekat. Baru kali ini kudengar seorang asisten killer memberikan grasi secara
cuma-cuma. Apa aku tidak salah dengar? Levi bicara tanpa nada tinggi dan
mengusirku secara halus. Padahal baru sepuluh menit lalu Reiner diusir dengan
sebuah remasan kertas laporan berbentuk bola yang mengiringi langkahnya. Aku
mengerjap beberapa kali, berusaha menjernihkan otakku yang bisa jadi konslet
dan mulai menciptakan halusinasi.
“Apa
lagi yang kautunggu? Mau kutanyai lagi, hm?”
Aku
menggeleng cepat, “Terima kasih, Levi-senpai,”
ujarku cepat sambil meraih laporanku di atas mejanya dan membungkuk sekilas,
lalu segera mengambil seribu langkah keluar dari laboratorium.
“Eren.”
Langkahku
yang keseratus terhenti ketika aku mendengar suara rendah itu memanggil nama
kecilku. Apa aku perlu memeriksakan telinga ke dokter spesialis THT?
Aku
menoleh dan ternyata Levi sudah berdiri tak jauh di belakangku. Apalagi
sekarang?
“Tolong
kembalikan payung ini ke pos satpam,” katanya sembari menyodorkan sebuah payung
berwarna biru dongker ke arahku.
Aku
mengerjapkan mata beberapa kali sebelum kemudian menerima uluran payung itu.
Dan segera setelah aku menerimanya, Levi berbalik dan kembali duduk di balik
mejanya. Kesadaranku yang masih tinggi membuatku dengan segera juga berbalik
dan berjalan melintasi pintu geser.
Refleks
kuhela napas kuat-kuat setelah berdiri di luar laboratorium, seolah baru saja
lolos dari eksekusi hukuman mati terpidana korupsi. Kuelus-elus dadaku,
berusaha menenangkan debaran jantung yang sejak tadi memang tak kunjung
berhenti.
“Selamat...
Selamat...” gumamku dengan penuh rasa syukur.
Di
depan pintu laboratorium yang tertutup itu aku sibuk bersyukur. Untuk kali ini
aku benar-benar merasa kalau Tuhan memang masih sayang padaku. Sepertinya aku
memang harus banyak berdoa supaya di asistensi berikutnya aku masih bisa
kembali dengan bernyawa.
“Kyaaa!!”
Suara
jeritan Christa dan Sasha membuatku tersadar dari lamunan. Kulihat kedua teman
sekelasku itu berlari-lari menerjang hujan sambil mendekap erat-erat laporan
dibalik jaket mereka. Di saat seperti ini memang laporan lebih penting dari
tubuh sendiri. Daripada laporan yang basah kehujanan, lebih baik kepala dan
badanmu yang basah kuyup.
Aku
berdecak kesal. Hujannya cukup lebat. Besar risiko terserang flu kalau aku
nekat menerjang tetes-tetes besar air ini.
“Eren!
Kau bawa payung? Kenapa kau diam saja melihat kami kehujanan?” erang Sasha Braus
kesal sembari menghampiriku dengan langkah menghentak-hentak.
Aku
cengo selama beberapa detik, sebelum kemudian tersadar dengan keberadaan sebuah
payung di tangan kananku.
.
.
Punggung kekar itu berjalan melewati
pintu lift yang terbuka. Lekas aku
berjalan mengikuti di belakangnya. Mendadak aku merasa horor sendiri. Bukankah
adegan ini—seseorang berjalan diikuti oleh arwah penasaran di belakangnya—banyak
terdapat di film-film berhantu klasik khas Asia? Aku jadi membayangkan, bisa
saja selama ini memang ada arwah yang mengikutiku, seperti aku yang saat ini
mengikuti langkah kaki Levi menuju sebuah pintu berwarna coklat tua dengan
papan nama Ackerman yang menggantung di sampingnya.
Tangan
Levi mengeluarkan kunci dari saku celananya, lalu memutar kunci pintu dan
berjalan masuk. Aku ditinggal di luar. Untuk sekian detik aku berdiri terpaku
di sana, hanya menatap daun pintu yang tertutup.
Apa yang kulakukan? Untuk apa aku
mengikutinya sampai kesini?
Aku berbalik,
hendak pergi dari tempat itu. Namun segera setelahnya aku tersadar, pergi pun
aku tidak punya tempat tujuan. Maka aku memutar tubuh dan berjalan masuk
menembus pintu apartemen itu.
Aku
melangkah ringan, melewati sebuah dapur kecil di sebelah kananku, menuju ke
ruang tengah yang berisi rak buku tinggi hampir ke langit-langit dan akuarium
berukuran sedang di pojok ruangan dekat balkon. Tidak ada televisi. Di antara
dua buah sofa yang saling menghadap hanya ada meja persegi yang dihiasi pot
bunga kecil di tengahnya. Di samping rak buku ada bufet kecil berisi
bingkai-bingkai foto. Dinding ruangan juga dipenuhi bingaki-bingkai foto
berbagai ukuran, ada juga beberapa lukisan bergaya ekspresionis yang terlihat
mahal.
Aku
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Si empunya apartemen tidak terlihat dimana
pun. Aku menggerakkan kakiku menuju sebuah pintu di samping bufet. Kulongokkan
kepalaku menembus pintu. Remang-remang, hanya sinar bulan yang menyusup di
sela-sela jendela yang tertutup korden. Aku mengerjap-ngerjap beberapa kali,
membiasakan mata dengan kegelapan. Yang pertama kulihat dalam kegelapan itu
adalah sebuah tempat tidur dengan seprai dan selimut putih. Lalu ada lemari
pakaian dengan banyak pintu dan meja kerja di sudut ruangan. Ada rak buku lagi.
Ada bufet kecil lagi. Ada lebih banyak potret lagi yang memenuhi dinding kamar.
Sebagian hanya digantung pada tali yang saling bersilang di ruangan itu,
sebagian lagi dipasang rapi dengan bingkai ukuran besar.
Meski terlihat penuh dengan berbagai
perabotan dan hiasan namun sama sekali tidak ada kesan sesak dalam ruangan ini.
Sebaliknya, ruang tidur berukuran 4x5 meter ini terlihat rapi dan teratur.
Rasa
penasaran membuatku mengabaikan apa yang disebut privasi. Aku masuk ke dalam
dan berjalan mendekati rangkaian foto yang menggantung rendah di atas kepalaku.
Aku memandangi lekat-lekat satu per satu hasil cetak kamera yang pasti
berkualitas tinggi. Aku baru saja ingat, dulu Levi adalah ketua klub fotografi
di kampus, yang digandrungi oleh mahasiswi seantero fakultas teknik tanpa
terkecuali. Aku yakin mahasiswi kedokteran juga banyak yang menaruh hati
padanya. Siapa yang tidak kenal Levi Ackerman? Tidak ada. Mereka hanya tidak
mengenali sifat asli si pria berwajah datar itu—kejam, tega menggugurkan adik
kelasnya tanpa pandang bulu.
Aku
berhenti di depan sebuah foto yang berada dibalik bingkai setinggi 2 meter.
Dari keremangan ini aku tidak melihat dengan jelas foto apa itu, yang pasti ada
banyak orang berjubah hitam menjuntai tengah melemparkan topi ke udara secara
bersamaan. Sudut pandang foto itu diambil sedemikian rupa hingga nampak langit
dengan arak-arak putih. Sungguh sebuah buah karya dari tangan profesional.
Tetapi...
aku merasa tidak asing dengan adegan itu. Dan tempat itu.
‘Klik!’
Aku terkesiap
dan memutar kepalaku dengan cepat. Levi baru saja membuka pintu dan aku
langsung melesat ke samping lemari untuk bersembunyi. Levi berjalan masuk dan
menutup pintu di belakangnya dengan sebuah sentakan pelan, sementara aku
merutuki kebodohanku sendiri yang repot-repot bersembunyi padahal sudah jelas
kalau aku ini tidak terlihat.
Levi
berjalan ke arah jendela kemudian membuka korden berwarna tortilla itu. Sinar bulan seketika masuk menerangi ruangan. Aku
berdiri diam di sebelah tempat tidur, memandangi Levi yang mengambil duduk di
atas karpet dengan punggung yang bersandar pada sisi tempat tidur. Kepalanya
menengadah dan menumpu di atas kasur. Matanya terpejam erat. Kuputuskan untuk
duduk di sebelahnya sambil berdoa agar Levi tidak merasakan hawa dingin menusuk
yang membuatnya merinding.
Tangan
kanannya yang menggenggam sebuah kalung diletakkan di atas dahi, membuat
bayang-bayang yang menutupi sebagian wajahnya. Cahaya keperakan dari satelit
Bumi mengenai kalung itu, menciptakan pendar kilat yang membuatku tertarik
untuk mengamatinya lebih dekat. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk kunci
warna keemasan. Aku mengerutkan dahi, sepertinya kalung itu pernah kulihat di
suatu tempat. Tapi memoriku tidak bisa mengingatnya.
.
.
Panas
terik matahari sama sekali tidak menyurutkan senyuman lebarku. Butir-butir
keringat yang menuruni pelipisku tidak kupedulikan. Tanganku masih sibuk
menerima ucapan selamat dengan jabatan tangan erat.
“Selamat
atas kelulusanmu, Eren,” kata Hannes, teman Papa yang sudah kuanggap seperti
ayah keduaku.
“Terima
kasih, Hannes,” sahutku dengan senyum lebar.
“Siapa
sangka bocah sok jagoan yang rasanya baru kemarin menangis karena terus-terusan
diikuti oleh Mikasa ini sudah menyandang gelar sarjana.”
“Jangan
mengejekku,” erangku pura-pura kesal dan pasang wajah kecut. Hannes tertawa,
aku pun tertawa setelahnya. Mikasa, yang berdiri di samping Mama,
menyembunyikan tawa di balik syal merah yang melingkar di lehernya. Syal di
hari sepanas ini, aku sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Mikasa.
“Hei
Eren,” panggil seseorang dari kejauhan. Aku menoleh dan menemukan Jean Kirstein
sedang melambaikan tangan ke arahku. Aku memasang wajah bertanya dan Jean
menjawab, “Foto bersama,” serunya di antara lautan mahasiswa yang baru saja
diberi gelar pendidikan di belakang nama mereka.
Aku
mengangguk, pamit kepada Mama, Papa, dan Hannes. Mikasa masih sibuk membenamkan
wajah di balik syalnya, membuatku hanya melempar senyum sekilas ke arahnya.
Padatnya
manusia di sekeliling auditorium membuatku harus menyela di antara dua orang
atau lebih yang sedang mengobrol ringan dan sesekali tak sengaja menabrak bahu
mereka. Jean dan teman-temanku yang lain sedang berkumpul di bawah
bayang-bayang pohon besar tepat di depan pintu samping, saling bercanda dan
menukar tawa. Aku hampir sampai ketika tiba-tiba sebuah tangan menarik
pergelangan tanganku.
“Eh...”
gumamku kaget ketika tangan itu membawaku berusaha keluar dari kerumunan. Aku
tidak tahu tangan siapa itu tapi yang pasti kelima jarinya begitu kuat
mencengkeram pergelangan tangan kananku hingga aku tak bisa melepaskannya.
Entah aku yang tidak bisa melepaskan diri atau tidak ingin melepaskan diri, aku
tidak tahu pasti. Yang jelas, aku tidak merasa panik atau khawatir. Genggaman
tangan ini terasa begitu dekat dan familiar.
Ketika
akhirnya aku berhasil mencapai pagar dan keluar dari kerumunan, tangan itu
melepaskan cengkeramannya. Si empunya tangan itu berdiri tepat di depanku,
memunggungiku, memperlihatkan kemeja putih yang menempel di pundaknya karena
basah keringat. Tidak perlu waktu sampai semenit untuk bisa mengenali sosok
itu.
“Senpai,” kataku lirih, antara terkejut
dan... senang?
Levi
berbalik dengan sebuah buket bunga matahari di tangannya. Dahiku berkerut.
“Selamat.
Akhirnya kau lulus juga, bocah, tidak kusangka.”
Aku
merengut kesal. “Aku memang tidak sepintar Levi-senpai, tapi otakku juga tidak bodoh-bodoh amat.” Aku sudah bosan
diejek senior cebol ini selama dua tahun terakhir.
“Bagus
kalau begitu. Buktikan kalau kau memang tidak bodoh di tempat kerjamu nanti.”
Aku
tersenyum lebar lalu mengangguk-angguk dengan semangat. Entah apa penyebabnya
tetapi tiba-tiba saja jantungku berdebar. Mungkin ini efek naik panggung wisuda
tadi atau mungkin efek dehidrasi karena panas.
Tanpa
sepatah kata, Levi menyodorkan buket bunga itu kepadaku. Aku memandang beberapa
tangkai bunga berwarna cerah ini selama beberapa detik sebelum kemudian
menerimanya. “Terima kasih,” ucapku tulus sambil tersenyum tipis.
Levi
hanya mengangguk sebagai jawaban dan kemudian kami hanya saling diam selama
beberapa detik yang terasa seperti seabad. Aku sibuk memandangi bunga dalam
genggamanku dan Levi sepertinya sibuk membuang muka ke arah lain, melihat apa
saja selain aku.
“Eren!”
Aku mendengar suara Armin yang berteriak di kejauhan. Aku menoleh dan mendapati
kepala berambut pirang itu tengok kanan kiri, sibuk mencariku.
“Pergilah,”
kata Levi pelan sebelum aku sempat pamit.
Gantian
aku yang menjawab dengan anggukan. Aku tersenyum lagi ke arahnya sebelum
kemudian berbalik hendak menemui Armin. Namun langkahku terhenti ketika Levi
kembali memanggil namaku dengan nada rendah khas suaranya.
“Eren.”
“Hm?”
Aku menoleh dan melemparkan pandangan bertanya.
“Bersyukurlah
karena kau tidak perlu sewa studio untuk berfoto bersama teman-temanmu dengan
toga itu.”
Dan
aku baru sadar kalau sedari tadi sebuah kamera DSLR tersampir dengan tenang di
pundak kirinya.
.
.
.
Aku menggeliat. Sepasang mataku terbuka
dan langsung menyipit karena silau sinar matahari yang menembus langsung
melalui jendela di depanku. Kuhalangi mataku dengan telapak tangan. Hasilnya
nihil. Tentu saja, karena tubuhku transparan.
Aku
menoleh kanan kiri. Kosong. Dimana ini?
Oh
aku masih ingat, kemarin aku mengikuti Levi hingga ke apartemennya. Semalam aku
duduk di sebelahnya. Sekarang langit di luar sudah terang. Berarti hari sudah
berganti. Ternyata arwah masih bisa tidur juga, pikirku.
Aku
menggeliat, meregangkan tubuh dengan merentangkan tangan ke atas tinggi-tinggi.
Mataku mencari sesosok pendek ke sekeliling ruangan. Sepi. Tidak ada siapa pun.
Aku
bangkit berdiri. Lagi-lagi aku tidak punya tempat tujuan. Mungkin ini sudah
saatnya aku pergi ke gereja, berdoa sembari menunggu jemputan dari langit. Aku
sudah bersiap akan melompat keluar dari jendela, ketika untuk yang terakhir
kalinya aku menoleh ke arah potret setinggi 2 meter yang menarik perhatianku
semalam.
Alis
tebalku bertaut. Sebuah lorong di sudut ruangan yang tingginya tak sampai
setinggi badanku terletak di sudut ruangan, tak jauh dari foto itu, tersembunyi
dan tersamarkan dengan sangat baik. Aku mengendurkan ancang-ancangku dan
menatap ke kegelapan yang mengundang untuk didatangi itu. Kubalikkan badan dan
berjalan perlahan ke arah lorong itu. Semenit aku berdiri terpaku di depannya.
Kemarin malam aku sama sekali tidak menyadari keberadaan lorong kecil itu.
Mungkin karena gelap.
Mendadak
ada aura mistis. Tetapi mengingat keberadaanku yang tak kalah mistisnya, aku
memutuskan untuk masuk ke sana. Lorong itu kecil, tingginya hanya sekitar 150
cm dan lebarnya hanya cukup untuk dilewati satu orang. Panjangnya tak sampai 1
meter dan di ujungnya ada pintu kecil. Tak perlu repot untuk memikirkan apakah
pintu itu terkunci atau tidak, aku berjalan menembusnya dengan mudah.
Gelap.
Aku mengerjap-ngerjap, berusaha membiasakan mata dengan minimnya cahaya. Pendar
kemerahan yang memenuhi ruangan membuat kelopak mataku berkedip tak percaya.
Aku memang tidak tahu banyak tentang fotografi, tetapi setidaknya aku suka
menonton film. Dan aku tahu benar dimana kakiku berdiri sekarang.
Sebuah
kamar gelap. Luasnya kira-kira 3 meter dikali 4 meter dan sedikit lebih besar
dari kamar tidurku. Langit-langitnya tak terlalu tinggi, kurasa hanya beda 1
meter dengan puncak kepalaku. AC yang
menempel di dinding membuat udara dalam kamar gelap ini terasa dingin. Aku
berjalan mengitari ruangan, menyentuh setiap alat-alat yang berada di setiap
sisi dinding dengan telapak tangan tembus pandangku. Peralatan itu sungguh
asing, entah untuk apa kegunaannya. Namun aku tidak bisa memungkiri
kekagumanku. Levi benar-benar seorang fotografer profesional, aku semakin yakin
dengan fakta itu.
Langkahku
terhenti di depan deretan foto-foto yang tergantung berjajar rapi di sebuah hanger setinggi tubuhku. Foto-foto itu
mungkin baru selesai dicetak, entahlah aku juga tidak tahu. Kupandangi satu per
satu potret itu dengan kening berkerut. Setiap momen yang diabadikan oleh lensa
kamera itu tampak tidak asing bagiku. Yang ini memotret bangku penonton di
stadion kampus ketika pertandingan basket antarfakultas diselenggarakan 3 tahun
lalu. Aku bisa menemukan wajah berseri-seri milikku dengan mulut terbuka
memberi semangat kepada Reiner Braun dan Marco Bott, si center dan si shooter.
Rambut pirang Armin begitu mencolok di sebelahku dan syal merah Mikasa terasa
mencolok di tempat seperti itu.
Di
samping foto itu ada foto sekumpulan mahasiswa yang sedang tertidur di koridor
kampus dengan fasilitas seadanya, sudah layak kalau disebut gelandangan.
Alasnya lantai yang dingin, tas dijadikan bantal, dan selimut hanya berupa
jaket, itu pun tidak semuanya membawa jaket pada malam itu. Aku ada di sana. Di
sudut dengan posisi duduk meringkuk bersandar pada dinding. Jaket kulit yang
kupakai itu milik Jean yang kuambil diam-diam ketika dia sudah sibuk dengan
dengkurannya. Kenangan itu masih terasa hangat dalam ingatan. Status masih
mahasiswa baru yang polos dan bersemangat, yang dengan senang hati mau saja
menginap di kampus demi sebuah antrian asistensi. Namanya saja mahasiswa baru,
semangatnya masih berapi-api demi menyelesaikan tugas. Nantinya seiring
berjalannya waktu, kau akan tahu saat dimana harus mengejar dan harus
melepaskan. Semakin banyak semester yang terlewati, maka kelapangan dadamu akan
semakin terasah. Benar-benar belajar untuk ikhlas.
Di
sebelahnya lagi, ada foto saat upacara penerimaan mahasiswa baru. Lagi-lagi
tidak sulit mengenali kepalaku karena di sebelahku ada rambut pirang Armin yang
mudah menarik perhatian dan wajah kuda Jean yang kata orang lain wajah tampan
milik model. Mungkin maksudnya model iklan penawaran liburan seminggu bertema
bermain matahari ke sebuah ranch di
pedesaan.
Menelusuri
deretan foto-foto ini membuatku bernostalgia dengan memori-memori indah ketika
aku masih hidup, masih menjadi manusia. Ada sedikit rasa nyeri di dada ketika
mengingatnya. Mengingat aku tidak bisa lagi bertemu dan menghabiskan quality time bersama mereka. Mama, Papa,
Hannes, dan teman-teman di kelompok 104. Sial,
kenapa baru sekarang aku merasa begitu sendiri?
Kakiku
berhenti di foto paling ujung. Kupandangi foto itu lekat-lekat di tengah
keremangan. Jantungku tiba-tiba saja berdebar aneh. Sekilas aku merasakan
hangat di dadaku, yang lalu hilang karena udara dingin AC. Sosok pemuda dengan kemeja putih berbalutkan jas hitam dan dasi
berwarna senada rapi di balik kerah tengah tertawa lepas. Foto itu diambil close up sehingga aku benar-benar bisa
melihat guratan-guratan senyum di wajahnya. Latarnya sebuah pintu kaca buram
yang setengah terbuka, dengan tulisan ruang sidang menempel di depannya. Antara
percaya dan tidak, kuakui sosok pemuda dalam foto itu adalah aku. Mataku
menyipit untuk melihat tanggal yang tertera di ujung kanan bawah. Tanggal 30
Maret. Itu tanggal ulang tahunku dan tanggal sidang tugas akhirku. Aku tidak
mungkin lupa.
Aku
diam memperhatikan foto itu lama dengan perasaan yang bercampur aduk karena
menyadari kesamaan dari sederet foto yang tergantung di depanku ini. Aku. Di
setiap jepretan kamera ada aku. Bahkan di foto paling ujung ini hanya ada aku
seorang.
Tergelitik rasa penasaran yang aneh,
aku berusaha meraih foto terakhir itu. Aku tidak bisa memegangnya, tentu saja.
Lalu entah keinginan apa dan dari mana yang membuatku melongokkan kepala dan
mengintip bagian belakang foto itu.
Selamat
untuk sidangmu, bocah.
Tidak
kusangka kau akan lulus secepat ini.
Padahal
aku akan dengan senang hati memberikan asistensi kalau kau mau mengulang untuk
tahun depan.
Padahal
aku juga telah berjanji dengan diriku sendiri untuk memperbaiki sikapku di
depanmu.
Tetapi
aku sudah tidak punya kesempatan untuk menunjukkannya padamu.
Bonne chance, Eren Jaeger.
30 Maret 2014
.
.
“Kurasa
aku sudah gila.”
Armin
menoleh dan menatapku dengan alis bertaut dan wajah bingung. “Berarti sebutan
‘bocah nekat tukang cari masalah’ itu memang pantas kau sandang. Kau tahu,
Eren, kadang aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu,” ujar Armin lalu
melanjutkan menulis laporannya.
Aku
menghela napas kuat-kuat dan menjatuhkan daguku ke atas meja.
“Kau
ini kenapa sih?”
Aku
melirik dan menatap Armin. “Aku mau menanyakan satu hal yang serius, Armin,”
sahutku lalu menegakkan tubuh dan memandang Armin lekat-lekat.
“Hah?”
Aku
mengambil napas dalam-dalam dan mengumpulkan nyali sebanyak-banyaknya sebelum
kemudian berkata dengan suara lirih, “Apa menurutmu aku terlihat gay?”
Armin
tersedak udara dan batuk-batuk. “Eren... kau serius?” tanyanya dengan ekspresi
wajah syok.
Aku
menghela napas lagi dan kembali menjatuhkan dagu ke atas meja. “Benar, mungkin
aku memang sudah gila. Otakku tidak waras lagi karena tugas-tugas ini,” ujarku
setengah frustrasi.
Armin
diam saja. Siapa yang tidak terkejut mendengar pengakuan gay dari temannya sendiri. Aku sendiri terkejut karena bisa
berpikir hingga ke situ.
“Levi-senpai, benar kan?”
Napasku
tercekat ketika mendengar nama itu. Shit,
mendengar namanya saja jantungku sudah berdegup tidak karuan. Aku memang sudah
gila.
“Eren,”
panggil Armin.
Aku
tidak menyahut dan memilih untuk berusaha menormalkan detak jantung. Kedua mataku terpejam sembari menarik napas
dalam-dalam secara teratur.
“Aku
salut padamu, atas keberanian untuk pengakuan itu.”
Aku
membuka mata dan menatap Armin. “Aku sudah desperate,
Armin, dan aku sudah gila karena benar-benar berpikir kalau ternyata aku
membelok. Lebih baik kau bunuh aku saja, sebelum Papa atau Mikasa yang
membunuhku,” kataku.
“Jadi
kau benar menyukai Levi-senpai?”
Armin memastikan.
Iris
hijauku menatap lamat-lamat iris biru Armin selama beberapa detik. “Kurasa iya.
Otakku benar-benar sudah rusak. Sial,” erangku.
Armin
meletakkan penanya dan memegang pundakku dengan kedua telapak tangannya. Armin
balas memandangku lekat-lekat. Kupasang wajah memelas minta kasihan, kuharap
otak cerdas Armin bisa memberikan jalan keluar paling solutif untukku.
“Aku
akan selalu mendukungmu, Eren, kau tidak perlu khawatir,” katanya mantap dengan
mata yang tidak berkedip, “Apa kau tahu? Sebenarnya aku sudah lama
memperhatikan kalian berdua dan kurasa Levi-senpai
juga...”
.
.
Kata-kata Armin di perpustakaan siang
itu terngiang di telingaku, membuat detak jantungku semakin tidak normal.
Kukira arwah sudah tidak bisa merasakan apa-apa, nyatanya aku masih bisa
merasakan kinerja jantungku yang seolah sedang memompa darah kuat-kuat ke
seluruh bagian tubuhku. Mungkin sebenarnya aku masih hidup? Tidak. Kau mulai berdelusi, Eren.
Secepat
kilat aku membalikkan badan dan melayang cepat keluar dari kamar gelap ini. Aku
sempat menengok sekilas ke arah foto paling ujung sebelum kemudian kilap
berwarna keemasan memancar dari bagian bawah gagang pintu. Aku terpaku menatap kunci
keemasan yang semalam kulihat di genggaman tangan Levi menancap di sana.
Gelayut perasaan aneh kembali menghampiriku. Apa maksudnya?
Aku
melayang cepat menembus pintu sebelum delusi dalam otakku semakin liar. Aku
masuk ke lorong kecil itu lagi dan sinar matahari langsung menyapaku begitu aku
melewatinya. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera melompat keluar menembus
jendela. Tubuhku melayang dengan ringan di udara dan terombang-ambing oleh
sepoi angin yang berhembus. Kupejamkan kedua kelopak mataku dan kubiarkan tubuh
tidak nyataku ini bergerak dibawa oleh tiupan angin musim gugur.
Aku
berharap semoga Tuhan cepat memanggilku ke surga, sebelum aku mengganti doaku
dengan hal-hal mustahil yang tidak mungkin terwujud.
.
.
.
Angin sepoi memang sejuk, namun terlalu
lemah untuk mengangkat arwahku ke nirwana. Yang aku butuhkan mungkin angin
sekuat puting beliung jika ingin segera sampai di surga—atau neraka? Sekarang
aku malah kembali ke tempat ini, tempat tersuram yang sering dijadikan tempat
uji nyali oleh anak-anak tetangga di suatu malam pada musim panas.
Menatap
makam dengan nisan yang bertuliskan namamu sendiri kupikir hanya ada di film.
Aku mengalaminya sekarang. Bukanlah suatu pengalaman yang patut untuk dibanggakan
apalagi dipamerkan.
Aku
berdiri diam di sisi nisanku. Mata menatap lurus ke setiap huruf yang mengukir
namaku di tempat peristirahatan terakhir. Kuhela napas. Kuelus nisanku. Baru
aku tinggal sehari tetapi makamku sudah dipenuhi dedaunan kering yang gugur.
Tumpukan bunga krisan masih ada di sana, beberapa sudah layu mengering, sisanya
berguguran kelopak bunganya.
Tiba-tiba
aku merasa kasihan dengan diri sendiri. Setelah mati karena kecelakaan,
sekarang justru jadi arwah gentayangan yang tak jelas nasibnya. Aku sama sekali
tidak pernah membayangkan kehidupan setelah kematian. Kukira hanya akan ada
kehampaan atau surga dan neraka. Ternyata kemungkinan jadi roh penasaran yang
muncul di kamera seseorang benar-benar ada. Aku bukan seorang religius, tapi
bukan juga yang percaya dengan hal-hal berbau mistis macam itu.
“Eren.”
Aku
terkesiap. Mataku membuka lebar, terkejut. Sebuah suara rendah yang tenang dan
begitu akrab di pendengaranku, terdengar sangat dekat di telinga. Aku memutar
tubuhku dan seketika itu juga badanku membeku kaku.
Levi
berdiri di sana, 2 meter di depanku. Matanya sendu, kantung matanya semakin
menghitam, wajahnya tampak kacau. Rambut undercut
hitam itu acak-acakan karena hembusan angin yang membawa aroma musim dingin.
Mata tajam penuh intimasi itu menatap lurus ke bola mataku, memerangkapku ke
dalam dimensinya yang begitu dalam dan gelap.
“Levi...”
Entah nyali dari mana, tiba-tiba saja aku memanggil nama kecilnya tanpa
embel-embel senpai.
Levi
bergeming. Dadaku terasa sesak ketika melihat matanya sembab. Kami saling
bertatapan tanpa berkedip. Apa Levi bisa
melihatku?
Baru
saja aku akan memanggil namanya lagi, Levi berjalan mendekat ke arahku. Tubuhku
bergetar. Tanganku mendadak tremor. Satu meter. Setengah meter, dan Levi
berjalan menembusku. Tubuhku membias. Masih setengah terkejut, aku menengok ke
belakang dan mendapati Levi berdiri di samping nisanku.
Kurutuki
delusi berlebihan yang hampir membuatku mati kedua kalinya karena serangan
jantung. Benar, aku arwah penasaran dan Levi manusia. Kami adalah dua makhluk
berbeda dunia yang berada di dalam dimensi berbeda. Konyol rasanya berharap
Levi bisa melihatku yang transparan ini.
Aku
menundukkan kepalaku dalam-dalam, menahan air mata di pelupuk mata. Arwah
sepertiku masih bisa menangis dan masih bisa berdebar, apa aku benar sudah
mati?
Sepertinya
langit sedang menghukumku, membuatku bergentayangan tanpa punya tempat di dunia
manusia ini. Ah, mungkin aku memang harus pergi ke gereja dan bertobat supaya
malaikat segera menjemputku.
Aku
menoleh dan menatap Levi untuk yang terakhir kali sebelum beranjak dari situ.
Bahu itu, punggung itu, potongan rambut itu, aku berusaha merekam tiap detail
potret tubuh Levi dalam ingatan. Setelah ini aku tidak akan bisa bertemu
apalagi melihatnya lagi, maka dari itu aku berharap semoga ingatan ini tidak
ikut hilang bersama dengan hilangnya nama Eren Jaeger dari ingatan orang-orang.
“Selamat
tinggal...” Suaraku berbisik dan bergetar, menyatu bersama angin yang berhembus
membuat gemerisik riuh dedaunan, “Levi.”
Detik
itu juga tubuh Levi berbalik. Mata tajam itu kembali memandangku lekat-lekat.
Jantung fanaku ini mulai abnormal, berdebar keras seolah akan mematahkan tulang
rusukku yang juga fana. Ini mungkin delusiku lagi, mana bisa Levi melihatku...
“Eren?”
Napas
tercekat. Arwah ternyata masih butuh oksigen dan paru-paruku nyeri karena tidak
ada udara yang bisa kuhirup. Levi memanggil namaku lagi. Sambil menatapku juga.
Apa di sini surga?
“Eren...”
Tangan Levi terulur seolah hendak menyentuhku. Aku membeku di tempat, tidak
bergerak.
“Eren...”
Levi memanggilku lagi, kali ini dengan mata yang memancarkan beribu ekspresi.
Aku
menahan napas, berusaha untuk meyakinkan diri bahwa ini bukanlah surga. “Levi,”
bisikku lirih yang bahkan aku tidak yakin Levi bisa mendengarnya.
Sebuah
senyum tipis terukir di wajah tampan itu, membuat perasaan lega dan senang
membawaku ke awang-awang. Kalau benar ini surga, maka dengan senang hati aku
akan tinggal di tempat ini.
“Levi,”
panggilku lagi. Air mata sialan ini tidak bisa kubendung lagi dan seketika
pipiku basah karena tangis. Bibirku bergetar, padahal banyak kata yang ingin
kuucapkan.
Tangan
Levi masih menggantung di udara. Kuraih tangan itu dengan kedua tangan fanaku.
Kugenggam erat dan kuletakkan telapak tangan dingin itu di pipi kiriku. Kedua
mataku terpejam ketika merasakan hangat melingkupi separuh wajahku.
“Eren...
Eren...”
Aku
diam, sibuk meresapi kehangatan tangan Levi. Kelopak mataku terbuka beberapa
detik kemudian dan kulihat Levi tengah menatapku dengan teduh. Baru saja aku
akan menghambur ke dalam pelukannya, ketika kulihat ekspresi wajah Levi
berubah.
Matanya
menatap horor ke arahku. Aku takut. Apa Levi takut padaku yang sesosok arwah
ini?
“Jangan
pergi, Eren,” pintanya, nadanya penuh pilu.
Mulutku
terbuka dan siap untuk melontarkan seribu satu kata ketika sudut mataku melihat
kedua telapak tanganku yang mulai menghilang terbawa angin musim gugur.
Perlahan namun pasti, tubuh fanaku mulai pudar, bak embun pagi yang terkena
sinar matahari.
Aku
menatap Levi masih dengan berurai air mata. Sementara Levi mengulurkan
tangannya lagi, berusaha menggenggam tanganku. Mungkin ini saatnya aku pergi
untuk selamanya dari dunia ini.
“Tidak...
Jangan pergi, Eren,” kata Levi dengan nada memohon yang setengah frustrasi.
Aku
menggelengkan kepala. Apa dayaku. Tempatku bukan lagi di atas tanah meski aku
masih ingin tinggal di dunia ini. Aku harus pergi.
“Jangan
tinggalkan aku, Eren.”
Seluruh
tanganku sudah menghilang. Ujung kakiku pun mulai menghilang. Waktuku tidak
banyak.
“Aku
harus pergi, Levi,” kataku, mati-matian menahan suara agar tidak bergetar,
“Terima kasih... untuk semuanya.”
Bagian
tubuh dari pinggang ke bawah sudah tersapu angin. Sebentar, kumohon tahanlah dulu sebentar.
“Ich liebe dich sein, Levi. Ich werde für dich da sein.”
“Je t'aime pour toujours et à jamais,
Eren Jaeger.”
Aku
bersyukur karena hal terakhir yang aku lihat sebelum menghilang dari dunia ini
ada senyumannya.
.
.
.
-
TAMAT -
Artikel terkait :
Kosakata :
Bonne chance :
Semoga sukses.
Ich liebe dich sein :
Aku mencintaimu selamanya.
Ich werde für dich da
sein
: Aku akan selalu ada untukmu.
Je t'aime pour toujours
et à jamais : Aku mencintaimu selalu dan selamanya.
A/N
Selamat
sore. Selamat Hari Raya Waisak bagi yang merayakan.
Saya
kembali datang dengan fanfiksi RiRen. Belakangan lagi mellow dan emo, maka jadinya
fiksi yang angsty seperti ini.
Aku
buat ini dalam rangka meramaikan #NulisRandom2015 hehehe. Kelewat sehari sih, habis
kemarin malam saya ketiduran jadi lupa mau posting fik ini.
Terima
kasih untuk yang sudah berkenan mampir dan membaca. Ditunggu komentar, kritik dan
sarannya. Arigachu~~ /peluk dan cium/
2 Juni 2015
14.36 WIB
Tembalang, Semarang